Sabtu, 22 Mei 2010

placebo

Bisa saja kita memenuhi semua ritual dan aturan, tapi tidak berjumpa Tuhan. Maka kita melakukan apa yang saya sebut spiritual placebo.

Placebo itu nama dari obat kosong. Obat tawar. Obat farmasi yang sebenarnya tidak mengandung apa-apa. Untuk menguji suatu obat baru, peneliti farmasi biasanya menguji nya pada dua group. Satu diberi obat baru, yang lain diberi placebo. Bentuknya sama. Sehingga pasien tidak tahu mana obat betulan mana placebo. Kemudian tingkat pengaruh pad kesembuhan diukur. Obat baru bisa diterima kalau ia bisa menyembuhkan melebih obat placebo.

Mengapa placebo digunakan?

Karena ada faktor psikologis. Ada orang yang sembuh dari sakit karena merasa diobati. Padahal ia sembuh karena faktor internal, bukan pengaruh obat. Jadi untuk menghindari pengaruh bias psikologis dari obat yang baru, dibuat obat placebo sebagai pembanding.

Nah ternyata banyak sekali pasien yang sembuh oleh placebo. Aneh ya? Padahal obat placebo tidak mengandung apa-apa.

Nah hal yang sama terjadi dalam hal lain, terutama ritual. Kita tiap hari ke kantor, bekerja. Tapi tidak ada yang sebenarnya dihasilkan. Ini placebo kerja.

Atau kita ke kampus belajar. Setiap hari duduk di ruang kelas, ikut kuliah. Tapi tidak ada ilmu yang kita serap. Kita tidak mengenal prinsip-prinsipnya. Tidak ada perubahan perilaku dan sikap. Maka kita mendapatkan pendidikan placebo.

Dalam beragama juga demikian. Kita rajin sembahyang, menuruti aturan pantangan, merayakan hari sakral. Tapi kita tidak berjumpa Tuhan. Kita tidak mengenalNya. Tidak ada pengaruh pada kejernihan berpikir, berucap, dan bertindak. Hidup kita tetap sengsara.

Semua itu placebo. Kita merasa bekerja. Merasa belajar. Merasa beribadah. Tapi kita tidak menemukan Esensinya. The One.

Saya melihat hari ini begitu marak kegiatan keagamaan. Spiritualitas. Ceramah inspirasional. Buku petunjuk instan untuk berbahagia. Semua ini memberikan rasa spiritual. Seperti memberikan makan jiwa. Tapi sayangnya banyak hal ini seperti placebo. Rasa spiritualnya datang sebentar. Setelah itu pergi.

Saya pikir dalam hal apapun, kita selalu harus menemukan esensinya. Menemukan maknanya. Menemukan Dia di sana.

Pada akhirnya, hidup spiritual yang sebenarnya adalah hidup bersamaNya. Bergaul denganNya dengan penuh kesadaran. Mampu melihatNya dalam segala keadaan, suka maupun duka, lancar maupun susah, sehat maupun sakit, senang maupun sedih. Kita bisa melihatNya pada sesama kita. Kita bisa melihat tanda kehadiranNya pada alam ciptaanNya. Terlebih kita bisa melihatNya menjaga setiap langkah hidup kita.

Tanpa itu, kita sedang menelan spirtual placebo.

Minggu, 16 Mei 2010

PHYTOBIOPHYSICS

Essence of Life

Menggali Akar Penyakit, Menyembuhkan secara Holistik

Setiap organ manusia memiliki ‘kesadaran’ yang memancarkan vibrasi tertentu. Kondisi sehat tercapai jika mulai tingkat selular terdapat keseimbangan antara kesadaran kejiwaan, pikiran, emosi dan fisik.
Ikatan dan hubungan dalam keluarga membawa pengaruh besar dan panjang terhadap kondisi kesehatan. Trauma, tragedi, penolakan, dan kesedihan yang berkepanjangan akan terefleksi sebagai ketidakserasian sepanjang hidup, yang akhirnya mengemuka pada gejala fisik.

Apakah Phytobiophysics itu ?

Phytobiophysics adalah suatu falsafah mengenai vibrasi/getaran kehidupan, suatu ilmu tentang kemanusiaan yang merupakan suatu falsafah kuno berkaitan dengan masalah-masalah kesehatan dari masyarakat modern, dan pada dasarnya termasuk Terapi Listrik / Elektromagnetik. Ditemukan oleh Prof.Dame Diana Mossop, MD dan Phytobiophysics Therapistnya tersebar di berbagai belahan dunia : Canada, Denmark, Irlandia, Irlandia Utara, Spanyol, Swiss, Jerman, Austria, USA, Inggris, Malaysia, dan Indonesia.
Formula bunganya yang menggabungkan ratusan sari tanaman, semuanya beresonansi pada frekuensi yang spesifik, dan secara spesifik pula dicocokan dengan frekuensi tertentu dari berbagai organ dan sistem tubuh. Hasilnya adalah penyeimbangan kembali secara elektrikal sistem energetik tubuh, yang selanjutnya memfasilitasi kemampuan bawaan tubuh kita untuk menyembuhkan diri sendiri pada tingkat yang terdalam.
Dengan menggabungkan ribuan sari tanaman dan bunga suatu resonansi tercipta, dan selanjutnya diamplifikasikan lagi potensinya, sehingga menghasilkan frekuensi listrik yang seperti VASER (Vibrational Amplification by Stimulation Emission of Radiation).
Hasilnya adalah suatu obat yang mampu menangani berbagai kerusakan akibat kejadian masa lalu maupun kelainan yang bersifat degeneratif yang disebabkan oleh trauma emosi dan kejiwaan dalam kehidupan, yang bermanifestasi dalam bentuk gangguan fisik.
Daya Penyembuhan Sari Bunga

Melalui riset puluhan tahun, Prof.Dame Diana Mossop, MD, penemu dan pendiri Institute of Phytobiophysics di Inggris menemukan, bahwa setiap warna bunga memancarkan energi yang berbeda.
Energi ini timbul sebagai hasil penyerapan cahaya matahari dalam proses metabolisme bunga-bungaan itu sendiri, yang dikenal sebagai fotosintesis. Energi ini sangat efektif untuk memulihkan kondisi organ-organ tubuh manusia yang sedang dalam keadaan sakit.
Terapi energi bunga pertama akan berasimilasi ke dalam sistem sirkulasi dan berhubungan dengan fungsi saraf melalui meridian-meridian tubuh, di mana interaksinya terjadi dalam sekejap, dan membuat regulasi energi secara instan. Emosi sang penderita akan distabilkan, yang membawa efek keseimbangan di semua tingkat kesadaran.


Cara Diagnosa yang Unik, Efisien, dan Efektif

Praktisi Phytobiophysics yang mahir mampu mendeteksi berbagai kondisi kesehatan secara cepat dan akurat. Dengan metoda Muscle Respons Testatau Electro Accupoint Value (EAV) pada titik-titik meridian tubuh, bagian organ tubuh yang sakit karena adanya peningkatan atau penurunan energi akan terdeteksi secara cepat.
Dari kadar kolesterol, alergi, hingga kemampuan konsentrasi dan kepribadian semuanya bisa dievaluasi dengan mudah. Hal-hal yang dalam pemeriksaan medis konvensional akan makan lebih banyak upaya, waktu dan biaya.
Dengan bantuan Test Kitdan Test Tape bahkan bisa ditentukan adanya jenis kuman dan virus yang menginfeksi, kerusakan dan kelemahan imunitas organ tertentu, kondisi partikel darah, fungsi hati dan ginjal, dan adanya keracunan logam berat.
Phytobiophysics juga memungkinkan diagnosa secara mudah adanya kanker, hepatitis, lupus, meningitis, malaria, campak, rubella, sifilis, TBC dan sebagainya.
Bahkan pada beberapa kasus, deteksi ala Phytobiophysics ini mengetahui secara lebih dini kondisi sakit pada pasien-pasien yang sering mengeluh sakit tetapi hasil laboratorium, USG, CT scan bahkan MRI cenderung dalam batas normal. Hal ini karena kelemahan organ tubuh dapat dirasakan sejak adanya ketidakselarasan sistem energetic tubuh, bahkan sebelum seseorang terdiagnosa suatu penyakit.


Kemampuan Phytobiophysics Menangani Gangguan Virus

Kedokteran modern yang bergantung pada produk-produk farmasi belum sepenuhnya berhasil menangani gejala dan infeksi akibat virus. Berbeda dengan bakteri, virus bersifat elektrikal, dan mengganggu medan daya elektrikal tubuh. Salah satu daya penyembuhan yang paling menarik dari Phytobiophysics, adalah kemampuannya untuk menangani berbagai virus penyakit.
Formula Phytobiophysics menyeimbangkan kembali medan daya elektrikal yang telah dirusak oleh virus, dan dengan demikian memperbaiki sirkuit meridian tubuh, mengembalikan ’blue print’ dari sel-sel hingga normal kembali, menstruktur ulang matriks selular, mengembalikan keseimbangan dan memfasilitasi kemampuan bawaan tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Seperti halnya akupunktur, formula Phytobiophysics mengembalikan meridian yang kacau hingga normal kembali. Phytobiophysics juga menjangkau sistem endokrin, chakra, dan metabolisme.


Terapi penunjang Phytobiophysics

Podo Rachidian Mobilisation atau disingkat PRM adalah terapi penunjang dalam sistem penyembuhan Phytobiophysics. Terapi ini bekerja mengiringi formula bunga dalam mengembalikan struktur holistik tubuh untuk mempertahankan kesehatan.
Fokus dari PRM terutama pada struktural sumbu tubuh seperti kranium (tengkorak), tulang punggung, sakrum dan panggul, dan hubungannya melalui pusat persarafan dan meridian dengan efisiensi energetik dan fungsional dari berbagai sistem organ tubuh.
Dengan penekanan pada ketidakseimbangan struktural yang mendasar tersebut, tujuan PRM adalah membantu melepas ketegangan muskuloskeletal, sekaligus memperbaiki kapasitas persarafan dan energetiksang pasien, dengan cara merangsang terjadinya penyelarasan struktural dan fungsional. Metode ini sangat membantu pemulihan dalam kasus masalah sinus, tonsil, tulang belakang dan problem Temporo Mandibular Joint (TMJ).


Menyingkap Tabir Misteri Kepribadian dengan Metode Heart Lock

Metode Heart Lock mencerminkan trauma emosi yang pernah dialami. Analog dengan ruang dalam jantung manusia, dimana jantung diyakini sebagai penyimpan segala gejolak emosi kehidupan seseorang. Tanpa disadari, hal-hal tersebut terekam dan menimbulkan efek pembentukan kepribadian seseorang, yang mencerminkan 4 pembagian tubuh dan pengaruh magnetis bumi.
Teori Heart Lock menerangkan terjadinya sakit pada manusia, dan dapat pula dipergunakan untuk mendeteksi kecenderungan seseorang terhadap suatu kepribadian yang mendasar.
Terbagi menjadi 4 tipe kepribadian : Lock 1, Lock 2, Lock 3, Lock 4. Masing-masing tipe mempunyai kekurangan dan kelebihan tersendiri. Kecenderungan penyakit dan bakat seseorang dapat diketahui dari metode ini.
Terapi Phytobiophysics menyeimbangkan kepribadian seseorang, sehingga tanpa disadari emosi lebih terkendali dan tubuh menjadi lebih sehat.


5 Langkah Praktis Phytobiophysics untuk Melengkapi Harmoni :
1. Melepaskan blok energi yang disebabkan disharmoni Spiritual
dan Emosional.
2. Penangkal vibrasi toxin dan racun dari perkembangan
masyarakat modern.
3. Menstabilkan Emosi sehingga mampu menyesuaikan diri dengan
Fisik.
4. Membantu asimilasi dari nutrisi.
5. Memfasilitasi kemampuan bawaan tubuh untuk menyembuhkan
diri sendiri pada tingkat terdalam.

Formula Bunga secara instan meregulasi aliran energi melalui :
1. Sistem Sirkulasi Darah
2. Sistem Meridian Tubuh ( dan lalu masuk ke Sistem Saraf )

Respon instannya pada level superficial terjadi dalam waktu 24-48 jam, dengan cara energi dari Formula Bunga mencari kerusakan dari Genetic Coding dalam tubuh.


5 Filosofi Baru dari Phytobiophysics yang Unik :
1.Tidak membahayakan, tidak menimbulkan ketergantungan.
2. Mempertinggi aktivitas dari suplemen lain.
3. Aman untuk bayi, anak-anak, wanita hamil, orang lanjut usia.
4. Mudah digunakan, mudah dipilih.
5. Penyelarasan warna secara praktis.


FORMULA BUNGA SEBAGAI GETARAN DASAR YANG MENSTABILISASI SESUAI SKEMA BERIKUT :

Spiritual / Emosional Tragedi
Hambatan Energi dalam Tubuh
Timbul Toksin / Polusi / Radikal Bebas
Melemahkan Sistem Pencernaan
Nutrisi tidak Seimbang

Imun Sistem tidak Seimbang
Tubuh Terlalu Lemah untuk Melawan Penyakit
by=Dr.Florentina R Wahjuni

Kamis, 13 Mei 2010

lever

Penyakit lever atau sering disebut dengan Hepatitis adalah peradangan atau kerusakan sel-sel di jaringan hati. Peradangan ini timbul bisa dari beberapa faktor, bisa karena infeksi maupun karena virus. Gejala awal yang bisa dikenali adalah adanya perubahan warna pada kulit, telapak tangan, kuku, bahwa pada mata menjadi berwarna kuning. Gejala lain adalah perut menjadi kembung dan sering mual, badan terasa lemas dan rasanya ngantuk terus. Ada beberapa jenis hepatitis yaitu A, B, C,D dan E. Untuk jenis hepatitis A dan E, ini adalah tipe yang paling ringan dan secara medis masih bisa disembuhkan, tetapi untuk Hepatitis B,C dan D, maka kerusakan di jaringan hati adalah sangat parah dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Bagi yang sudah akut, maka perut akan membesar dan kalau diraba terasa keras.

Secara medis bahwa jika jaringan hati sudah mengeras, maka tingkat kesembuhan adalah sangat kecil bahkan bagi yang didiagnosis sirosis, jika tidak dilakukan transplatasi hati, maka hasil pengamatan, antara 3-4 bulan pasien meninggal dunia.

Pertanyaannya adalah apakah pasien yang mengidap Sakit Lever atau Hepatitis bisa sembuh? Secara medis memang sulit karena sampai sekarangpun belum ada obat nya. Obat yang diberikan hanyalah vitamin untuk meningkatkan ketahanan tubuh, tetapi tidak bisa mengobati jaringan hati yang rusak.

Kalau ditinjau dari segi psikologis dengan menggunakan pendekatan secara religi, insyaallah sakit lever atau hepatitis masih bisa sembuh. Tidak ada cara lain untuk sembuh, maka kita harus mau kembali kepada Sang Penyembuh yaitu ALLAH.

Secara faktor psikologis, sakit lever atau hepatitis ini timbul sebagai akibat dari sifat atau perilaku yang kaku, bahkan keras. Yaitu jika memiliki pendapat itu kaku, tidak mau diberikan pendapat oleh orang lain. Perilaku yang lain adalah emosi tinggi yang disimpan dihati, bahkan timbul rasa tidak suka kepada orang lain yang berlebihan. Maka dari itu muncullah ungkapan ”hatinya kaku dan keras” tidak bisa dibelokkan. Dari sifat yang kaku dan keras inilah maka penyakit lever atau hepatitis bisa muncul.

Terus bagaimana solusinya? Solusinya tidak lain adalah merubah semua perilaku yang kaku dan keras ini menjadi lunak. Terimalah masukan orang lain, dengarkanlah pendapat orang lain, jangan paksakan pendapat kepada orang lain dll.

Cara kedua adalah meminta ampun kepada Allah setiap waktu. Sholatlah tahajud dan lalu mohon ampun atas semua kesalahan yang sudah diperbuat. Insyaallah dengan merubah semua perilaku yang kaku dan keras ini serta memohon ampun dan kesembuhan kepada Allah, Allah akan kembali mengempukan hati yang keras ini. Jika hati yang sudah keras ini sudah diempukkan oleh Allah, maka artinya adalah kesembuhan.

Kenapa sholat tahajud? Sholat tahajud dilakukan di sepertiga malam, dalam kondisi yang sepi ini maka doa akan lebih khusyuk. Dasar sholat tahajud kan jelas di Al Quran, Surat Al –Israa’ ayat 79.

Dan pada sebagian malam hari, bersembahyang tahajudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahhan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.

Sholat adalah ibadah yang sangat lengkap, semua permintaan sudah ada disini. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyembuh. Tidak usah berkecil hati ketika ditimpakan kesulitan atau sakit. Ketika ditimpa sakit atau kesusahan artinya Allah masing sayang dan mengingatkan kita untuk kembali kepada-Nya. Mari kita kembali kepada Allah, tempat dari segala tempat untuk mengajukan berbagai macam proposal dan kepentingan.

ALERGI DAN HIPERSENSITIFITAS OBAT

Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi.

Patogenesis

Pengetahuan kita tentang metabolisme obat serta metabolitnya masih terbatas dan banyak yang belum jelas, demikian pula tentang mekanisme imun terhadap obat. Alergi obat biasanya tidak dihubungkan dengan efek farmakologik, tidak tergantung dari dosis yang diberikan, dan tidak terjadi pada pajanan awal. Sensitisasi imunologik memerlukan pajanan awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum timbul reaksi hipersensitivitas.

Substansi obat biasanya mempunyai berat molekul rendah sehingga tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan karier yang mempunyai berat molekul besar. Antigen yang bersifat tidak lengkap seperti ini merupakan kompleks obat dan protein yang disebut sebagai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil.

Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera, ekstrak organ) dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh. Tetapi ada beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang bersifat imunogenik tanpa bergabung dengan karier. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang.

Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori (reaksi anamnestik) .

Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut Gell dan Coombs (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas). Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut (Tabel 26-2). Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgE-mediated). Perlu diingat bahwa dapat saja terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit autoimun.
PENATALAKSANAAN

Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul.

kriteria umum reaksi hipersensitivitas obat :

1.
Gejala pasien sesuai dengan reaksi imunologi terhadap obat.]
2.
Pasien mendapatkan obat yang memang dapat memberikan gejala alergi (struktur kimia obat memang telah dikaitkan dengan reaksi imun).
3.
Terdapat hubungan temporal antara pemberian obat dengan timbulnya gejala reaksi alergi.
4.
Tidak ada penyebab lain yang jelas terhadap manifestasi klinis pasien yang sedang menggunakan obat tertentu yang memang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas.
5.
Data laboratorium menunjang mekanisme imunologi yang dapat menjelaskan reaksi obat.

TATALAKSANA

Dasar utama penanganan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul. Di samping itu perlu pula dipikirkan upaya pencegahan alergi obat.

Penghentian obat

Penentuan obat yang harus dihentikan seringkali sulit karena biasanya, terutama pada anak, penderita mendapat berbagai jenis obat dalam waktu yang sama. Bila mungkin semua obat dihentikan dulu, kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi, atau menggantikannya dengan obat lain. Bila obat tersebut dianggap sangat penting dan tak tergantikan, bila tidak ada alternatif lain dan reaksi alerginya relatif ringan, dapat terus diberikan dengan persetujuan penderita dan keluarga. Pada beberapa keadaan dapat dilakukan desensitasi obat atau prosedur provakasi bertahap. Desentisasi biasa dilakukan pada jenis obat penisilin, antibiotik non-beta laktam dan insulin. Sedangkan provokasi bertahap biasa dilakukan asam aminosalisilat, isoniazid, trimetoprim-sulfametoksazol, dapson, alopurinol, sulfasalazin dan difenilhidantoin.

Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan obat lain. Bila obat tersebut dianggap sangat penting dan tak dapat digantikan, dapat terus diberikan atas persetujuan keluarga, dan dengan cara desensitisasi.

Pengobatan

Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.

Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari. Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson.

Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan elektrolit dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah rumatan dan dehidrasi yang ada.




Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya. Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya muka, leher, ketiak dan selangkangan..

Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus, urtikaria, atau edema angioneurotik dapat diberikan antihistamin dan bila kelainan tersebut cukup luas diberikan pula adrenalin. Reaksi anafilaktik akut membutuhkan epinefrin, patensi jalan nafas, oksigen, cairan intravena, antihistamin dan kortikosteroid. Reaksi kompleks imun biasanya sembuh spontan setelah antigen hilang, namun sebagai terapi simtomatik dapat diberikan antihistamin dan antiinflamasi non-steroid. Antihistamin generasi kedua dapat pula digunakan, seperti loratadin. Steroid topikal dengan potensi sedang (hidrokortison atau desonid) dan pelembab dapat digunakan pada tahap deskumasasi.

Bila gejala klinis berat (dermatitis eksfoliatif, nekrolisis epidermal toksik, sindrom Stevens-Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologik) harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, transfusi, antibiotik profilaksis). Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, sikatriks, atau kontraktur melalui konsultasi dan kerjasama interdisiplin dengan bagian terkait (mata, kulit, bedah).

Pada reaksi pseudoalergi seperti pewarnaan radiokontras dapat diberikan terlebih dahulu obat sebelum prosedur pemeriksaan, seperti kortikosteroid, antihistamin dan atau efedrin. Pencegahan reaksi alergi obat merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan. Penggunaan obat yang sering memberikan reaksi alergi, seperti antibiotik, harus diberikan sesuai indikasi. Pemberian obat secara oral lebih sedikit memberikan reaksi alergi dibandingkan parenteral atau topikal. Pemberian obat parenteral harus ditunjang dengan ketersediaan epinefrin atau sarana gawat darurat lain.

Pencegahan

Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya penting untuk selalu dilakukan walaupun harus dinilai dengan kritis untuk menghindari tindakan berlebihan. Misalnya ruam kulit setelah pemberian ampisilin pada seorang anak belum tentu karena alergi obat. Bila dokter telah mengetahui atau sangat curiga bahwa pasiennya alergi terhadap obat tertentu maka hendaknya ia membuatkan surat keterangan tentang hal tersebut yang akan sangat berguna untuk upaya pencegahan pada semua keadaan.

Semakin sering seseorang memakai obat maka akan semakin besar pula kemungkinan untuk timbulnya alergi obat. Jadi pemakaian obat hendaknya dengan indikasi kuat dan bila mungkin hindari obat yang dikenal sering memberikan sensitisasi pada kondisi tertentu (misalnya aspirin pada asma bronkial).

Cara pembuatan obat harus diperbaiki dengan mengurangi dan menghilangkan bahan yang potensial dapat menjadi penyebab alergi, atau bahan yang dapat menyebabkan reaksi silang imunogenik. Contohnya adalah pembuatan vaksin bebas protein hewani, atau antibodi dari darah manusia.

Uji kulit dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya alergi obat, tetapi prosedur ini hanya bermanfaat untuk alergen makromolekul, sedangkan untuk obat dengan berat molekul rendah sejauh ini hanya terhadap penisilin (dengan uji alergen benzilpenisiloil polilisin).

Bila seseorang telah diketahui atau diduga alergi terhadap obat tertentu maka harus dipertimbangkan pemberian obat lain. Obat alternatif tersebut hendaknya bukan obat yang telah dikenal mempunyai reaksi silang dengan obat yang dicurigai. Misalnya memberikan aminoglikosida sebagai alternatif untuk penisilin. Bila obat tersebut sangat dibutuhkan sedangkan obat alternatif tidak ada, dapat dilakukan desensitisasi secara oral maupun parenteral. Misalnya desensitisasi penisilin untuk penderita penyakit jantung reumatik atau desensitisasi serum antidifteri. Desensitisasi merupakan prosedur yang berisiko sehingga harus dipersiapkan perlengkapan penanganan kedaruratan terutama untuk reaksi anafilaksis.













PROGNOSIS

Estimasi saat ini menunjukkan angka kejadian alergi obat makin meningkat. Laporan dari seluruh dunia menunjukkan angka 0,01% sampai 5% dan sekurang kurangnya 15%-30% penderita yang dirawat di rumah sakit mengalami reaksi sedikitnya terhadap 1 macam obat dan 6-10% merupakan alergi obat.

Dengan penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik bahkan untuk alergi obat yang berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur, simblefaron, kebutaan bila tindakan tidak tepat dan terlambat dilakukan. Angka kematian dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada sindroma Steven Johnson kematian sebesar 5-15%.





* Iannini P, Mandell L, Felmingham J, Patou G, Tillotson GS. Adverse cutaneous reactions and drugs: a focus on antimicrobials. J Chemother. Apr 2006;18(2):127-39. [Medline].
* Green JJ, Manders SM. Pseudoporphyria. J Am Acad Dermatol. Jan 2001;44(1):100-8. [Medline].
* Coopman SA, Johnson RA, Platt R, Stern RS. Cutaneous disease and drug reactions in HIV infection. N Engl J Med. Jun 10 1993;328(23):1670-4. [Medline].
* Hunziker T, Kunzi UP, Braunschweig S, Zehnder D, Hoigne R. Comprehensive hospital drug monitoring (CHDM): adverse skin reactions, a 20-year survey. Allergy. Apr 1997;52(4):388-93. [Medline].
* Keet I, Meyaard L, Boucher E, et al. Allergic reactions to cotrimoxazole correlate with decreased T-cell reactivity compatible with a Th1 to Th2 shift [abstr PO-A19-0404]. Int Conf AIDS. 1993;9 (1):202.
* Kramer MS, Leventhal JM, Hutchinson TA, Feinstein AR. An algorithm for the operational assessment of adverse drug reactions. I. Background, description, and instructions for use. JAMA. Aug 17 1979;242(7):623-32. [Medline].
* Lerch M, Pichler WJ. The immunological and clinical spectrum of delayed drug-induced exanthems. Curr Opin Allergy Clin Immunol. Oct 2004;4(5):411-9. [Medline].
* Litt JZ. Drug Eruption Reference Manual 2002. New York, NY: Parthenon; 2002.
* Mayorga C, Pena RR, Blanca-Lopez N, Lopez S, Martin E, Torres MJ. Monitoring the acute phase response in non-immediate allergic drug reactions. Curr Opin Allergy Clin Immunol. Aug 2006;6(4):249-57. [Medline].
* McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug reactions. Immunol Allergy Clin North Am. Aug 2004;24(3):399-423, vi. [Medline].
* Mockenhaupt M, Schopf E. Epidemiology of drug-induced severe skin reactions. Semin Cutan Med Surg. Dec 1996;15(4):236-43. [Medline].
* Nigen S, Knowles SR, Shear NH. Drug eruptions: approaching the diagnosis of drug-induced skin diseases. J Drugs Dermatol. Jun 2003;2(3):278-99. [Medline].
* Pereira FA, Mudgil AV, Rosmarin DM. Toxic epidermal necrolysis. J Am Acad Dermatol. Feb 2007;56(2):181-200. [Medline].
* Revuz J, Valeyrie-Allanore L. Drug reactions. In: Dermatology. Vol 1. Philadelphia, Pa: Mosby; 2003:333-53.
* Roujeau JC, Bioulac-Sage P, Bourseau C, Guillaume JC, Bernard P, Lok C, et al. Acute generalized exanthematous pustulosis. Analysis of 63 cases. Arch Dermatol. Sep 1991;127(9):1333-8. [Medline].
* Sahin S, Comert A, Akin O, Ayalp S, Karsidag S. Cutaneous drug eruptions by current antiepileptics: case reports and alternative treatment options. Clin Neuropharmacol. Mar-Apr 2008;31(2):93-6. [Medline].
* Shapiro LE, Shear NH. Mechanisms of drug reactions: the metabolic track. Semin Cutan Med Surg. Dec 1996;15(4):217-27. [Medline].
* Stern RS, Steinberg LA. Epidemiology of adverse cutaneous reactions to drugs. Dermatol Clin. Jul 1995;13(3):681-8. [Medline].
* Susser WS, Whitaker-Worth DL, Grant-Kels JM. Mucocutaneous reactions to chemotherapy. J Am Acad Dermatol. Mar 1999;40(3):367-98; quiz 399-400. [Medline].
* Ward HA, Russo GG, Shrum J. Cutaneous manifestations of antiretroviral therapy. J Am Acad Dermatol. Feb 2002;46(2):284-93. [Medline].
* Warnock JK, Morris DW. Adverse cutaneous reactions to antidepressants. Am J Clin Dermatol. 2002;3(5):329-39. [Medline].
* Warnock JK, Morris DW. Adverse cutaneous reactions to mood stabilizers. Am J Clin Dermatol. 2003;4(1):21-30. [Medline].
* Wolf R, Orion E, Marcos B, Matz H. Life-threatening acute adverse cutaneous drug reactions. Clin Dermatol. Mar-Apr 2005;23(2):171-81. [Medline].
* Wolverton SE. Update on cutaneous drug reactions. Adv Dermatol. 1997;13:65-84. [Medline].
* Wyatt AJ, Leonard GD, Sachs DL. Cutaneous reactions to chemotherapy and their management. Am J Clin Dermatol. 2006;7(1):45-63. [Medline].
* Dacey MJ, Callen JP. Hydroxyurea-induced dermatomyositis-like eruption. J Am Acad Dermatol. Mar 2003;48(3):439-41. [Medline].
* Ellgehausen P, Elsner P, Burg G. Drug-induced lichen planus. Clin Dermatol. May-Jun 1998;16(3):325-32. [Medline].
* Camilleri M, Pace JL. Drug-induced linear immunoglobulin-A bullous dermatosis. Clin Dermatol. May-Jun 1998;16(3):389-91. [Medline].
* Antonov D, Kazandjieva J, Etugov D, Gospodinov D, Tsankov N. Drug-induced lupus erythematosus. Clin Dermatol. Mar-Apr 2004;22(2):157-66. [Medline].
* Brenner S, Bialy-Golan A, Ruocco V. Drug-induced pemphigus. Clin Dermatol. May-Jun 1998;16(3):393-7. [Medline].
* Brauchli YB, Jick SS, Curtin F, Meier CR. Association between beta-blockers, other antihypertensive drugs and psoriasis: population-based case-control study. Br J Dermatol. Jun 2008;158(6):1299-307. [Medline].
* Dika E, Varotti C, Bardazzi F, Maibach HI. Drug-induced psoriasis: an evidence-based overview and the introduction of psoriatic drug eruption probability score. Cutan Ocul Toxicol. 2006;25(1):1-11. [Medline].
* Tsankov N, Angelova I, Kazandjieva J. Drug-induced psoriasis. Recognition and management. Am J Clin Dermatol. May-Jun 2000;1(3):159-65. [Medline].
* Clark BM, Kotti GH, Shah AD, Conger NG. Severe serum sickness reaction to oral and intramuscular penicillin. Pharmacotherapy. May 2006;26(5):705-8. [Medline].
* Hazin R, Ibrahimi OA, Hazin MI, Kimyai-Asadi A. Stevens-Johnson syndrome: pathogenesis, diagnosis, and management. Ann Med. 2008;40(2):129-38. [Medline].
* Lee HY, Pang SM, Thamotharampillai T. Allopurinol-induced Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. J Am Acad Dermatol. Aug 2008;59(2):352-3. [Medline].
* Roujeau JC, Kelly JP, Naldi L, Rzany B, Stern RS, Anderson T, et al. Medication use and the risk of Stevens-Johnson syndrome or toxic epidermal necrolysis. N Engl J Med. Dec 14 1995;333(24):1600-7. [Medline].
* MacMorran WS, Krahn LE. Adverse cutaneous reactions to psychotropic drugs. Psychosomatics. Sep-Oct 1997;38(5):413-22. [Medline].
* Roe E, Garcia Muret MP, Marcuello E, Capdevila J, Pallares C, Alomar A. Description and management of cutaneous side effects during cetuximab or erlotinib treatments: a prospective study of 30 patients. J Am Acad Dermatol. Sep 2006;55(3):429-37. [Medline].
* Shipley D, Ormerod AD. Drug-induced urticaria. Recognition and treatment. Am J Clin Dermatol. 2001;2(3):151-8. [Medline].
* Asnis LA, Gaspari AA. Cutaneous reactions to recombinant cytokine therapy. J Am Acad Dermatol. Sep 1995;33(3):393-410; quiz 410-2. [Medline].
* Barbaud A. Drug patch testing in systemic cutaneous drug allergy. Toxicology. Apr 15 2005;209(2):209-16. [Medline].
* French LE, Trent JT, Kerdel FA. Use of intravenous immunoglobulin in toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: our current understanding. Int Immunopharmacol. Apr 2006;6(4):543-9. [Medline].
* Mukasa Y, Craven N. Management of toxic epidermal necrolysis and related syndromes. Postgrad Med J. Feb 2008;84(988):60-5. [Medline].
* Paquet P, PiĆ©rard GE, Quatresooz P. Novel treatments for drug-induced toxic epidermal necrolysis (Lyell’s syndrome). Int Arch Allergy Immunol. Mar 2005;136(3):205-16. [Medline].
* Bork K. Adverse drug reactions. In: Demis DJ, ed. Clinical Dermatology. Vol 3. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven; 1998.
* Breathnach SM, Hintner H. Adverse Drug Reactions and the Skin. London, England: Blackwell Scientific; 1992.
* Campos-Fernandez Mdel M, Ponce-De-Leon-Rosales S, Archer-Dubon C, Orozco-Topete R. Incidence and risk factors for cutaneous adverse drug reactions in an intensive care unit. Rev Invest Clin. Nov-Dec 2005;57(6):770-4. [Medline].
* Coombs RRA, Gell PGH. Classification of allergic reactions responsible for clinical hypersensitivity and disease. Clin Aspects Immunol. 1968;575-96.
* Daoud MS, Schanbacher CF, Dicken CH. Recognizing cutaneous drug eruptions. Reaction patterns provide clues to causes. Postgrad Med. Jul 1998;104(1):101-4, 107-8, 114-5. [Medline].
* Fitzpatrick JE. New histopathologic findings in drug eruptions. Dermatol Clin. Jan 1992;10(1):19-36. [Medline].
* Greenberger PA. 8. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol. Feb 2006;117(2 Suppl Mini-Primer):S464-70. [Medline].
* Heidary N, Naik H, Burgin S. Chemotherapeutic agents and the skin: An update. J Am Acad Dermatol. Apr 2008;58(4):545-70

PENGGUNAAN OBAT- OBAT YANG DIGUNAKAN PADA MASA KEHAMILAN

I. PENDAHULUAN

Pemakaian obat pada kehamilan merupakan salah satu masalah pengobatan yang penting untuk diketahui dan dibahas. Hal ini mengingat bahwa dalam pemakaian obat selama kehamilan, tidak saja dihadapi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu, tetapi juga pada janin. Hampir sebagian besar obat dapat melintasi sawar darah/plasenta, beberapa diantaranya mampu memberikan pengaruh buruk, tetapi ada juga yang tidak memberi pengaruh apapun. Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin dalam uterus, baik melalui efek farmakologik maupun efek teratogeniknya. Secara umum faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan memberikan efek pada janin adalah:

a. sifat fisikokimiawi dari obat
b. kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin
c. lamanya pemaparan terhadap obat
d. bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada janin
e. periode perkembangan janin saat obat diberikan dan
f. efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi.
Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat lipofilik dan ionisasi obat. Obat yang mempunyai lipofilik tinggi cenderung untuk segera terdifusi ke dalam serkulasi janin. Contoh, tiopental yang sering digunakan pada seksio sesarea, dapat menembus plasenta segera setelah pemberian, dan dapat mengakibatkan terjadinya apnea pada bayi yang dilahirkan. Obat yang sangat terionisasi seperti misalnya suksinilkholin dan d-tubokurarin, akan melintasi plasenta secara lambat dan terdapat dalam kadar yang sangat rendah pada janin. Kecepatan dan jumlah obat yang dapat melintasi plasenta juga ditentukan oleh berat molekul. Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat secara mudah melintasi plasenta, tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan obat dengan berat molekul > 1000 sangat sulit menembus plasenta. Kehamilan merupakan masa rentan terhadap efek samping obat, khususnya bagi janin. Salah satu contoh yang dapat memberikan pengaruh sangat buruk terhadap janin jika diberikan pada periode kehamilan adalah talidomid, yang memberi efek kelainan kongenital berupa fokomelia atau tidak tumbuhnya anggota gerak. Untuk itu, pemberian obat pada masa kehamilan memerlukan pertimbangan yang benar-benar matang.

II. FARMAKOKINETIKA OBAT SELAMA KEHAMILAN
2.1 Absorpsi
Pada awal kehamilan akan terjadi penurunan sekresi asam lambung hingga 30-40%. Hal ini menyebabkan pH asam lambung sedikit meningkat, sehingga obat-obat yang bersifat asam lemah akan sedikit mengalami penurunan absorpsi. Sebaliknya untuk obat yang bersifat basa lemah absorpsi justru meningkat. Pada fase selanjutnya akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal sehingga absopsi obat-obat yang sukar larut (misalnya digoksin) akan meningkat, sedang absopsi obat-obat yang mengalami metabolisme di dinding usus, seperti misalnya klorpromazin akan menurun.

2.2 Distribusi
Pada keadaan kehamilan, volume plasma dan cairan ekstraseluser ibu akan meningkat, dan mencapai 50% pada akhir kehamilan. Sebagai salah satu akibatnya obat-obat yang volume distribusinya kecil, misalnya ampisilin akan ditemukan dalam kadar yang rendah dalam darah, walaupun diberikan pada dosis lazim. Di samping itu, selama masa akhir kehamilan akan terjadi perubahan kadar protein berupa penurunan albumin serum sampai 20%. Perubahan ini semakin menyolok pada keadaan pre-eklamsia, di mana kadar albumin turun sampai 34% dan glikoprotein meningkat hingga 100%. Telah diketahui, obat asam lemah terikat pada albumin, dan obat basa lemah terikat pada alfa-1 glikoprotein. Konsekuensi, fraksi bebas obat-obat yang bersifat asam akan meningkat, sedangkan fraksi bebas obat-obat yang bersifat basa akan menurun. Fraksi bebas obat-obat seperti diazepam, fenitoin dan natrium valproat terbukti meningkat secara bermakna pada akhir kehamilan.
2.3 Eliminasi
Pada akhir masa kehamilan akan terjadi peningkatan aliran darah ginjal sampai dua kali lipat. Sebagai akibatnya, akan terjadi peningkatan eliminasi obat-obat yang terutama mengalami ekskresi di ginjal. Dengan meningkatnya aktivitas mixed function oxidase, suatu sistem enzim yang paling berperan dalam metabolisme hepatal obat, maka metabolisme obat-obat tertentu yang mengalami olsidasi dengan cara ini (misalnya fenitoin. fenobarbital, dan karbamazepin) juga meningkat, sehingga kadar obat tersebut dalam darah akan menurun lebih cepat, terutama pada trimester kedua dan ketiga. Untuk itu, pada keadaan tertentu mungkin diperlukan menaikkan dosis agar diperoleh efek yang diharapkan.

III. PENGARUH OBAT PADA JANIN
Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik, teratogenik maupun letal, tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan pada saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau biokimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasi anatomik pada petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan kematian janin dalam kandungan. Secara umum pengaruh buruk obat pada janin dapat beragam, sesuai dengan fase-fase berikut :
1. Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan (abortus).
2. Fase embional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara 4-8 minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh buruk yang mungkin terjadi pada fase ini antara lain :
- Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak timbul
secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormon dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian hari (pada saat mereka sudah dewasa).
- Pengaruh letal, berupa kematian janin atau terjadinya abortus.
- pengaruh subletal, yang biasanya dalam bentuk malformasi anatomis pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia karena talidomid.
3. Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi anatomik lagi. tetapi mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ. Demikian pula pengaruh obat yang dialami ibu dapat pula dialami janin, meskipun mungkin dalam derajat yang berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya depresi pernafasan neonatus karena selama masa akhir kehamilan, ibu mengkonsumsi obat-obat seperti analgetika-narkotik; atau terjadinya efek samping pada sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.

III. PENGUNAAN BEBERAPA OBAT SELAMA MASA KEHAMILAN
3.1 Antibiotik dan antiseptik
Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara alamiah risiko terjadinya infeksi pada periode ini lebih besar, seperti misalnya infeksi saluran kencjng karena dilatasi ureter dan stasis yang biasanya muncul pada awal kehamilan dan menetap sampai beberapa saat setelah melahirkan. Dalam menghadapi kehamilan dengan infeksi,
pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu, tetapi juga segi janin, mengingat hamper semua antibiotika dapat melintasi plasenta dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang dianjurkan maupun yang harus dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik dapat tercapaisemaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan seminimal mungkin.
3.1.1 Penisilin
Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun cairan amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan, meskipun perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat kemungkinan efek samping yang dapat terjadi pada ibu.
- Ampilisin:
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena belum sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu dan janin pada masa tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama kehamilan. Dengan meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat pula volume distribusi obat. Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya 50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian penambahan dosis ampisilin perlu dilakukan selama masa kehamilan.
- Amoksisilin :
Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin penambahan dosis amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah ibu maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin, kadarnya hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu.

3.1.2 Sefalosporin
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat selama beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada trimester terakhir kehamilan.
3.1.3 Tetrasiklin
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan mudah melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika diberikan pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya deposisi tulang in utero, yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang, terutama pada bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak menetap (reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses remodelling, namun sebaiknya tidak diberikan pada periode tersebut. Jika diberikan pada trimester kedua hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi kekuningan) yang bersifat menetap disertai hipoplasia enamel. Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh mungkin harus dihindari.

3.1.4 Aminoglikosida
Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya oleh wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian malformasi dan kerusakan janin yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak dianjurkan. Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler pada janin, terutama jika diberikan pada periode organogeneis. Kerusakan saraf kranial VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat aminoglikosida pada kehamilan.
3.1.5 Kloramfenikol
Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II dan III, di mana hepar belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan), hipotermia, muntah, abdomen protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping pernafasan yang cepat & tidak teratur, serta letargi. Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang karena efek farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat reversibel. Pemberian kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada minggu-minggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui.

3.1.6 Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari, terutama pada akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari tempat ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan menetap sampai 7 hari setelah bayi lahir.
3.1.7 Eritromisin
Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding kadarnya dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin dapat menyebabkan kelainan pada janin. Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama. Namun ditilik dari segi keamanan dan manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika lain, misalnya tetrasiklin.

3.1.8 Trimetoprim
Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan fetal hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji hewan, trimetoprim terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada dosis besar. Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari. Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian suplementasi asam folet.
3.1.9 Nitrofurantoin
Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran kencing. Jika diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah. Dengan makin bertambahnya umur kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam plasma janin juga meningkat. Sejauh ini belum terbukti bahwa nitrofurantoin dapat meningkatkan kejadian malformasi janin. Namun perhatian harus diberikan terutama pada kehamilan cukup bulan, di mana pemberian nitrofurantoin pada periode ini kemungkinan akan menyebabkan anemia hemolitik pada janin.
3.2 Analgetik
Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan dengan masalah fisiologis dari si ibu, karena adanya tarikan otot-otot dan sendi karena kehamilan, maupun sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan proses radang, pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka waktu relatif pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya diperlukan pengobatan dalam jangka waktu tertentu. Penilaian yang seksama terhadap penyebab nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat yang paling tepat.
3.2.1 Analgetika-narkotika
Semua analgetika-narkotika dapat melintasi plasenta dan dari berbagai penelitian pada gewan uji, secara konsisten obat ini menunjukkan adanya akumulasi pada jaringan otak janin. Terdapat bukti meningkatkan kejadian permaturitas, retardasi pertumbuhan intrauteri, fetal distress dan kematian perinatal pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sering mengkonsumsi analgetika-narkotik. Keadaan withdrawl pada bayi-bayi yang baru lahir tersebut biasanya manifes dalam bentuk tremor, iritabilitas, kejang, muntah, diare dan takhipnoe. Metadon: Jika diberikan pada kehamilan memberi gejala withdrawal yang munculnya lebih lambat dan sifatnya lebih lama dibanding heroin. Beratnya withdrawal karena metadon nampaknya berkaitan dengan meningkatnya dosis pemeliharaan pada ibu sampai di atas 20 mg/hari, Petidin Dianggap paling aman untuk pemakaian selam proses persalinan. Tetapi kenyataannya bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat petidin selama proses kelahiran menunjukkan skala neuropsikologik yang lebih rendah disbanding bayi-bayi yang ibunya tidak mendapat obat ini, atau yang mendapat anestesi lokal. Dengan alasan ini maka pemakaian petidin pada persalinan hanya dibenarkan apabila anestesi epidural memang tidak memungkinkan.
3.2.2 Analgetika-antipiretik
Parasetamol, Merupakan analgetika-antipiretik yang relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan. Meskipun kemungkinan terjadinya efek samping hepatotoksisitas tetap ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh lebih besar dari yang dianjurkan.
Antalgin:, Dikenal secara luas sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan. Salah satu efek samping yang dikhawatirkan pada penggunaan antalgin ini adalah terjadinya agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif sangat jarang, tetapi pemakaian selama kehamilan sebaiknya dihindari.
3.2.3 Antiinflamasi non-steroid
Dengan dasar mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis prostaglandin, efek samping obat-obat antiinflamasi non-steroid kemungkinan lebih sering terjadi pada trimester akhir kehamilan. Dengan terhambatnya sintesis prostaglandin, pada janin akan terjadi penutupan duktus arteriosus Botalli yang terlalu dini, sehingga bayi yang dilahirkan akan menderita hipertensi pulmonal. Efek samping yang lain adalah berupa tertunda dan memanjangnya proses persalinan jika obat ini diberikan pada trimester terakhir. Sejauh ini tidak terdapat bukti bahwa antiiflamasi non-steroid mempunyai efek teratogenik pada janin dalam bentuk malformasi anatomik. Namun demikian, pemberian obat-obat tersebut selama kehamilan hendaknya atas indikasi yang ketat disertai beberapa pertimbangan pemilihan jenis obat. Pertimbangan ini misalnya dengan memilih obat yangmempunyai waktu paruh paling singkat, dengan risiko efek samping yang paling ringan.

3.3 Antiemetik
Meskipun pada uji hewan terdapat bukti bahwa obat-obat antiemetik (meklozin dan siklizin) dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas janin, tetapi hal ini belum terbukti pada manusia. Terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian prometazin selama trimester pertama kehamilan dengan terjadinya dislokasi panggul kongenital pada
janin. Pemakaian antiemetik selama kehamilan sebaiknya dihindari jika intervensi non-farmakologik lainnya masih dapat dilakukan.

3.4 Antiepilepsi
Fenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin setelah pemberian dosis terapetik secara intravenosa. Dosis tertinggi pada janin ditemukan dalam hepar, jantung, dan glandula adrenal. Pada wanita hamil yang mendapat pengobatan fenitoin jangka panjang, kadar fenitoin dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Waktu paruh fenitoin pada bayi baru lahir sekitar 60-70 jam dan obat masih didapat dalam plasma bayi, hingga hari ke lima setelah kelahiran. Pemberian fenitoin selamakehamilan dalam jangka panjang ternyata berkaitan erat dengan meningkatnya angka kejadian kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkan. Kelainan ini berupa malformasi kraniofasial disertai penyakit jantung kongenital, celah fasial, mikrosefalus dan beberapa kelainan pada kranium dan tulang-tulang lainnya. Oleh karena itu pemakaian fenitoin selama kehamilan sangat tidak dianjurkan. Obat-obat antiepilepsi lain seterti karbamazepin dan fenobarbiton ternyata juga menyebabkan terjadinya malformasi kongenital (meskipun lebih ringan ) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi obat-obat tersebut
selama masa kehamilannya. Pemakaian asam valproat selama kehamilan mungkin meningkatkan derajat defek tuba neuralis. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa 1-2 % spina bifida pada bayi baru lahir terjadi karena ibu mengkonsumsi asam valproat
selama masa kehamilannya.

3.5 Antihipertensi
Dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita menjumpai seorang wanita yang dalam masa kehamilannya menderita hipertensi. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah apakah wanita tersebut memang penderita hipertensi atau hipertensi yang dialami hanya terjadi selama masa kehamilan. Meskipun pendekatan terapi antar keduanya berbeda, tetapi tujuan terapinya adalah sama yaitu mencegah terjadinya hipertensi yang lebih berat agar kehamilannya dapat dipertahankan hingga cukup bulan, serta menghindari kemungkinan terjadinya kematian maternal karena eklamsia atau hemoragi serebral terutama saat melahirkan. Sejauh mungkin juga diusahakan agar tidak terjadi komplikasi atau kelainan pada bayi yang dilahirkan, baik karena hipertensinya maupun komplikasi yang menyertainya. Berikut akan dibahas pemakaian obat-obat antihipertensi selama masa kehamilan.
– Golongan penyekat adrenoseptor beta
Obat-obat golongan ini seperti misalnya oksprenolol dan atenolol dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin dengan memberi efek blokade beta pada janin. Oksprenolol dan atenolol relatif aman dan tidak terbukti meningkatkan kejadian kejadian malformasi janin, meskipun terdapat beberapa kasus bayi dengan bradikardi temporer setelah pemberian atenolol pada ibu selama kehamilannya.
- Vasodilator
Pada kehamilan, diazoksid, dan hidralazin umumnya digunakan untuk mencegah kelahiran prematur akibat eklampsia, dimana efeknya tidak saja berupa relaksasi otot vaskuler tetapi juga berpengaruh terhadap otot uterus. Jika digunakan selama masa kehamilan aterm dapat mengakibatkan lambatnya persalinan. Pada pemakaian jangka panjang, diazoksid dapat menyebabkan terjadinya alopesia dan gangguan toleransi glukosa pada bayi baru lahir.
- Golongan simpatolitik sentral:
Metildopa relatif aman selama masa kehamilan. Obat ini mampu melintasi barier plasenta dengan kadar yang hampir sama dengan kadar maternal. Pemberian metildopa hanya efektif untuk hipertensi yang lebih berat. Klonidin juga relatif aman untuk ibu dan janin, tetapi pada dosis besar sering memberi efek samping seperti sedasi dan mulut kering. Secara lebih tegas, obat-obat antihipertensi yang tidak dianjurkan selama kehamilan meliputi:
1. Pemakaian obat-obat golongan antagonis kalsium seperti verapamil, nifedipin, dan diltiazem selama kehamilan ternyata menunjukkan kecenderungan terjadinya hipoksia fetal jika terjadi hipotensi pada maternal.
2. Diuretika sangat tidak dianjurkan selama masa kehamilan karena di samping mengurangi volume plasma juga mengakibatkan berkurangnya perfusi utero-plasenta.
3. Obat-obat seperti reserpin sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena dapat menyebabkan hilangnya termoregulasi pada neonatal jika dikonsumsi selama trimester III.
4. Obat-obat penyekat neuroadrenergik seperti debrisokuin dan guanetidin sebaiknya juga tidak diberikan selama kehamilan karena menyebabkan hipotensi postural dan menurunkan perfusi uteroplasental.
5. Pemakaian obat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor seperti kaptopril dan enalapril sangat tidak dianjurkan selama kehamilan karena meningkatkan kejadian mortalitas janin

V. DAFTAR PUSTAKA (Ada di Bagian Farmakologi Klinik FK-UGM)
Australian Drug Evaluation Committee (1989) Medicine in Pregnancy. Australian Goverment Publishing Service,
Canberra.
Katzung BG (1987) Basic and Clinical Pharmacology,3rd edition. Lange Medical Book, California.
Speight TM (1987) Avery’s Drug Treatment: Principles and Practice of Clinical Pharmacology and Therapeutics, 3rd
edition.ADIS press,Auckland.
Suryawati S et al (1990), Pemakaian Obat pada Kehamilan.Laboratorium Farmakologi Klinik FK-UGM, Yogyakarta

Penggolongan Antibiotika

Penggolongan Antibiotika

Antibiotika dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Antibiotika golongan aminoglikosid,bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri.

Aminoglikosid
Aminoglikosid merupakan senyawa yang terdiri dari 2 atau lebih gugus gula amino yang terikat lewat ikatan glikosidik pada inti heksosa. Aminoglikosid merupakan produk streptomises atau fungus lainnya. Seperti Streptomyces griseus untuk Streptomisin, Streptomyses fradiae untuk Neomisin, Streptomyces kanamyceticus untuk Kanamisin, Streptomyces tenebrarius untuk Tobramisin, Micromomospora purpures untuk Gentamisin dan Asilasi kanamisin A untuk Amikasin.
Aminoglikosid dari sejarahnya digunakan untuk bakteri gram negatif. Aminoglikosid pertama yang ditemukan adalah Streptomisin. Antibiotika lain untuk bakteri gram negatif adalah golongan Sefalosporin generasi 3 yang lebih aman, akan tetapi karena harganya masih mahal banyak dipakai golongan Aminoglikosid.
Aktivitas bakteri Aminoglikosid dari Gentamisin, Tobramisin, Kanamisin, Netilmisin dan Amikasin terutama tertuju pada basil gram negatif yang aerobik (yang hidup dengan oksigen).
Masalah resistensi merupakan kesulitan utama dalam penggunaan Streptomisin secara kronik; misalnya pada terapi Tuberkulosis atau endokarditis bakterial subakut. Resistensi terhadap Streptomisin dapat cepat terjadi, sedangkan resistensi terhadap Aminoglikosid lainnya terjadi lebih berangsur-angsur.

2. Antibiotika golongan sefalosforin,
bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan serta mengaktifkan enzim autolisis pada dinding sel bakteri.

Sefalosforin
Sefalosporin termasuk golongan antibiotika Betalaktam. Seperti antibiotik Betalaktam lain, mekanisme kerja antimikroba Sefalosporin ialah dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif maupun garam negatif, tetapi spektrum masing-masing derivat bervariasi.

3. Antibiotika golongan klorampenikol, bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri.
Kloramfenikol
Kloramfenikol diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari Streptomyces venezuelae. Karena ternyata Kloramfenikol mempunyai daya antimikroba yang kuat maka penggunaan Kloramfenikol meluas dengan cepat sampai pada tahun 1950 diketahui bahwa Kloramfenikol dapat menimbulkan anemia aplastik yang fatal.

Efek antimikroba
Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Yang dihambat adalah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein kuman.
Efek toksis Kloramfenikol pada sel mamalia terutama terlihat pada sistem hemopoetik/darah dan diduga berhubungan dengan mekanisme kerja Kloramfenikol.

4. Antibiotika golongan makrolida, bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri.
Antibiotika golongan Makrolida mempunyai persamaan yaitu terdapatnya cincin Lakton yang besarnya dalam rumus molekulnya. Sebagai contoh terlihat pada struktur dari golongan Makrolida , Eritromisin di bawah ini.
Golongan Makrolida menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan secara reversibel dengan Ribosom subunit 50S, dan bersifat bakteriostatik atau bakterisid tergantung dari jenis kuman dan kadar obat Makrolida.
Sekarang ini antibiotika Makrolida yang beredar di pasaran obat Indonesia adalah Eritomisin, Spiramisin, Roksitromisin, Klaritromisin dan Azithromisin

5. Antibiotika golongan penisilin, bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan.
Penisilin
Penisilin merupakan kelompok antibiotika Beta Laktam yang telah lama dikenal.
Pada tahun 1928 di London, Alexander Fleming menemukan antibiotika pertama yaitu Penisilin yang satu dekade kemudian dikembangkan oleh Florey dari biakan Penicillium notatum untuk penggunaan sistemik. Kemudian digunakan P. chrysogenum yang menghasilkan Penisilin lebih banyak.
Penisilin yang digunakan dalam pengobatan terbagi dalam Penisilin alam dan Penisilin semisintetik. Penisilin semisintetik diperoleh dengan cara mengubah struktur kimia Penisilin alam atau dengan cara sintesis dari inti Penisilin.

Beberapa Penisilin akan berkurang aktivitas mikrobanya dalam suasana asam sehingga Penisilin kelompok ini harus diberikan secara parenteral. Penisilin lain hilang aktivitasnya bila dipengaruhi enzim Betalaktamase (Penisilinase) yang memecah cincin Betalaktam.

1. Aktivitas dan Mekanisme Kerja Penisilin
Penisilin menghambat pembentukan Mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, Penisilin akan menghasilkan efek bakterisid (membunuh kuman) pada mikroba yang sedang aktif membelah. Mikroba dalam keadaan metabolik tidak aktif (tidak membelah) praktis tidak dipengaruhi oleh Penisilin, kalaupun ada pengaruhnya hanya bakteriostatik (menghambat perkembangan).
Oleh karenanya penting untuk menghabiskan antibiotika yang diresepkan dokter anda.

2. Efek Samping Penisilin
· Reaksi hipersensitif, mulai ruam dan gatal sampai serum sickness dan reaksi alergi sistemik yang serius.
· Nyeri tenggorokan atau lidah, lidah terasa berbulu lembut, muntah, diare.
· Mudah marah, halusinasi, kejang

6. Antibiotika golongan beta laktam golongan lain, bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan serta mengaktifkan enzim autolisis pada dinding sel bakteri.

7. Antibiotika golongan kuinolon, bekerja dengan menghambat satu atau lebih enzim topoisomerase yang bersifat esensial untuk replikasi dan transkripsi DNA bakteri.

Kuinolon
Asam Nalidiksat adalah prototip antibiotika golongan Kuinolon lama yang dipasarkan sekitar tahun 1960. Walaupun obat ini mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap kuman gram negatif, tetapi eliminasinya melalui urin berlangsung terlalu cepat sehingga sulit dicapai kadar pengobatan dalam darah.
Karena itu penggunaan obat Kuinolon lama ini terbatas sebagai antiseptik saluran kemih saja. Pada awal tahun 1980, diperkenalkan golongan Kuinolon baru dengan atom Fluor pada cincin Kuinolon ( karena itu dinamakan juga Fluorokuinolon). Perubahan struktur ini secara dramatis meningkatkan daya bakterinya, memperlebar spektrum antibakteri, memperbaiki penyerapannya di saluran cerna, serta memperpanjang masa kerja obat.

Golongan Kuinolon ini digunakan untuk infeksi sistemik. Yang termasuk golongan ini antara lain adalah Spirofloksasin, Ofloksasin, Moksifloksasin, Levofloksasin, Pefloksasin, Norfloksasin, Sparfloksasin, Lornefloksasin, Flerofloksasin dan Gatifloksasin.
Mekanisme Kerja Kuinolon

Pada saat perkembang biakkan kuman ada yang namanya replikasi dan transkripsi dimana terjadi pemisahan double helix dari DNA kuman menjadi 2 utas DNA. Pemisahan ini akan selalu menyebabkan puntiran berlebihan pada double helix DNA sebelum titik pisah. Hambatan mekanik ini dapat diatasi kuman dengan bantuan enzim DNA girase. Peranan antibiotika golongan Kuinolon menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman dan bersifat bakterisidal, sehingga kuman mati.

8. Antibiotika golongan tetrasiklin, bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri.
Tetrasiklin
Tetrasiklin pertama kali ditemukan oleh Lloyd Conover. Berita tentang Tetrasiklin yang dipatenkan pertama kali tahun 1955. Tetrasiklin merupakan antibiotika yang memberi harapan dan sudah terbukti menjadi salah satu penemuan antibiotika penting. Antibiotika golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan adalah Klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Kemudian ditemukan Oksitetrasiklin dari Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari Klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari spesies Streptomyces lain.
Mekanisme Kerja Tetrasiklin
Golongan Tetrasiklin termasuk antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Golongan Tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotika Tetrasiklin ke dalam ribosom bakteri gram negatif; pertama yang disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua ialah sistem transportasi aktif. Setelah antibiotika Tetrasiklin masuk ke dalam ribosom bakteri, maka antibiotika Tetrasiklin berikatan dengan ribosom 30s dan menghalangi masuknya komplek tRNA-asam amino pada lokasi asam amino, sehingga bakteri tidak dapat berkembang biak. Pada umumnya efek antimikroba golongan Tetrasiklin sama (sebab mekanisme kerjanya sama), namun terdapat perbedaan kuantitatif dari aktivitas masing-masing derivat terhadap kuman tertentu. Hanya mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi antibiotika Tetrasiklin.

9. Kombinasi antibakteri
Kombinasi Antimikroba
Karena kerja dari dua antimikroba Trimetropim dan Sulfametoksazol dalam menghambat reaksi enzimatik obligat berurutan sehingga kombinasi antimikroba ini memberikan efek sinergi. Penemuanan kombinasi antimikroba ini merupakan kemajuan penting dalam usaha meningkatkan efektivitas klinik antimikroba. Kombinasi ini lebih dikenal dengan nama kotrimoksazol.
Aktivitas kombinasi antimikroba Kotrimoksazol berdasarkan atas kerjanya pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk Asam tetrahidrofolat. Sulfometoksazol menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul Asam folat dan Trimetropim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari Asam dihidrofolat menjadi Tetrahidrofolat.Trimetropi

m menghambat enzim Dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada sel manusia.

10. Antibiotika golongan lain
Antiobiotika golongan lain yang ada di Indonesia adalah : Klindamisin, metronidazol, colistin, tinidazol, fosfomycin, teicoplanin, vancomycin dan linezolid. Berikut informasi detail dari antibiotika golongan lain :

1. Klindamisin
Klindamisin digunakan untuk infeksi bakteri anaerob. Seperti infeksi pada saluran nafas, septikemia, dan peritonitis. Untuk pasien yang sensitif terhadap penisilin Klindamisin juga dapat digunkan untuk infeksi bakteri aerobik. Klindamisin juga dapat digunakan untuk infeks pada tulang yang disebabkan staphylococcus aureus. Sediaan topikalnya dalam bentuk Klindamisin posfat digunkan untuk jerawat yang parah.
Klindamisin efektif untuk infeksi yang disebabkan mikroba sebagai berikut :
· Bakteri aerobik gram positif seperti golongan Staphylococus dan Streptococus (pneumococcus)
· Bakteri anaerobik gram negatif termasuk golongan Batericoides dan Fusobacterium

2. Metronidazol
Metronidazol efektif untuk bakteri anaerob dan protozoa yang sensitif karena beberapa organisme memiliki kemampuan untuk mengurangi bentuk aktif metronidazol di dalam selnya. Secara sistemik metronidazol digunakan untuk infeksi anaerobik, trikomonasis, amubiasis, lambiasis dan amubiasis hati.

3. Colistin
Colistin digunakan dalam bentuk sulfat atau kompleks sulfomethyl, colistimetate. Tablet Colistin sulfat digunakan untuk mengobati infeksi usus atau untuk menekan flora di kolon. Colistin sulfat juga digunakan dalam bentuk krim kulit, bubuk dan tetes mata. Colistimethat digunakan untuk sedian parenteral dan dalam bentuk aerosol untuk pengobatan infeksi paru-paru.

4. Tinidazol
Tinidazol merupakan kelompok antibiotika azol. Mekanisme kerjanya dengan cara masuk ke dalam sel mikroba dan berikatan dengan DNA.Dengan cara ini mikroba tidak dapat berkembang biak. Tinidazol adalah antibiotika khusus yang digunakan untuk menghentikan penyebaran bakteri anaerob. Bakteri ini biasanya menginfeksi lambung, tulang, otak dan paru-paru.

5. Teicoplanin
Teicoplanin merupakan kelompok antibiotika dari glikopeptida. Bakteri memiliki dinding sel luar yang dipertahankan oleh molekul peptidoglikan. Dinding sel sangat vital untuk mempertahankan pada lingkungan normal di dalam tubuh di mana bakteri hidup.Teicoplanin bekerja dengan mengunci formasi dari peptidoglikan. Dengan cara tersebut dinding bakteri menjadi lemah sehingga bakteri mati. Teicoplanin digunakan untuk infeksi serius pada hati dan darah. Teicoplanin tidak dapat diserap di lambung sehingga hanya diberikan dengan cara infus atau injeksi.

6. Vancomycin
Vancomycin bekerja dengan membunuh atau menghentikan perkembangan bakteri. Vancomycin digunakan untuk mengobati infeksi pada beberapa bagian tubuh. Kadangkala digabung dengan antibiotika lain.Vancomycin juga digunakan untuk penderita dengan gangguan hati (mis demam rematik) atau prosthetic (artificial) hati yang alergi dengan penisilin.Dengan kondisi khusus, antibiotika ini juga dapat digunakan untuk mencegah endocarditis pada pasien yang telah melakukan operasi gigi atau operasi saluran nafas atas (hidung atau tenggorokan).
Vancomycin diberikan dalam bentuk injeksi untuk infeksi serius kalau obat lain tidak berguna. Walaupun demikian, obat ini dapat menimbulkan beberapa efek samping yang serius, termasuk merusak pendengaran dan ginjal. Efek samping ini akan sering terjadi pada pasien yang berumur lanjut.

7. Linezolid
Linezolid digunakan untuk mengobati infeksi termasuk pneumonia,infeksi saluran kemih dan infeksi pada kulit dan darah. Linezolid termasuk golongan antibiotika oxazolidinon.Cara kerja dengan menghentikan perkembang biakan bakteri.

· Sumber :
· Antibiotika [online] http://www.tiscali.co.uk. diakses pada tanggal 15 November 2009
·http://www.nlm.nih.gov. diakses pada tanggal 15 November 2009
· http://apotik.medicastore.com/diakses pada tanggal 15 November 2009
· Buku Farmakologi dan Terapi, edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1995.
· Wikipedia the free encyclopaedia. Penicillin [Online]. URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Penicillindiakses pada tanggal 15 November 2009.
· Isolasi dan Pembiakan Bakteri. http//:totobe.net diakses pada tanggal 23 Oktober 2009
· Michael J. Pelczar, dan E.C.S. Chan. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi. Ui-Press : Jkarta
· Buku Ajar Mikrobilogi Kedokteran. Binarupa Aksara: Jakarta.1994

Sabtu, 27 Maret 2010

STRES

STRES
MENANGANI STRES
1. Stres adalah sebahagian daripada kehidupan kita sehari-hari.

2. Stres boleh mempengaruhi kita melalui pelbagai cara.

3. Kemarahan adalah satu masalah utama emosi akibat daripada stres.
MENANGANI STRES
4. Kemarahan boleh mempengaruhi kehidupan kanak-kanak.

5. Salah satu cara untuk mengurangkan stres adalah dengan mengendalikan kemarahan secara berkesan.

6. Orang dewasa boleh membantu kanak-kanak supaya menjadi lebih tabah terhadap perasaan marah.
1. STRES - SEBAHAGIAN DARIPADA KEHIDUPAN KITA SEHARI-HARI
1.1. Stres adalah tindak balas fizikal, emosi dan mental kepada perubahan / cabaran.

1.2. Terdapat banyak punca stres.
2. STRES BOLEH MEMPENGARUHI KITA MELALUI PELBAGAI CARA
2.1. Reaksi terhadap stres berbeza.
2.2. Stres boleh memberi kesan positif / negatif kepada individu.
2.3. Akibat stres berbeza dari segi penonjolan & tahap keseriusan.
2.4. Stres boleh dikendalikan.
3. KEMARAHAN ADALAH SATU MASALAH EMOSI PALING UTAMA AKIBAT DARIPADA STRES
3.1. Kemarahan adalah perasaan semulajadi setiap individu.
3.2. Kemarahan boleh ditunjukkan dengan pelbagai cara.
3.3. Kemarahan yang tidak terkawal akan memudaratkan diri & orang lain.
4. KEMARAHAN BOLEH MEMPENGARUHI KEHIDUPAN KANAK-KANAK
4.1. Kemarahan orang dewasa sering menjadikan kanak-kanak sebagai mangsa.
4.2. Kanak-kanak boleh mengalami kemarahan.
5. SALAH SATU CARA MENANGANI STRES : MENGENDALIKAN KEMARAHAN SECARA BERKESAN
5.1. Kita harus mengenalpasti perasaan marah dan belajar cara berkesan untuk mengawal dan menangani kemarahan.
5.2. Kanak-kanak boleh belajar cara-cara mengurangkan kemarahan.
6. ORANG DEWASA BOLEH MEMBANTU KANAK- KANAK MENJADI TABAH MENGATASI PERASAAN MARAH
6.1. Orang dewasa perlu mengenalpasti bila kanak-kanak marah.
6.2. Sokongan daripada orang dewasa adalah perlu agar kanak-kanak dapat menangani kemarahan dengan lebih berkesan.
1. STRES ADALAH SEBAHAGIAN DARIPADA KEHIDUPAN KITA SEHARI-HARI
1.1. Stres adalah tindakbalas fizikal, emosi dan mental terhadap perubahan
Boleh dialami samada di rumah, sekolah, tempat kerja mahupun semasa bersukan dan beriadah.
Boleh juga menjadi faktor motivasi.
Setiap invididu memberi persepsi yang berbeza terhadap stres.
Tindakbalas ke atas stres boleh berlaku secara positif atau negatif.
Kanak-kanak juga sering mengalami stres.


Peribadi / Diri Cita-cita, harapan, harga diri, rasa selamat, keyakinan(tergugat)
Takut untuk gagal.
Perubahan pada tubuh badan, penyakit.
Perbandingan dengan orang lain seperti adik-beradik atau kawan.
Ejekan oleh orang lain misalnya “awak tidak berguna”.





REAKSI TERHADAP STRES ADALAH BERBEZA
Dua indikator boleh dilihat ialah:-
Perubahan tingkahlaku

Kemorosotan tingkahlaku.



























LANGKAH-LANGKAH MENANGANI KEMARAHAN DENGAN BAIK
11) Cuba bertenang dan kawal suara.
12) Mendengar.
13) Memaafkan orang lain







IDEAL
I Identify the problem (Kenalpasti masalah sebenar)

D Describe possible options
(Terangkan atau cari cadangan penyelesaian yang ada)

E Evaluate consequences of each options (the pros and cons) (Buat penilaian setiap cadangan – kebaikan/keburukan

A Act (Bertindak berdasarkan pilihan yang terbaik)

L Learn (Belajar dari pengalaman samada hasilnya berjaya atau tidak).