Sabtu, 22 Mei 2010

placebo

Bisa saja kita memenuhi semua ritual dan aturan, tapi tidak berjumpa Tuhan. Maka kita melakukan apa yang saya sebut spiritual placebo.

Placebo itu nama dari obat kosong. Obat tawar. Obat farmasi yang sebenarnya tidak mengandung apa-apa. Untuk menguji suatu obat baru, peneliti farmasi biasanya menguji nya pada dua group. Satu diberi obat baru, yang lain diberi placebo. Bentuknya sama. Sehingga pasien tidak tahu mana obat betulan mana placebo. Kemudian tingkat pengaruh pad kesembuhan diukur. Obat baru bisa diterima kalau ia bisa menyembuhkan melebih obat placebo.

Mengapa placebo digunakan?

Karena ada faktor psikologis. Ada orang yang sembuh dari sakit karena merasa diobati. Padahal ia sembuh karena faktor internal, bukan pengaruh obat. Jadi untuk menghindari pengaruh bias psikologis dari obat yang baru, dibuat obat placebo sebagai pembanding.

Nah ternyata banyak sekali pasien yang sembuh oleh placebo. Aneh ya? Padahal obat placebo tidak mengandung apa-apa.

Nah hal yang sama terjadi dalam hal lain, terutama ritual. Kita tiap hari ke kantor, bekerja. Tapi tidak ada yang sebenarnya dihasilkan. Ini placebo kerja.

Atau kita ke kampus belajar. Setiap hari duduk di ruang kelas, ikut kuliah. Tapi tidak ada ilmu yang kita serap. Kita tidak mengenal prinsip-prinsipnya. Tidak ada perubahan perilaku dan sikap. Maka kita mendapatkan pendidikan placebo.

Dalam beragama juga demikian. Kita rajin sembahyang, menuruti aturan pantangan, merayakan hari sakral. Tapi kita tidak berjumpa Tuhan. Kita tidak mengenalNya. Tidak ada pengaruh pada kejernihan berpikir, berucap, dan bertindak. Hidup kita tetap sengsara.

Semua itu placebo. Kita merasa bekerja. Merasa belajar. Merasa beribadah. Tapi kita tidak menemukan Esensinya. The One.

Saya melihat hari ini begitu marak kegiatan keagamaan. Spiritualitas. Ceramah inspirasional. Buku petunjuk instan untuk berbahagia. Semua ini memberikan rasa spiritual. Seperti memberikan makan jiwa. Tapi sayangnya banyak hal ini seperti placebo. Rasa spiritualnya datang sebentar. Setelah itu pergi.

Saya pikir dalam hal apapun, kita selalu harus menemukan esensinya. Menemukan maknanya. Menemukan Dia di sana.

Pada akhirnya, hidup spiritual yang sebenarnya adalah hidup bersamaNya. Bergaul denganNya dengan penuh kesadaran. Mampu melihatNya dalam segala keadaan, suka maupun duka, lancar maupun susah, sehat maupun sakit, senang maupun sedih. Kita bisa melihatNya pada sesama kita. Kita bisa melihat tanda kehadiranNya pada alam ciptaanNya. Terlebih kita bisa melihatNya menjaga setiap langkah hidup kita.

Tanpa itu, kita sedang menelan spirtual placebo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar