Kamis, 13 Mei 2010

ALERGI DAN HIPERSENSITIFITAS OBAT

Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi.

Patogenesis

Pengetahuan kita tentang metabolisme obat serta metabolitnya masih terbatas dan banyak yang belum jelas, demikian pula tentang mekanisme imun terhadap obat. Alergi obat biasanya tidak dihubungkan dengan efek farmakologik, tidak tergantung dari dosis yang diberikan, dan tidak terjadi pada pajanan awal. Sensitisasi imunologik memerlukan pajanan awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum timbul reaksi hipersensitivitas.

Substansi obat biasanya mempunyai berat molekul rendah sehingga tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan karier yang mempunyai berat molekul besar. Antigen yang bersifat tidak lengkap seperti ini merupakan kompleks obat dan protein yang disebut sebagai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil.

Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera, ekstrak organ) dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh. Tetapi ada beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang bersifat imunogenik tanpa bergabung dengan karier. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang.

Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori (reaksi anamnestik) .

Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut Gell dan Coombs (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas). Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut (Tabel 26-2). Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgE-mediated). Perlu diingat bahwa dapat saja terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit autoimun.
PENATALAKSANAAN

Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul.

kriteria umum reaksi hipersensitivitas obat :

1.
Gejala pasien sesuai dengan reaksi imunologi terhadap obat.]
2.
Pasien mendapatkan obat yang memang dapat memberikan gejala alergi (struktur kimia obat memang telah dikaitkan dengan reaksi imun).
3.
Terdapat hubungan temporal antara pemberian obat dengan timbulnya gejala reaksi alergi.
4.
Tidak ada penyebab lain yang jelas terhadap manifestasi klinis pasien yang sedang menggunakan obat tertentu yang memang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas.
5.
Data laboratorium menunjang mekanisme imunologi yang dapat menjelaskan reaksi obat.

TATALAKSANA

Dasar utama penanganan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul. Di samping itu perlu pula dipikirkan upaya pencegahan alergi obat.

Penghentian obat

Penentuan obat yang harus dihentikan seringkali sulit karena biasanya, terutama pada anak, penderita mendapat berbagai jenis obat dalam waktu yang sama. Bila mungkin semua obat dihentikan dulu, kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi, atau menggantikannya dengan obat lain. Bila obat tersebut dianggap sangat penting dan tak tergantikan, bila tidak ada alternatif lain dan reaksi alerginya relatif ringan, dapat terus diberikan dengan persetujuan penderita dan keluarga. Pada beberapa keadaan dapat dilakukan desensitasi obat atau prosedur provakasi bertahap. Desentisasi biasa dilakukan pada jenis obat penisilin, antibiotik non-beta laktam dan insulin. Sedangkan provokasi bertahap biasa dilakukan asam aminosalisilat, isoniazid, trimetoprim-sulfametoksazol, dapson, alopurinol, sulfasalazin dan difenilhidantoin.

Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan obat lain. Bila obat tersebut dianggap sangat penting dan tak dapat digantikan, dapat terus diberikan atas persetujuan keluarga, dan dengan cara desensitisasi.

Pengobatan

Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.

Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari. Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson.

Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan elektrolit dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah rumatan dan dehidrasi yang ada.




Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya. Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya muka, leher, ketiak dan selangkangan..

Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus, urtikaria, atau edema angioneurotik dapat diberikan antihistamin dan bila kelainan tersebut cukup luas diberikan pula adrenalin. Reaksi anafilaktik akut membutuhkan epinefrin, patensi jalan nafas, oksigen, cairan intravena, antihistamin dan kortikosteroid. Reaksi kompleks imun biasanya sembuh spontan setelah antigen hilang, namun sebagai terapi simtomatik dapat diberikan antihistamin dan antiinflamasi non-steroid. Antihistamin generasi kedua dapat pula digunakan, seperti loratadin. Steroid topikal dengan potensi sedang (hidrokortison atau desonid) dan pelembab dapat digunakan pada tahap deskumasasi.

Bila gejala klinis berat (dermatitis eksfoliatif, nekrolisis epidermal toksik, sindrom Stevens-Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologik) harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, transfusi, antibiotik profilaksis). Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, sikatriks, atau kontraktur melalui konsultasi dan kerjasama interdisiplin dengan bagian terkait (mata, kulit, bedah).

Pada reaksi pseudoalergi seperti pewarnaan radiokontras dapat diberikan terlebih dahulu obat sebelum prosedur pemeriksaan, seperti kortikosteroid, antihistamin dan atau efedrin. Pencegahan reaksi alergi obat merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan. Penggunaan obat yang sering memberikan reaksi alergi, seperti antibiotik, harus diberikan sesuai indikasi. Pemberian obat secara oral lebih sedikit memberikan reaksi alergi dibandingkan parenteral atau topikal. Pemberian obat parenteral harus ditunjang dengan ketersediaan epinefrin atau sarana gawat darurat lain.

Pencegahan

Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya penting untuk selalu dilakukan walaupun harus dinilai dengan kritis untuk menghindari tindakan berlebihan. Misalnya ruam kulit setelah pemberian ampisilin pada seorang anak belum tentu karena alergi obat. Bila dokter telah mengetahui atau sangat curiga bahwa pasiennya alergi terhadap obat tertentu maka hendaknya ia membuatkan surat keterangan tentang hal tersebut yang akan sangat berguna untuk upaya pencegahan pada semua keadaan.

Semakin sering seseorang memakai obat maka akan semakin besar pula kemungkinan untuk timbulnya alergi obat. Jadi pemakaian obat hendaknya dengan indikasi kuat dan bila mungkin hindari obat yang dikenal sering memberikan sensitisasi pada kondisi tertentu (misalnya aspirin pada asma bronkial).

Cara pembuatan obat harus diperbaiki dengan mengurangi dan menghilangkan bahan yang potensial dapat menjadi penyebab alergi, atau bahan yang dapat menyebabkan reaksi silang imunogenik. Contohnya adalah pembuatan vaksin bebas protein hewani, atau antibodi dari darah manusia.

Uji kulit dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya alergi obat, tetapi prosedur ini hanya bermanfaat untuk alergen makromolekul, sedangkan untuk obat dengan berat molekul rendah sejauh ini hanya terhadap penisilin (dengan uji alergen benzilpenisiloil polilisin).

Bila seseorang telah diketahui atau diduga alergi terhadap obat tertentu maka harus dipertimbangkan pemberian obat lain. Obat alternatif tersebut hendaknya bukan obat yang telah dikenal mempunyai reaksi silang dengan obat yang dicurigai. Misalnya memberikan aminoglikosida sebagai alternatif untuk penisilin. Bila obat tersebut sangat dibutuhkan sedangkan obat alternatif tidak ada, dapat dilakukan desensitisasi secara oral maupun parenteral. Misalnya desensitisasi penisilin untuk penderita penyakit jantung reumatik atau desensitisasi serum antidifteri. Desensitisasi merupakan prosedur yang berisiko sehingga harus dipersiapkan perlengkapan penanganan kedaruratan terutama untuk reaksi anafilaksis.













PROGNOSIS

Estimasi saat ini menunjukkan angka kejadian alergi obat makin meningkat. Laporan dari seluruh dunia menunjukkan angka 0,01% sampai 5% dan sekurang kurangnya 15%-30% penderita yang dirawat di rumah sakit mengalami reaksi sedikitnya terhadap 1 macam obat dan 6-10% merupakan alergi obat.

Dengan penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik bahkan untuk alergi obat yang berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur, simblefaron, kebutaan bila tindakan tidak tepat dan terlambat dilakukan. Angka kematian dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada sindroma Steven Johnson kematian sebesar 5-15%.





* Iannini P, Mandell L, Felmingham J, Patou G, Tillotson GS. Adverse cutaneous reactions and drugs: a focus on antimicrobials. J Chemother. Apr 2006;18(2):127-39. [Medline].
* Green JJ, Manders SM. Pseudoporphyria. J Am Acad Dermatol. Jan 2001;44(1):100-8. [Medline].
* Coopman SA, Johnson RA, Platt R, Stern RS. Cutaneous disease and drug reactions in HIV infection. N Engl J Med. Jun 10 1993;328(23):1670-4. [Medline].
* Hunziker T, Kunzi UP, Braunschweig S, Zehnder D, Hoigne R. Comprehensive hospital drug monitoring (CHDM): adverse skin reactions, a 20-year survey. Allergy. Apr 1997;52(4):388-93. [Medline].
* Keet I, Meyaard L, Boucher E, et al. Allergic reactions to cotrimoxazole correlate with decreased T-cell reactivity compatible with a Th1 to Th2 shift [abstr PO-A19-0404]. Int Conf AIDS. 1993;9 (1):202.
* Kramer MS, Leventhal JM, Hutchinson TA, Feinstein AR. An algorithm for the operational assessment of adverse drug reactions. I. Background, description, and instructions for use. JAMA. Aug 17 1979;242(7):623-32. [Medline].
* Lerch M, Pichler WJ. The immunological and clinical spectrum of delayed drug-induced exanthems. Curr Opin Allergy Clin Immunol. Oct 2004;4(5):411-9. [Medline].
* Litt JZ. Drug Eruption Reference Manual 2002. New York, NY: Parthenon; 2002.
* Mayorga C, Pena RR, Blanca-Lopez N, Lopez S, Martin E, Torres MJ. Monitoring the acute phase response in non-immediate allergic drug reactions. Curr Opin Allergy Clin Immunol. Aug 2006;6(4):249-57. [Medline].
* McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug reactions. Immunol Allergy Clin North Am. Aug 2004;24(3):399-423, vi. [Medline].
* Mockenhaupt M, Schopf E. Epidemiology of drug-induced severe skin reactions. Semin Cutan Med Surg. Dec 1996;15(4):236-43. [Medline].
* Nigen S, Knowles SR, Shear NH. Drug eruptions: approaching the diagnosis of drug-induced skin diseases. J Drugs Dermatol. Jun 2003;2(3):278-99. [Medline].
* Pereira FA, Mudgil AV, Rosmarin DM. Toxic epidermal necrolysis. J Am Acad Dermatol. Feb 2007;56(2):181-200. [Medline].
* Revuz J, Valeyrie-Allanore L. Drug reactions. In: Dermatology. Vol 1. Philadelphia, Pa: Mosby; 2003:333-53.
* Roujeau JC, Bioulac-Sage P, Bourseau C, Guillaume JC, Bernard P, Lok C, et al. Acute generalized exanthematous pustulosis. Analysis of 63 cases. Arch Dermatol. Sep 1991;127(9):1333-8. [Medline].
* Sahin S, Comert A, Akin O, Ayalp S, Karsidag S. Cutaneous drug eruptions by current antiepileptics: case reports and alternative treatment options. Clin Neuropharmacol. Mar-Apr 2008;31(2):93-6. [Medline].
* Shapiro LE, Shear NH. Mechanisms of drug reactions: the metabolic track. Semin Cutan Med Surg. Dec 1996;15(4):217-27. [Medline].
* Stern RS, Steinberg LA. Epidemiology of adverse cutaneous reactions to drugs. Dermatol Clin. Jul 1995;13(3):681-8. [Medline].
* Susser WS, Whitaker-Worth DL, Grant-Kels JM. Mucocutaneous reactions to chemotherapy. J Am Acad Dermatol. Mar 1999;40(3):367-98; quiz 399-400. [Medline].
* Ward HA, Russo GG, Shrum J. Cutaneous manifestations of antiretroviral therapy. J Am Acad Dermatol. Feb 2002;46(2):284-93. [Medline].
* Warnock JK, Morris DW. Adverse cutaneous reactions to antidepressants. Am J Clin Dermatol. 2002;3(5):329-39. [Medline].
* Warnock JK, Morris DW. Adverse cutaneous reactions to mood stabilizers. Am J Clin Dermatol. 2003;4(1):21-30. [Medline].
* Wolf R, Orion E, Marcos B, Matz H. Life-threatening acute adverse cutaneous drug reactions. Clin Dermatol. Mar-Apr 2005;23(2):171-81. [Medline].
* Wolverton SE. Update on cutaneous drug reactions. Adv Dermatol. 1997;13:65-84. [Medline].
* Wyatt AJ, Leonard GD, Sachs DL. Cutaneous reactions to chemotherapy and their management. Am J Clin Dermatol. 2006;7(1):45-63. [Medline].
* Dacey MJ, Callen JP. Hydroxyurea-induced dermatomyositis-like eruption. J Am Acad Dermatol. Mar 2003;48(3):439-41. [Medline].
* Ellgehausen P, Elsner P, Burg G. Drug-induced lichen planus. Clin Dermatol. May-Jun 1998;16(3):325-32. [Medline].
* Camilleri M, Pace JL. Drug-induced linear immunoglobulin-A bullous dermatosis. Clin Dermatol. May-Jun 1998;16(3):389-91. [Medline].
* Antonov D, Kazandjieva J, Etugov D, Gospodinov D, Tsankov N. Drug-induced lupus erythematosus. Clin Dermatol. Mar-Apr 2004;22(2):157-66. [Medline].
* Brenner S, Bialy-Golan A, Ruocco V. Drug-induced pemphigus. Clin Dermatol. May-Jun 1998;16(3):393-7. [Medline].
* Brauchli YB, Jick SS, Curtin F, Meier CR. Association between beta-blockers, other antihypertensive drugs and psoriasis: population-based case-control study. Br J Dermatol. Jun 2008;158(6):1299-307. [Medline].
* Dika E, Varotti C, Bardazzi F, Maibach HI. Drug-induced psoriasis: an evidence-based overview and the introduction of psoriatic drug eruption probability score. Cutan Ocul Toxicol. 2006;25(1):1-11. [Medline].
* Tsankov N, Angelova I, Kazandjieva J. Drug-induced psoriasis. Recognition and management. Am J Clin Dermatol. May-Jun 2000;1(3):159-65. [Medline].
* Clark BM, Kotti GH, Shah AD, Conger NG. Severe serum sickness reaction to oral and intramuscular penicillin. Pharmacotherapy. May 2006;26(5):705-8. [Medline].
* Hazin R, Ibrahimi OA, Hazin MI, Kimyai-Asadi A. Stevens-Johnson syndrome: pathogenesis, diagnosis, and management. Ann Med. 2008;40(2):129-38. [Medline].
* Lee HY, Pang SM, Thamotharampillai T. Allopurinol-induced Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. J Am Acad Dermatol. Aug 2008;59(2):352-3. [Medline].
* Roujeau JC, Kelly JP, Naldi L, Rzany B, Stern RS, Anderson T, et al. Medication use and the risk of Stevens-Johnson syndrome or toxic epidermal necrolysis. N Engl J Med. Dec 14 1995;333(24):1600-7. [Medline].
* MacMorran WS, Krahn LE. Adverse cutaneous reactions to psychotropic drugs. Psychosomatics. Sep-Oct 1997;38(5):413-22. [Medline].
* Roe E, Garcia Muret MP, Marcuello E, Capdevila J, Pallares C, Alomar A. Description and management of cutaneous side effects during cetuximab or erlotinib treatments: a prospective study of 30 patients. J Am Acad Dermatol. Sep 2006;55(3):429-37. [Medline].
* Shipley D, Ormerod AD. Drug-induced urticaria. Recognition and treatment. Am J Clin Dermatol. 2001;2(3):151-8. [Medline].
* Asnis LA, Gaspari AA. Cutaneous reactions to recombinant cytokine therapy. J Am Acad Dermatol. Sep 1995;33(3):393-410; quiz 410-2. [Medline].
* Barbaud A. Drug patch testing in systemic cutaneous drug allergy. Toxicology. Apr 15 2005;209(2):209-16. [Medline].
* French LE, Trent JT, Kerdel FA. Use of intravenous immunoglobulin in toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: our current understanding. Int Immunopharmacol. Apr 2006;6(4):543-9. [Medline].
* Mukasa Y, Craven N. Management of toxic epidermal necrolysis and related syndromes. Postgrad Med J. Feb 2008;84(988):60-5. [Medline].
* Paquet P, PiĆ©rard GE, Quatresooz P. Novel treatments for drug-induced toxic epidermal necrolysis (Lyell’s syndrome). Int Arch Allergy Immunol. Mar 2005;136(3):205-16. [Medline].
* Bork K. Adverse drug reactions. In: Demis DJ, ed. Clinical Dermatology. Vol 3. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven; 1998.
* Breathnach SM, Hintner H. Adverse Drug Reactions and the Skin. London, England: Blackwell Scientific; 1992.
* Campos-Fernandez Mdel M, Ponce-De-Leon-Rosales S, Archer-Dubon C, Orozco-Topete R. Incidence and risk factors for cutaneous adverse drug reactions in an intensive care unit. Rev Invest Clin. Nov-Dec 2005;57(6):770-4. [Medline].
* Coombs RRA, Gell PGH. Classification of allergic reactions responsible for clinical hypersensitivity and disease. Clin Aspects Immunol. 1968;575-96.
* Daoud MS, Schanbacher CF, Dicken CH. Recognizing cutaneous drug eruptions. Reaction patterns provide clues to causes. Postgrad Med. Jul 1998;104(1):101-4, 107-8, 114-5. [Medline].
* Fitzpatrick JE. New histopathologic findings in drug eruptions. Dermatol Clin. Jan 1992;10(1):19-36. [Medline].
* Greenberger PA. 8. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol. Feb 2006;117(2 Suppl Mini-Primer):S464-70. [Medline].
* Heidary N, Naik H, Burgin S. Chemotherapeutic agents and the skin: An update. J Am Acad Dermatol. Apr 2008;58(4):545-70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar