STRES
MENANGANI STRES
1. Stres adalah sebahagian daripada kehidupan kita sehari-hari.
2. Stres boleh mempengaruhi kita melalui pelbagai cara.
3. Kemarahan adalah satu masalah utama emosi akibat daripada stres.
MENANGANI STRES
4. Kemarahan boleh mempengaruhi kehidupan kanak-kanak.
5. Salah satu cara untuk mengurangkan stres adalah dengan mengendalikan kemarahan secara berkesan.
6. Orang dewasa boleh membantu kanak-kanak supaya menjadi lebih tabah terhadap perasaan marah.
1. STRES - SEBAHAGIAN DARIPADA KEHIDUPAN KITA SEHARI-HARI
1.1. Stres adalah tindak balas fizikal, emosi dan mental kepada perubahan / cabaran.
1.2. Terdapat banyak punca stres.
2. STRES BOLEH MEMPENGARUHI KITA MELALUI PELBAGAI CARA
2.1. Reaksi terhadap stres berbeza.
2.2. Stres boleh memberi kesan positif / negatif kepada individu.
2.3. Akibat stres berbeza dari segi penonjolan & tahap keseriusan.
2.4. Stres boleh dikendalikan.
3. KEMARAHAN ADALAH SATU MASALAH EMOSI PALING UTAMA AKIBAT DARIPADA STRES
3.1. Kemarahan adalah perasaan semulajadi setiap individu.
3.2. Kemarahan boleh ditunjukkan dengan pelbagai cara.
3.3. Kemarahan yang tidak terkawal akan memudaratkan diri & orang lain.
4. KEMARAHAN BOLEH MEMPENGARUHI KEHIDUPAN KANAK-KANAK
4.1. Kemarahan orang dewasa sering menjadikan kanak-kanak sebagai mangsa.
4.2. Kanak-kanak boleh mengalami kemarahan.
5. SALAH SATU CARA MENANGANI STRES : MENGENDALIKAN KEMARAHAN SECARA BERKESAN
5.1. Kita harus mengenalpasti perasaan marah dan belajar cara berkesan untuk mengawal dan menangani kemarahan.
5.2. Kanak-kanak boleh belajar cara-cara mengurangkan kemarahan.
6. ORANG DEWASA BOLEH MEMBANTU KANAK- KANAK MENJADI TABAH MENGATASI PERASAAN MARAH
6.1. Orang dewasa perlu mengenalpasti bila kanak-kanak marah.
6.2. Sokongan daripada orang dewasa adalah perlu agar kanak-kanak dapat menangani kemarahan dengan lebih berkesan.
1. STRES ADALAH SEBAHAGIAN DARIPADA KEHIDUPAN KITA SEHARI-HARI
1.1. Stres adalah tindakbalas fizikal, emosi dan mental terhadap perubahan
Boleh dialami samada di rumah, sekolah, tempat kerja mahupun semasa bersukan dan beriadah.
Boleh juga menjadi faktor motivasi.
Setiap invididu memberi persepsi yang berbeza terhadap stres.
Tindakbalas ke atas stres boleh berlaku secara positif atau negatif.
Kanak-kanak juga sering mengalami stres.
Peribadi / Diri Cita-cita, harapan, harga diri, rasa selamat, keyakinan(tergugat)
Takut untuk gagal.
Perubahan pada tubuh badan, penyakit.
Perbandingan dengan orang lain seperti adik-beradik atau kawan.
Ejekan oleh orang lain misalnya “awak tidak berguna”.
REAKSI TERHADAP STRES ADALAH BERBEZA
Dua indikator boleh dilihat ialah:-
Perubahan tingkahlaku
Kemorosotan tingkahlaku.
LANGKAH-LANGKAH MENANGANI KEMARAHAN DENGAN BAIK
11) Cuba bertenang dan kawal suara.
12) Mendengar.
13) Memaafkan orang lain
IDEAL
I Identify the problem (Kenalpasti masalah sebenar)
D Describe possible options
(Terangkan atau cari cadangan penyelesaian yang ada)
E Evaluate consequences of each options (the pros and cons) (Buat penilaian setiap cadangan – kebaikan/keburukan
A Act (Bertindak berdasarkan pilihan yang terbaik)
L Learn (Belajar dari pengalaman samada hasilnya berjaya atau tidak).
Sabtu, 27 Maret 2010
KROMATOGRAFI KERTAS
KROMATOGRAFI KERTAS
Dra. Aswita Hafni Apt., Msi.
Latar Belakang
Kromatografi digunakan untuk memisahkan campuran dari substansinya menjadi komponen-komponennya
Seluruh btk kromatografi bekerja berdasarkan prinsip yang sama
Seluruh btk kromatografi memiliki fase diam (berupa padatan atau cairan yang didukung pada padatan) dan fase gerak (cairan atau gas)
Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen dari campuran bersama-sama
Komponen-komponen yang berbeda akan bergerak pada laju yang berbeda pula. Kita akan melihat alasannya pada penjelasan selanjutnya
Dalam kromatografi kertas, fase diam adalah kertas serap yang sangat seragam.
Fase gerak adalah pelarut atau campuran pelarut yang sesuai
Kromatogram kertas
Anda mungkin telah menggunakan kromatografi kertas sebagai salah satu hal pertama yang pernah anda kerjakan dalam bidang kimia untuk pemisahan, misalnya campuran dari pewarna-pewarna yang menyusun warna tinta tertentu. Ini merupakan contoh yang mudah, mari memulai dari hal itu
Anggaplah anda mempunyai tiga pena biru dan akan mencari tahu dari tiga pena itu, yang mana yang digunakan untuk menulis sebuah pesan. Sampel dari masing-masing tinta diteteskan pada garis dasar pinsil pada selembar kromatografi kertas. Beberapa pewarna larut dalam jumlah yang minimum dalam pelarut yang sesuai, dan itu juga di teteskan pada garis yang sama.
Dalam gambar, pena ditandai 1, 2 dan 3 serta tinta pada pesan ditandai sebagai M
Kertas digantungkan pada wadah yang berisi lapisan tipis pelarut atau campuran pelarut yang sesuai didalamnya. Perlu diperhatikan bahwa batas pelarut berada dibawah garis pada bercak diatasnya. Gambar berikutnya menunjukkan terperinci bagaimana kertas di gantungkan
Kadang-kadang kertas hanya digulungkan secara bebas pada silinder dan diikatkan dengan klip kertas pada bagian atas dan bawah. Silinder kemudian ditempatkan dengan posisi berdiri pada bawah wadah.
Alasan untuk menutup wadah adalah untuk meyakinkan bahwa astmosfer dalam gelas kimia terjenuhkan denga uap pelarut. Penjenuhan udara dalam gelas kimia dengan uap menghentikan penguapan pelarut sama halnya dengan pergerakan pelarut pada kertas
Cara menggantung Kertas
Gambar cara kerja Kromatografi Kertas
Karena pelarut bergerak lambat pada kertas, komponen-komponen yang berbeda dari campuran tinta akan bergerak pada laju yang berbeda dan campuran dipisahkan berdasarkan pada perbedaan bercak warna.
Asumsi bercak
Dengan sangat mudah dijelaskan melihat dari kromatogram akhir dari pena yang ditulis pada pesan yang mengandung pewarna yang sama dengan pena 2. Anda juga dapat melihat bahwa pena 1 mengandung dua campuran berwarna biru yang kemungkinan salah satunya mengandung pewarna tunggal terdapat dalam pena 3
Nilai Rf
Beberapa senyawa dalam campuran bergerak sejauh dengan jarak yang ditempuh pelarut; beberapa laiinya tetap lebih dekat pada garis dasar. Jarak tempuh relative pada pelarut adalah konstan untuk senyawa tertentu sepanjang anda menjaga segala sesuatunya tetap sama, misalnya jenis kertas dan komposisi pelarut yang tepat.. Jarak relative pada pelarut disebut sebagai nilai Rf. Untuk setiap senyawa berlaku rumus sebagai berikut:
Rf=jarak yang ditempuh oleh senyawa jarak yang ditempuh oleh pelarut
Misalnya, jika salah satu komponen dari campuran bergerak 9.6 cm dari garis dasar, sedangkan pelarut bergerak sejauh 12.0 cm, jadi Rf untuk komponen itu
Dalam contoh kita melihat ada beberapa pena, tidak perlu menghitung nilai Rf karena anda akan membuat perbandingan langsung dengan hanya melihat kromatogram
Anda membuat asumsi bahwa jika anda memiliki dua bercak pada kromatogram akhir dengan warna yang sama dan telah bergerak pada jarak yang sama pada kertas, dua bercak tersebut merupakan senyawa yang hampir sama. Hal ini tidak selalu benar. Anda dapat saja mempunyai senyawa-senyawa berwarna yang sangat mirip dengan nilai Rf yang juga sangat mirip. Kita akan melihat bagaimana anda menemukan masalah itu pada penjelasan selanjutnya
Bagaimana halnya jika substansi yang anda ingin identifikasi tidak berwarna?
Dalam beberapa kasus, dimungkinkan membuat bercak menjadi tampak dengan mereaksikannya dengan beberapa pereaksi yang menghasilkan produk yang berwarna. Contoh yang baik yaitu kromatogram yang dihasilkan dari campuran asam amino.
Anggaplah anda mempunyai campuran asam amino dan ingin memisahkan asam amino tertentu yang terdapat dalam campuran. Untuk menyederhanakan, mari berasumsi bahwa anda telah mengetahui kemungkinan campuran hanya mengandung lima asam amino yang umum.
Setetes larutan campuran ditempatkan pada garis dasar kertas, dan dengan cara yang sama ditempatkan asam amino yang telah diketahui diteteskan disampingnya. Kertas lalu ditempatkan dalam pelarut yang sesuai dan dibiarkan seperti sebelumnya. Dalam gambar, campuran adalah M, dan asam amino yang telah diketahu ditandai 1 sampai 5
Posisi pelarut depan ditandai dengan pinsil dan kromatogram lalu dikeringkan dan disemprotkan dengan larutan ninhidrin. Ninhidrin bereaksi dengan asam amino menghasilkan senyawa berwarna, utamanya coklat atau ungu
Bagaimana jika campuran mengandung asam amino lain selain dari asam amino yang anda gunakan untuk perbandingan? Akan terdapat bercak dalam campuran yang tidak sesuai dari asam amino yang telah diketahu. Anda harus mengulangi percobaan menggunakan asam amino-asam amino sebagai bahan perbandingan
Kromatografi kertas dua arah
Kromatografi kertas dua arah dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah pemisahan substansi yang memiliki nilai Rf yang sangat serupa.
Pada senyawa-senyawa berwarna lebih mudah melihat apa yang terjadi.
Anda dapat mengerjakannya secara sempurna hal ini dengan senyawa-senyawa yang tidak berwarna – tetapi anda harus menggunakan banyak imajinasi dalam menjelaskan apa yang terjadi !
Waktu ini kromatogram dibuat dari bercak tunggal dari campuran yang ditempatkan kedepan dari garis dasar. Kromatogram ditempatkan dalam sebuah pelarut sebelum dan sesudah sampai pelarut mendekati bagian atas kertas.
Dalam gambar, posisi pelarut ditandai dengan pinsil sebelum kertas kering. Posisi ini ditandai sebagai SF1 yaitu pelarut depan untuk pelarut pertama. Kita akan menggunakan dua pelarut yang berbeda
Dapat dilihat bahwa bercak pusat besar dalam kromatogram sebagian biru dan sebagian hijau. Dua pewarna dalam campuran memiliki nilai Rf yang hampir sama. Tentunya, nilai-nilai ini bisa saja sama, keduanya memiliki warna yang sama; dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ada satu atau lebih pewarna dalam dalam bercak itu
Kita menunggu kertas kering seluruhnya, dan putar 90o dan perlakukan kromatogram kembali dengan pelarut yang berbeda.
Hal yang sangat tidak dipercaya bahwa dua bercak yang membingungkan akan memiliki nilai Rf dalam pelarut kedua sama halnya dengan pelarut yang pertama, dengan demikian bercak-bercak akan bergerak dengan jumlah yang berbeda
Gambar berikutnya menunjukkan apa yang mungkin terjadi pada berbagai bercak pada kromatogram awal. Posisi pelarut kedua juga ditandai
Tentunya anda tidak dapat melihat bercak-bercak dalam posisi awal dan akhir; Bercak-bercak telah bergerak! Kromatogram akhir akan tampak seperti ini
Kromatografi dua arah secara seluruhnya terpisah dari campuran menjadi empat bercak yang berbeda.
Jika anda akan mengidentifikasi bercak-bercak dalam campuran, secara jelas anda tidak dapat melaksanakannya dengan perbandingan substansi pada kromatogram yang sama seperti yang kita lihat pada contoh sebelumnya menggunakan pena atau asam amino-asam amino. Anda dapat berakhir dengan kekacauan pada bercak-bercak yang tanpa arti.
Meskipun demikian, anda dapat bekerja dengan nilai Rf untuk setiap bercak-bercak dalam pelarut-pelarut, dan kemudian membandingkan nilai-nilai yang anda telah ukur dari senyawa yang telah diketahui pada kondisi yang tepat sama.
Bagaimana kromatografi kertas bekerja
Meskipun kromatografi kertas sangat mudah pengerjaannya, tetapi sangat sulit dijelaskan apabila membadingkannya dengan kromatografi lapis tipis. Penjelasannya tergantung tingkatan pemilihan pelarut yang anda gunakan, dan beberapa sumber untuk mengatasi masalah secara tuntas. Jika anda telah pernah melakukannya, ini sangat membantu jika anda dapat membaca penjelasan bagaimana kromatografi lapis tipis bekerja.Struktur dasar kertas
Kertas dibuat dari serat selulosa. Selulosa merupakan polimer dari gula sederhana, yaitu glukosa
Sangat menarik untuk mencoba untuk menjelaskan kromatografi kertas dalam kerangka bahwa senyawa-senyawa berbeda diserap pada tingkatan yang berbeda pada permukaan kertas. Dengan kata lain, akan baik menggunakan beberapa penjelasan untuk kromatografi lapis tipis dan kertas. Sayangnya, hal ini lebih kompleks daripada itu!
Kompleksitas timbul karena serat-serat selulosa beratraksi dengan uap air dari atmosfer sebagaimana halnya air yang timbul pada saat pembuatan kertas. Oleh karenanya, anda dapat berpikir yakni kertas sebagai serat-serat selulosa dengan lapisan yang sangat tipis dari molekul-molekul air yang berikatan pada permukaan.
Interaksi ini dengan air merupakan efek yang sangat penting selama pengerjaan kromatografi kertas.
Kromatografi kertas menggunakan pelarut non polar
Anggaplah anda menggunakan pelarut non polar seperti heksana untuk mengerjakan kromatogram.
Molekul-molekul polar da;am campuran yang anda coba untuk pisahkan akan memiliki sedikit atraksi antara akan memiliki sedikit atraksi untuk molekul-molekul air dan molekul-molekul yang melekat pada selulosa, dan karena akan menghabisakan banyak waktunya untuk larut dalam pelarut yang bergerak.
Molekul-molekul seperti ini akan bergerak sepanjang kertas diangkut oleh pelarut. Mereka akan memiliki nilai Rf yang relatif tinggi
Dengan kata lain, molekul-molekul polar akan memiliki atraksi yang tinggi untuk molekul-molekul air dan kurang untuk pelarut yang non polar. Dan karenanya, cenderung untuk larut dalam lapisan tipis air sekitar serat lebih besar daripada pelarut yang bergerak.
Karena molekul-molekul ini menghabiskan waktu untuk larut dalam fase diam dan kurang dalam fase gerak, molekul-molekul tidak akan bergerak sangat cepat pada kertas.
Kecenderungan senyawa untuk membagi waktunya antara dua pelarut yang tidak bercampur (misalnya pelarut heksana dan air yang mana tidak bercampur) disebut sebagai partisi. Kromatografi kertas menggunakan pelarut non-polar kemudian menjadi tipe kromatografi partisi
Kromatografi kertas menggunakan air dan pelarut polar lainnya
Waktu akan mengajarkan anda bahwa partisi tidak dapat dijelaskan jika anda menggunakan air sebagai pelarut untuk campuran anda. Jika anda mempunyai air sebagai fase diam, tidak akan sangat berbeda makna antara jumlah waktu substansi menghabiskan waktu dalam campuran dalam bentuk lainnya. Seluruh substansi seharusnya setimbang kelarutannya (terlarut setimbang) dalam keduanya.
Namun, kromatogram pertama yang telah anda buat mungkin merupakan tinta menggunakan air sebagai pelarut.
Jika air bertindak sebagai fase gerak selayaknya menjadi fase diam, akan terdapat perbedaan mekanisme pada mekanisme kerja dan harus setimbang untuk pelarut-pelarut polar seperti alkohol, misalnya. Partisi hanya dapat terjadi antara pelarut yang tidak bercampur satu dengan lainnya. Pelarut-pelarut polar seperti alkohol rendah bercampur dengan air
Kromatogram ekstrak daun Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn)
Terima kasih
Dra. Aswita Hafni Apt., Msi.
Latar Belakang
Kromatografi digunakan untuk memisahkan campuran dari substansinya menjadi komponen-komponennya
Seluruh btk kromatografi bekerja berdasarkan prinsip yang sama
Seluruh btk kromatografi memiliki fase diam (berupa padatan atau cairan yang didukung pada padatan) dan fase gerak (cairan atau gas)
Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen dari campuran bersama-sama
Komponen-komponen yang berbeda akan bergerak pada laju yang berbeda pula. Kita akan melihat alasannya pada penjelasan selanjutnya
Dalam kromatografi kertas, fase diam adalah kertas serap yang sangat seragam.
Fase gerak adalah pelarut atau campuran pelarut yang sesuai
Kromatogram kertas
Anda mungkin telah menggunakan kromatografi kertas sebagai salah satu hal pertama yang pernah anda kerjakan dalam bidang kimia untuk pemisahan, misalnya campuran dari pewarna-pewarna yang menyusun warna tinta tertentu. Ini merupakan contoh yang mudah, mari memulai dari hal itu
Anggaplah anda mempunyai tiga pena biru dan akan mencari tahu dari tiga pena itu, yang mana yang digunakan untuk menulis sebuah pesan. Sampel dari masing-masing tinta diteteskan pada garis dasar pinsil pada selembar kromatografi kertas. Beberapa pewarna larut dalam jumlah yang minimum dalam pelarut yang sesuai, dan itu juga di teteskan pada garis yang sama.
Dalam gambar, pena ditandai 1, 2 dan 3 serta tinta pada pesan ditandai sebagai M
Kertas digantungkan pada wadah yang berisi lapisan tipis pelarut atau campuran pelarut yang sesuai didalamnya. Perlu diperhatikan bahwa batas pelarut berada dibawah garis pada bercak diatasnya. Gambar berikutnya menunjukkan terperinci bagaimana kertas di gantungkan
Kadang-kadang kertas hanya digulungkan secara bebas pada silinder dan diikatkan dengan klip kertas pada bagian atas dan bawah. Silinder kemudian ditempatkan dengan posisi berdiri pada bawah wadah.
Alasan untuk menutup wadah adalah untuk meyakinkan bahwa astmosfer dalam gelas kimia terjenuhkan denga uap pelarut. Penjenuhan udara dalam gelas kimia dengan uap menghentikan penguapan pelarut sama halnya dengan pergerakan pelarut pada kertas
Cara menggantung Kertas
Gambar cara kerja Kromatografi Kertas
Karena pelarut bergerak lambat pada kertas, komponen-komponen yang berbeda dari campuran tinta akan bergerak pada laju yang berbeda dan campuran dipisahkan berdasarkan pada perbedaan bercak warna.
Asumsi bercak
Dengan sangat mudah dijelaskan melihat dari kromatogram akhir dari pena yang ditulis pada pesan yang mengandung pewarna yang sama dengan pena 2. Anda juga dapat melihat bahwa pena 1 mengandung dua campuran berwarna biru yang kemungkinan salah satunya mengandung pewarna tunggal terdapat dalam pena 3
Nilai Rf
Beberapa senyawa dalam campuran bergerak sejauh dengan jarak yang ditempuh pelarut; beberapa laiinya tetap lebih dekat pada garis dasar. Jarak tempuh relative pada pelarut adalah konstan untuk senyawa tertentu sepanjang anda menjaga segala sesuatunya tetap sama, misalnya jenis kertas dan komposisi pelarut yang tepat.. Jarak relative pada pelarut disebut sebagai nilai Rf. Untuk setiap senyawa berlaku rumus sebagai berikut:
Rf=jarak yang ditempuh oleh senyawa jarak yang ditempuh oleh pelarut
Misalnya, jika salah satu komponen dari campuran bergerak 9.6 cm dari garis dasar, sedangkan pelarut bergerak sejauh 12.0 cm, jadi Rf untuk komponen itu
Dalam contoh kita melihat ada beberapa pena, tidak perlu menghitung nilai Rf karena anda akan membuat perbandingan langsung dengan hanya melihat kromatogram
Anda membuat asumsi bahwa jika anda memiliki dua bercak pada kromatogram akhir dengan warna yang sama dan telah bergerak pada jarak yang sama pada kertas, dua bercak tersebut merupakan senyawa yang hampir sama. Hal ini tidak selalu benar. Anda dapat saja mempunyai senyawa-senyawa berwarna yang sangat mirip dengan nilai Rf yang juga sangat mirip. Kita akan melihat bagaimana anda menemukan masalah itu pada penjelasan selanjutnya
Bagaimana halnya jika substansi yang anda ingin identifikasi tidak berwarna?
Dalam beberapa kasus, dimungkinkan membuat bercak menjadi tampak dengan mereaksikannya dengan beberapa pereaksi yang menghasilkan produk yang berwarna. Contoh yang baik yaitu kromatogram yang dihasilkan dari campuran asam amino.
Anggaplah anda mempunyai campuran asam amino dan ingin memisahkan asam amino tertentu yang terdapat dalam campuran. Untuk menyederhanakan, mari berasumsi bahwa anda telah mengetahui kemungkinan campuran hanya mengandung lima asam amino yang umum.
Setetes larutan campuran ditempatkan pada garis dasar kertas, dan dengan cara yang sama ditempatkan asam amino yang telah diketahui diteteskan disampingnya. Kertas lalu ditempatkan dalam pelarut yang sesuai dan dibiarkan seperti sebelumnya. Dalam gambar, campuran adalah M, dan asam amino yang telah diketahu ditandai 1 sampai 5
Posisi pelarut depan ditandai dengan pinsil dan kromatogram lalu dikeringkan dan disemprotkan dengan larutan ninhidrin. Ninhidrin bereaksi dengan asam amino menghasilkan senyawa berwarna, utamanya coklat atau ungu
Bagaimana jika campuran mengandung asam amino lain selain dari asam amino yang anda gunakan untuk perbandingan? Akan terdapat bercak dalam campuran yang tidak sesuai dari asam amino yang telah diketahu. Anda harus mengulangi percobaan menggunakan asam amino-asam amino sebagai bahan perbandingan
Kromatografi kertas dua arah
Kromatografi kertas dua arah dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah pemisahan substansi yang memiliki nilai Rf yang sangat serupa.
Pada senyawa-senyawa berwarna lebih mudah melihat apa yang terjadi.
Anda dapat mengerjakannya secara sempurna hal ini dengan senyawa-senyawa yang tidak berwarna – tetapi anda harus menggunakan banyak imajinasi dalam menjelaskan apa yang terjadi !
Waktu ini kromatogram dibuat dari bercak tunggal dari campuran yang ditempatkan kedepan dari garis dasar. Kromatogram ditempatkan dalam sebuah pelarut sebelum dan sesudah sampai pelarut mendekati bagian atas kertas.
Dalam gambar, posisi pelarut ditandai dengan pinsil sebelum kertas kering. Posisi ini ditandai sebagai SF1 yaitu pelarut depan untuk pelarut pertama. Kita akan menggunakan dua pelarut yang berbeda
Dapat dilihat bahwa bercak pusat besar dalam kromatogram sebagian biru dan sebagian hijau. Dua pewarna dalam campuran memiliki nilai Rf yang hampir sama. Tentunya, nilai-nilai ini bisa saja sama, keduanya memiliki warna yang sama; dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ada satu atau lebih pewarna dalam dalam bercak itu
Kita menunggu kertas kering seluruhnya, dan putar 90o dan perlakukan kromatogram kembali dengan pelarut yang berbeda.
Hal yang sangat tidak dipercaya bahwa dua bercak yang membingungkan akan memiliki nilai Rf dalam pelarut kedua sama halnya dengan pelarut yang pertama, dengan demikian bercak-bercak akan bergerak dengan jumlah yang berbeda
Gambar berikutnya menunjukkan apa yang mungkin terjadi pada berbagai bercak pada kromatogram awal. Posisi pelarut kedua juga ditandai
Tentunya anda tidak dapat melihat bercak-bercak dalam posisi awal dan akhir; Bercak-bercak telah bergerak! Kromatogram akhir akan tampak seperti ini
Kromatografi dua arah secara seluruhnya terpisah dari campuran menjadi empat bercak yang berbeda.
Jika anda akan mengidentifikasi bercak-bercak dalam campuran, secara jelas anda tidak dapat melaksanakannya dengan perbandingan substansi pada kromatogram yang sama seperti yang kita lihat pada contoh sebelumnya menggunakan pena atau asam amino-asam amino. Anda dapat berakhir dengan kekacauan pada bercak-bercak yang tanpa arti.
Meskipun demikian, anda dapat bekerja dengan nilai Rf untuk setiap bercak-bercak dalam pelarut-pelarut, dan kemudian membandingkan nilai-nilai yang anda telah ukur dari senyawa yang telah diketahui pada kondisi yang tepat sama.
Bagaimana kromatografi kertas bekerja
Meskipun kromatografi kertas sangat mudah pengerjaannya, tetapi sangat sulit dijelaskan apabila membadingkannya dengan kromatografi lapis tipis. Penjelasannya tergantung tingkatan pemilihan pelarut yang anda gunakan, dan beberapa sumber untuk mengatasi masalah secara tuntas. Jika anda telah pernah melakukannya, ini sangat membantu jika anda dapat membaca penjelasan bagaimana kromatografi lapis tipis bekerja.Struktur dasar kertas
Kertas dibuat dari serat selulosa. Selulosa merupakan polimer dari gula sederhana, yaitu glukosa
Sangat menarik untuk mencoba untuk menjelaskan kromatografi kertas dalam kerangka bahwa senyawa-senyawa berbeda diserap pada tingkatan yang berbeda pada permukaan kertas. Dengan kata lain, akan baik menggunakan beberapa penjelasan untuk kromatografi lapis tipis dan kertas. Sayangnya, hal ini lebih kompleks daripada itu!
Kompleksitas timbul karena serat-serat selulosa beratraksi dengan uap air dari atmosfer sebagaimana halnya air yang timbul pada saat pembuatan kertas. Oleh karenanya, anda dapat berpikir yakni kertas sebagai serat-serat selulosa dengan lapisan yang sangat tipis dari molekul-molekul air yang berikatan pada permukaan.
Interaksi ini dengan air merupakan efek yang sangat penting selama pengerjaan kromatografi kertas.
Kromatografi kertas menggunakan pelarut non polar
Anggaplah anda menggunakan pelarut non polar seperti heksana untuk mengerjakan kromatogram.
Molekul-molekul polar da;am campuran yang anda coba untuk pisahkan akan memiliki sedikit atraksi antara akan memiliki sedikit atraksi untuk molekul-molekul air dan molekul-molekul yang melekat pada selulosa, dan karena akan menghabisakan banyak waktunya untuk larut dalam pelarut yang bergerak.
Molekul-molekul seperti ini akan bergerak sepanjang kertas diangkut oleh pelarut. Mereka akan memiliki nilai Rf yang relatif tinggi
Dengan kata lain, molekul-molekul polar akan memiliki atraksi yang tinggi untuk molekul-molekul air dan kurang untuk pelarut yang non polar. Dan karenanya, cenderung untuk larut dalam lapisan tipis air sekitar serat lebih besar daripada pelarut yang bergerak.
Karena molekul-molekul ini menghabiskan waktu untuk larut dalam fase diam dan kurang dalam fase gerak, molekul-molekul tidak akan bergerak sangat cepat pada kertas.
Kecenderungan senyawa untuk membagi waktunya antara dua pelarut yang tidak bercampur (misalnya pelarut heksana dan air yang mana tidak bercampur) disebut sebagai partisi. Kromatografi kertas menggunakan pelarut non-polar kemudian menjadi tipe kromatografi partisi
Kromatografi kertas menggunakan air dan pelarut polar lainnya
Waktu akan mengajarkan anda bahwa partisi tidak dapat dijelaskan jika anda menggunakan air sebagai pelarut untuk campuran anda. Jika anda mempunyai air sebagai fase diam, tidak akan sangat berbeda makna antara jumlah waktu substansi menghabiskan waktu dalam campuran dalam bentuk lainnya. Seluruh substansi seharusnya setimbang kelarutannya (terlarut setimbang) dalam keduanya.
Namun, kromatogram pertama yang telah anda buat mungkin merupakan tinta menggunakan air sebagai pelarut.
Jika air bertindak sebagai fase gerak selayaknya menjadi fase diam, akan terdapat perbedaan mekanisme pada mekanisme kerja dan harus setimbang untuk pelarut-pelarut polar seperti alkohol, misalnya. Partisi hanya dapat terjadi antara pelarut yang tidak bercampur satu dengan lainnya. Pelarut-pelarut polar seperti alkohol rendah bercampur dengan air
Kromatogram ekstrak daun Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn)
Terima kasih
glikosida
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Vivamus et magna. Fusce sed sem sed magna suscipit egestas.
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Vivamus et magna. Fusce sed sem sed magna suscipit egestas.
Jenis Glikon
Berdasarkan atom apa yang menghubungkan bagian gula dan bukan gula, maka dikenal 4 macam glikosida yaitu :
O-glikosida, jika atom 0 menghubungkan antara bagian gula dan bukan gula. Glikosida inim mudah dihidrolisa dengan asam dan enzim.
N-glikosida, jika atom N menghubungkan antara bagian gula dan bukan gula ( gugusan amino) seperti; nukleosida, ribosa, purin, visin, dan krotonosida. Golongan ini sebagian gulanya bukan gula sebenarnya tetapi derivatnya misal; asam uronik.
C- glikosida, jika atom C menghubungkan antara bagian gula dan bukan gula.Glikosida ini tahap terhadap hidrolisa asam.Hidrolisa dapat terjadi dengan bantuan pemanasan atau oksidator.
S- glikosida, jika atom S menghubungkan antara bagian gula dan bukan gula. Glikosida ini hanya terdapat pada famili – famili tertentu misal Cruciferae
Pemberian nama glikosida
Berdasarkan nama gulanya :
Nama gula Nama glikosida
Glukosa glukosida
ramnosa ramnosida
fruktosa fruktosida
Berdasarkan jumlah atom C dari gula
atom C nama gula nama glikosida
5 buah pentosa pentosida
6 buah heksosa heksosida
Berdasarkan gugusan pada gulanya
Gugusan nama gula nama glikosida
aldehid aldosa aldosida
keton ketosa ketosida
Penggolongan Glikosida
glikosida sianogenik
glikosida saponin
glikosida isotiosianat ( glukosinolat)
glikosida antrakinon
glikosida tannin
glikosida flavonol
glikosida resin
glikosida jantung
glikosida alkohol
glikosida aldehid
glikosida fenol
glikosida lakton
Demikian luasnya senyawa golongan glikosida ini, dimana setiap subgolongan mempunyai dekian banyak anggota sperti flanoid tannin, steroida, saponin dimana tiap subgolongan mempunyai pula sub–sub golongan, maka sebagian ahli tidak memasukkan mereka kedalam golongan glikosida tetapi membuatnya sebagian suatu golongan senyawa – senyawa tersendiri ( berdiri sendiri), maka timbullah pembagian sebagi berikut:
golongan alkaloid, golongan glikosida, golongan steroida, golongan flavonoid, golongan terpenoid, golongan tannin, dan seterusnya. Sehingga perlu kita ketahui dan tanamkan dalam diri kita tidak boleh berpikiran terlalu sempit bahwa hubungan antara golongan senyawa – senyawa yang terdapat dalam tumbuhan adalah sangat fleksibel ( luwes)
golongan alkaloid, golongan glikosida, golongan steroida, golongan flavonoid, golongan terpenoid, golongan tannin, dan seterusnya. Sehingga perlu kita ketahui dan tanamkan dalam diri kita tidak boleh berpikiran terlalu sempit bahwa hubungan antara golongan senyawa – senyawa yang terdapat dalam tumbuhan adalah sangat fleksibel ( luwes)
Glikosida sianogetik ( glikosida sianofora).
Glikosida ini jika dihidrolisa akan menghasilkan gas asam sianida (HCN). Glikosida ini beracun karena terdapat kandungan HCN. Terdapat pada tumbuhan famili Rosaceae, Euphorbiaceae, Dioscoreaceae yang sudah dikenal sejak dulu karena sifatnya yang beracun terhadap manusia dan hewan. Meskipun glikosida ini sangat beracun tetapi karena umumnya terdapat pada bagian yang banyak mengandung karbohidrat sperti umbi, biji maka banyak dijadikan orang sebagai makanan dengan lebih dulu menghilangkan HCN nya.
Pada tumbuhan tinggi asam sianida (HCN) terikat dalam bentuk: glikosida sianogenik ( true – cyanogenic glycosides) dan glikosida pseudosianogenik
true – cyanogenic glycosides contohnya amigdalin dan linimarin
amigdalin dihidrolisa akan menghasilkan 2 molekul glukosa, biasanya dituliskan dalam bentuk disakarida.
Pada hidrolisa amigdalin terjadi dalam 3 ( tiga) tahap yaitu:
pada hidrolisa pertama akan membebaskan I mol glukosa dan I mol mandelonitril glikosida.
mol. Glukosa kedua kemudian dibebaskan lagi dan terbentuknya benzaldehid sianohidrin yang disebut dengan mandelonitril.
Kemudian mandelonitril pecah menjadi benzaldehid dengan membebaskan mol asam sianida.
Hidrolisa amigdalin
True- Cyanogenic- glycosida
Ada 3 typeTipe amigdalin, terdapat pada tumbuhan prunus amygdalus famili rosaceae.
Contoh : prunasin dan amigdalin menghasilkan D – mandelonitril sebagian aglikogen. Sambunigrin dari Sambucus nigra akan membebaskan L- mandelonitril sebagai aglikonnya. Prulaurasin (laurocerasin) terdapat pada prunus laurocerosus dan sebagian aglukonnya adalah campuran rasemis mandelonitril.
Tipe linimarin, menghasilkan aseton atau homolognya dan HCN pada hidrolisisnya.
Reaksi hidrolisis linamarin
- linimarin, pertama sekali diisolasi sebagai manihotoksin dari umbi Manihot utilissima 1830.
Lotaustralin, terdapatm pada Lotus arabius, bedanya dari Linamarin hanya gugusan – CH3 diganti dengan – C2H5(etil)
Tipe Ginokardin, pada hidrolisis menghasilkan trioksiketon dan asan sianida (HCN). Ginokardin dijumpai pada Gynocardia odorata
Tipe Ginokardin, pada hidrolisis menghasilkan trioksiketon dan asan sianida (HCN). Ginokardin dijumpai pada Gynocardia odorata
Pseudo – cyanogenic Glycosida
merupakan azoksi- glikoside. Golongan ini tidak menghasilkan gas HCN jika dihidrolisa dengan asam ataupun emulsin, gas HCN dilepas jika diberikan NaOH dingin, contoh : macrozamin.
macro zamin ---------- CH3OH + H - COH HCl
+ primeverosa
macro zamin ---------- N 2 + HCN + H COOH
NaOH dingin + primeverosa
Contoh lain
sikasin
nesosikasin A
neosikasin B
pakoein
karakin
hiptagin
Glikosida saponin
Disebut saponin, berasal dari sapo yaitu sabun, karena jika dikocok dengan air akan berbuih dan dapat digunakan seperti sabun, glikosida ini tersebar luas pada bagian tumbuhan. Mempunyai kharasteristik yaitu dapat menurunkan tegangan permukaan cairan, dikocok dengan air menimbulkan busa, dapat mengiritasi membrane mukosa dan dapat menghidrolisa darah.
Glikosida saponin bila dihidrolisa akan menghasilkan gula dan bagian aglikon (dikenal dengan nama sapogenin). Sapogenin yang bersifat racun disebut sapotoksin.
Berdasarkan struktur dari sapogenin (aglikon) terdiri dari 2 (dua) golongan
Sapogenin steroida (atom C : 27)
Cabang tanpa atom N
Golongan sipirostan yaitu :
Normal sipirostan
Iso sipirostan
Glongan furostan yaitu :
Pseudosapogenin
Dihidrosapogenin
Golongan Kolesterol yaitu :
Kolesterol
Cabang Kolestrol yaitu :
Golongan spirosolon yaitu : solasodin, tomatidin.
Golongan Non spirosolon
Sapogenin triterpenoid (atom C : 30) Contoh : Gliserrhetenic acid
Glikosida isotiosionat (glukosinolat)
Glikosida ini disebut isotiosianat sebab mengandung unsure-S dalam molekulnya. Glikosida golongan ini terdapat pada beberapa tumbuhan Cruciferae, dimana gugusan aglikonnya : isotiosianat.
Glukosinolat jika dihidrolisa dengan enzim akan menghasilkan :
isotiosianat
sulfat
D-glukosa
Rumus umum untuk glikosida isotiosianat
penjelasan
Pada mustard oil : X adalah Kalium (K)
Sinalbin : X adalah ammonium kwaterner
Bagian gulanya adalah D-glukosa dalam bantu - pyronosa
Biasanya glikosida ini disertai dengan enzim penghidrolisa yaitu : mirosinase, yang terdapat dalam sel tertentu yaitu Idioblast yang segera terbebas jika jaringannya rusak.
Contoh Contoh
Sinigrin terdapat pada biji Brassica nigra (L) Koch.
Merupakan garam Kalium dari asam mironik. Jika dihidrolisa oleh enzim mirosinase akan menjadi allil isotiosinat. Reaksi :
Sinalbin, terdapat dalam biji Sinapsis alba (Brassica alba) jika dihidrolisa menghasilkan akrinil isotiosianat
glukokapparin (metal glukosinolat)
glukobrassisin
glukonasturtin
Beberapa glikosida ini mudah dikristalkan misalnya :
sinigrin
sinalbin
glukokapparin
glukoiberin
Glikosida Antraquinon
Glikosida ini sering disebut dengan glikosida fenol karena gugusan –OH nya berupa fenol. Glikosida antraquinon banyak terdapat pada tumbuhan : Cascara sagrada, frangula, aloe, sena, rhubarb, chrysarobin, cochineal, seluruhnya digunakan sebagai laksan (cathartic) kecuali Chrysarobin dengan rangsangan terlalu kuat dan Cochineal digunakan sebagai zat warna. Glikosida Antraquinon jika dihodrolisa akan menghasilkan gugusan aglukon di, tri, dan tetrahidroantraquinon ataupun modifikasi dari senyawa-senyawa tersebut.
Contoh
Alizarin sebagai 2-primeveroside (asam ruberritrat)
Rubidiadin dari Rubra tinctoria sebagai 3-glukosida
Galium species sebagai 3-primoveroside
Morindom dari Caprosma Australia sebagai 6-rutinosa
Dalam banyak kasus nampaknya aglukon glikosida asli berbentuk Antraquinon tereduksi yang dikenal sebagai Anthron. Gula dalam glikosida yang tereduksi ini dapat terikat seperti biasa dengan oksigen fenol pada cincin luar ataupun dapat juga terikat pada C-9 bentuk enol antrn; antranol.
Struktur kimia glicosida antrakuinon
antron Hidrolisis oleh enzim (atau secara kimia) glikosida C-9 antranol diikuti oleh oksidasi menjadi antrakuinon jika ada oksigen. Jika gula terikat pada posisi lain, glikosida antranol dapat dioksidasi langsung menjadi glikosida antrakuinon, Berbeda pada aloe gugusan gula terikat melalui atom- C, dimana glikosida ini stabil terdahap hidroksi terhadap asam, tapi dapat dipecah dengan besi (III) klorida menjadi emodin aloe.
Contoh rumus
Glikosida tanin
Tannin merupakan senyawa glikosida yang jika mengalami hidrolisa akan terbentuk fenol-fenol dan bukan fenol biasa gula-gula. Fenol-fenol tersebut dapat diketahui dengan pembentukan warna dengan garam besi. Glikosida tannin banyak ditemukan pada hampir semuatumbuhan dan tersebar luas pada semua bahagiannya
Contoh
krameria, gambir, gallae, hamamelis, carica, jambu biji dan lainnya. Glikosida tannin bersifat astringent, karena sifat ini tannin (zat samak) dipakai sebagai anti-diarrhae, obat luka bakar dan anti haemorrhage
Glikosida Flavanol
Glikosida flavonol dimana aglikon umumnya adalah bentuk flavonoid. Sebahagian besar dari flavonoid yang ditemukan di alam berbeda dan pigmennya berwarna kuning tersebar luas pada tumbuhan tinggi. Contoh : Rutin, Quercitrin, citrus bioflavonoid (hesperidin, hesperetin, diosmin, dan naringen) diantara isinya yang paling terkenal adalah flavonoid. Rutin dan Hasperidin disebut Vitamin F atau faktor permebialitas.
Rumus kimia
Glikosida resin
Merupakan senyawa setengah padat, amorf dengan sifat kimia yang kompleks, biasanya dihasilkan dari kelenjar schizogen atau hasil akhir metabolisme. Bersifat kompleks antara lain terdiri dari : asam resin, resin alcohol (resinol), resin fenol (resinotannol), ester, dan senyawa-senyawa inert (resene). Zat-zat tersebut tidak larut dalam air tetapi larut dalam etanol atau pelarut organic. Glikosida resin apabila dipanaskan akan dan akhirnya akan meleleh.
Resin sering bercampur dengan zat-zat lain :
Dengan minyak atsiri (volatile Oil) disebut dengan Oleoresin misalnya ; terpentin, copaiba.
Dengan gum disebut dengan Oleo-gum-resin misalnya; asafetride, myrrh.
Balsam merupakan campuran resin yang terdiri dari : asam sinamat, asam benzoate, atau kedua ester dari asam tersebut misalnya; benzoin, peru balsam dan styrax.
Kombinasi dengan glikosida yang disebut dengan Glukoresin atau glikoresin misalnya; jala, dan podophyllum.
Rumus Asam Sinamat
Glikosida Jantung
Glikosida ini ditandai dengan kerjanya yang spesifik terhadap otot polos jantung. Aglikonnya merupakan senyawa steroida terbagi dalam dua golongan yaitu :
golongan cardenolice yaitu steroida dengan atom C 23, yang paling bayak dipakai.
golongan bufadienolide yaitu steroide dengan atom C 24, sedikit yang dipakai.
Gliksida jantung ditemukan dalam tumbuhan dari beberapa famili (keluarga) yang sama sekali tidak berhubungan satu sama lain seperti : Digitalis (Scophulariaceae), Strophantus (Apocynaceae), Adonis vernalis (Ranunculaceae), Selenicereus (Cactaceae) dan Urginea (Liliaceae).
Bufadienolida
Glikosida Alkohol
Glikosida ini mempunyai aglikon gugusan –OH alcohol.
Contoh : salicin, populin dan coniferin.
Salicin adalah glikosida yang diperoleh dari Salix dan Prunus bila dihidrolisa akan menghasilkan saligenin (salicyl alcohol) dan D-Glukosa. Populin (benzoil salisin) diperoleh dari famili Salicaceae. Coniferin pada hidrolisa akan menghasilkan coniferi alkohol.
Glikosida aldehid
Glikosida ini mempunyai aglikon gugusan aldehid CHO.
Contoh : Vanilin, Salinigrin
Vanilin adalah glikosida yang diperoleh dari Vanilla planifolia atau dibuat secara sintetis dari sumber lainnya seperti conirin, eugenol dan lignin.
Saligrin merupakan gabungan antara glukosa dan hidroksi benzaldehid yang diperoleh dari Salix discolor
Reaksi
Glikosida Fenol
Glikosida ini mempunyai aglikon dari turunan fenol.
Contoh : arbutin, hosperidin, phloridzin, babtisin dan iridin.
Arbutin adalah glikosida fenol yang diperoleh dari Una ursi, Chimaphila pada hidrolisa menghasilkan hidrokuinon dan glukosa.
Hesperidin diperoleh dari buah jeruk dan digolongkan pada flavanol yang dapat dimasukkan dalam golongan glikosida fenol.
Phloridzin diperoleh dari kulit akar tanaman rosa, babtisin dari Babtisida dan Iridin diperoleh dari Iris sp, yang keseluruhannya dimasukkan dalam golongan glikosida fenol.
Reaksi
Glikosida Lakton
Glikosida ini aglikonnya merupakan senyawa lakton tersebar luas dalam tumbuhan. Golongan ini dapat dianggap merupakan turunan dari - pyron misalnya: Coumarin, iso coumarin, santonin, aesculin, fraxin, scopolin dan lainnya.
Senyawa coumarin dapat dijumpai dalam bentuk bebas atau terikat sebagai glikosida. Coumarin memberikan bau yang menyenangkan pada banyak tumbuhan. Coumarin terdapat pada akar buah, biji, dan korteks.
Tumbuhan yang menghasilkan coumarin adalah :
Anthoxantum odoratum (Gramineae), Melitotus albus (Leguminosae), Galium triflorum (Rubiaceae), Ficus radicans ( Moraceae) dll.
Coumarin itu sendiri merupakan bentuk lakton daripada cis-0- hidroksisinnamat, terdapat sebagai glikosida melilotoside. Jika glikosida ini dihidrolisis akan mehgasilkan 0- hidroksisinnamat yang segera berobah menjadi lakton
Reaksi
Aesculin merupakan glukosida dari pada 6,7- dihidroksicoumarin (Aesculetin), dimana glukosa terikat pada atom C nomor 6
Scopolin, merupakan metal-aesculin. Terdapat pada Belladonna, galsemium, merupakan glukosida dari pada 6-metoksi-7-oksiccu-marin
Cichoriin, merupakan isomer dari pada aesculin. Bedanya, pada cichoriin bagian gulanya melekat pada posisi nomor – 7. Glikosida ini terdapat pada : Cichorium intybus, Centurea cyanus ( Compositae)
Penutup
Glikosida merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan pada tumbuhan maupun hewan dan tersebar luas pada bagian- bagiannya. Pada hidrolisa akan terlepas dari ikatan – ikatan yang menghubungkannya, sehingga menghasilkan bagian aglikon ( genin) dan glikon. Ikatan – ikatan yang menghubungkan terdiri dari : O- glikosida, N – glikosida, C- glikosida dan S – glikosida. Nomenklatur dari glikosida didasarkan pada gulanya, jumlah atom C dari gula, gugusan gula. Penggolongan glikosida didasarkan pada struktur aglikon terdiri dari: glikosida sianogenik, glikosida saponin, glioksida isotiosianat, glikosida antrkinon, glikosida tannin, glikosida fiacvnol, glikosida resin, glikosida jantung, glikosida alkohol, glikosida aldehid, glikosida fenol, glikosida lakton. Pemanfaatan glikosida khususnya pada bidang farmasi cukup luas, sehingga penelitian dari berbagai sumber sangat diharapkan
Terima Kasih
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Vivamus et magna. Fusce sed sem sed magna suscipit egestas.
Jenis Glikon
Berdasarkan atom apa yang menghubungkan bagian gula dan bukan gula, maka dikenal 4 macam glikosida yaitu :
O-glikosida, jika atom 0 menghubungkan antara bagian gula dan bukan gula. Glikosida inim mudah dihidrolisa dengan asam dan enzim.
N-glikosida, jika atom N menghubungkan antara bagian gula dan bukan gula ( gugusan amino) seperti; nukleosida, ribosa, purin, visin, dan krotonosida. Golongan ini sebagian gulanya bukan gula sebenarnya tetapi derivatnya misal; asam uronik.
C- glikosida, jika atom C menghubungkan antara bagian gula dan bukan gula.Glikosida ini tahap terhadap hidrolisa asam.Hidrolisa dapat terjadi dengan bantuan pemanasan atau oksidator.
S- glikosida, jika atom S menghubungkan antara bagian gula dan bukan gula. Glikosida ini hanya terdapat pada famili – famili tertentu misal Cruciferae
Pemberian nama glikosida
Berdasarkan nama gulanya :
Nama gula Nama glikosida
Glukosa glukosida
ramnosa ramnosida
fruktosa fruktosida
Berdasarkan jumlah atom C dari gula
atom C nama gula nama glikosida
5 buah pentosa pentosida
6 buah heksosa heksosida
Berdasarkan gugusan pada gulanya
Gugusan nama gula nama glikosida
aldehid aldosa aldosida
keton ketosa ketosida
Penggolongan Glikosida
glikosida sianogenik
glikosida saponin
glikosida isotiosianat ( glukosinolat)
glikosida antrakinon
glikosida tannin
glikosida flavonol
glikosida resin
glikosida jantung
glikosida alkohol
glikosida aldehid
glikosida fenol
glikosida lakton
Demikian luasnya senyawa golongan glikosida ini, dimana setiap subgolongan mempunyai dekian banyak anggota sperti flanoid tannin, steroida, saponin dimana tiap subgolongan mempunyai pula sub–sub golongan, maka sebagian ahli tidak memasukkan mereka kedalam golongan glikosida tetapi membuatnya sebagian suatu golongan senyawa – senyawa tersendiri ( berdiri sendiri), maka timbullah pembagian sebagi berikut:
golongan alkaloid, golongan glikosida, golongan steroida, golongan flavonoid, golongan terpenoid, golongan tannin, dan seterusnya. Sehingga perlu kita ketahui dan tanamkan dalam diri kita tidak boleh berpikiran terlalu sempit bahwa hubungan antara golongan senyawa – senyawa yang terdapat dalam tumbuhan adalah sangat fleksibel ( luwes)
golongan alkaloid, golongan glikosida, golongan steroida, golongan flavonoid, golongan terpenoid, golongan tannin, dan seterusnya. Sehingga perlu kita ketahui dan tanamkan dalam diri kita tidak boleh berpikiran terlalu sempit bahwa hubungan antara golongan senyawa – senyawa yang terdapat dalam tumbuhan adalah sangat fleksibel ( luwes)
Glikosida sianogetik ( glikosida sianofora).
Glikosida ini jika dihidrolisa akan menghasilkan gas asam sianida (HCN). Glikosida ini beracun karena terdapat kandungan HCN. Terdapat pada tumbuhan famili Rosaceae, Euphorbiaceae, Dioscoreaceae yang sudah dikenal sejak dulu karena sifatnya yang beracun terhadap manusia dan hewan. Meskipun glikosida ini sangat beracun tetapi karena umumnya terdapat pada bagian yang banyak mengandung karbohidrat sperti umbi, biji maka banyak dijadikan orang sebagai makanan dengan lebih dulu menghilangkan HCN nya.
Pada tumbuhan tinggi asam sianida (HCN) terikat dalam bentuk: glikosida sianogenik ( true – cyanogenic glycosides) dan glikosida pseudosianogenik
true – cyanogenic glycosides contohnya amigdalin dan linimarin
amigdalin dihidrolisa akan menghasilkan 2 molekul glukosa, biasanya dituliskan dalam bentuk disakarida.
Pada hidrolisa amigdalin terjadi dalam 3 ( tiga) tahap yaitu:
pada hidrolisa pertama akan membebaskan I mol glukosa dan I mol mandelonitril glikosida.
mol. Glukosa kedua kemudian dibebaskan lagi dan terbentuknya benzaldehid sianohidrin yang disebut dengan mandelonitril.
Kemudian mandelonitril pecah menjadi benzaldehid dengan membebaskan mol asam sianida.
Hidrolisa amigdalin
True- Cyanogenic- glycosida
Ada 3 typeTipe amigdalin, terdapat pada tumbuhan prunus amygdalus famili rosaceae.
Contoh : prunasin dan amigdalin menghasilkan D – mandelonitril sebagian aglikogen. Sambunigrin dari Sambucus nigra akan membebaskan L- mandelonitril sebagai aglikonnya. Prulaurasin (laurocerasin) terdapat pada prunus laurocerosus dan sebagian aglukonnya adalah campuran rasemis mandelonitril.
Tipe linimarin, menghasilkan aseton atau homolognya dan HCN pada hidrolisisnya.
Reaksi hidrolisis linamarin
- linimarin, pertama sekali diisolasi sebagai manihotoksin dari umbi Manihot utilissima 1830.
Lotaustralin, terdapatm pada Lotus arabius, bedanya dari Linamarin hanya gugusan – CH3 diganti dengan – C2H5(etil)
Tipe Ginokardin, pada hidrolisis menghasilkan trioksiketon dan asan sianida (HCN). Ginokardin dijumpai pada Gynocardia odorata
Tipe Ginokardin, pada hidrolisis menghasilkan trioksiketon dan asan sianida (HCN). Ginokardin dijumpai pada Gynocardia odorata
Pseudo – cyanogenic Glycosida
merupakan azoksi- glikoside. Golongan ini tidak menghasilkan gas HCN jika dihidrolisa dengan asam ataupun emulsin, gas HCN dilepas jika diberikan NaOH dingin, contoh : macrozamin.
macro zamin ---------- CH3OH + H - COH HCl
+ primeverosa
macro zamin ---------- N 2 + HCN + H COOH
NaOH dingin + primeverosa
Contoh lain
sikasin
nesosikasin A
neosikasin B
pakoein
karakin
hiptagin
Glikosida saponin
Disebut saponin, berasal dari sapo yaitu sabun, karena jika dikocok dengan air akan berbuih dan dapat digunakan seperti sabun, glikosida ini tersebar luas pada bagian tumbuhan. Mempunyai kharasteristik yaitu dapat menurunkan tegangan permukaan cairan, dikocok dengan air menimbulkan busa, dapat mengiritasi membrane mukosa dan dapat menghidrolisa darah.
Glikosida saponin bila dihidrolisa akan menghasilkan gula dan bagian aglikon (dikenal dengan nama sapogenin). Sapogenin yang bersifat racun disebut sapotoksin.
Berdasarkan struktur dari sapogenin (aglikon) terdiri dari 2 (dua) golongan
Sapogenin steroida (atom C : 27)
Cabang tanpa atom N
Golongan sipirostan yaitu :
Normal sipirostan
Iso sipirostan
Glongan furostan yaitu :
Pseudosapogenin
Dihidrosapogenin
Golongan Kolesterol yaitu :
Kolesterol
Cabang Kolestrol yaitu :
Golongan spirosolon yaitu : solasodin, tomatidin.
Golongan Non spirosolon
Sapogenin triterpenoid (atom C : 30) Contoh : Gliserrhetenic acid
Glikosida isotiosionat (glukosinolat)
Glikosida ini disebut isotiosianat sebab mengandung unsure-S dalam molekulnya. Glikosida golongan ini terdapat pada beberapa tumbuhan Cruciferae, dimana gugusan aglikonnya : isotiosianat.
Glukosinolat jika dihidrolisa dengan enzim akan menghasilkan :
isotiosianat
sulfat
D-glukosa
Rumus umum untuk glikosida isotiosianat
penjelasan
Pada mustard oil : X adalah Kalium (K)
Sinalbin : X adalah ammonium kwaterner
Bagian gulanya adalah D-glukosa dalam bantu - pyronosa
Biasanya glikosida ini disertai dengan enzim penghidrolisa yaitu : mirosinase, yang terdapat dalam sel tertentu yaitu Idioblast yang segera terbebas jika jaringannya rusak.
Contoh Contoh
Sinigrin terdapat pada biji Brassica nigra (L) Koch.
Merupakan garam Kalium dari asam mironik. Jika dihidrolisa oleh enzim mirosinase akan menjadi allil isotiosinat. Reaksi :
Sinalbin, terdapat dalam biji Sinapsis alba (Brassica alba) jika dihidrolisa menghasilkan akrinil isotiosianat
glukokapparin (metal glukosinolat)
glukobrassisin
glukonasturtin
Beberapa glikosida ini mudah dikristalkan misalnya :
sinigrin
sinalbin
glukokapparin
glukoiberin
Glikosida Antraquinon
Glikosida ini sering disebut dengan glikosida fenol karena gugusan –OH nya berupa fenol. Glikosida antraquinon banyak terdapat pada tumbuhan : Cascara sagrada, frangula, aloe, sena, rhubarb, chrysarobin, cochineal, seluruhnya digunakan sebagai laksan (cathartic) kecuali Chrysarobin dengan rangsangan terlalu kuat dan Cochineal digunakan sebagai zat warna. Glikosida Antraquinon jika dihodrolisa akan menghasilkan gugusan aglukon di, tri, dan tetrahidroantraquinon ataupun modifikasi dari senyawa-senyawa tersebut.
Contoh
Alizarin sebagai 2-primeveroside (asam ruberritrat)
Rubidiadin dari Rubra tinctoria sebagai 3-glukosida
Galium species sebagai 3-primoveroside
Morindom dari Caprosma Australia sebagai 6-rutinosa
Dalam banyak kasus nampaknya aglukon glikosida asli berbentuk Antraquinon tereduksi yang dikenal sebagai Anthron. Gula dalam glikosida yang tereduksi ini dapat terikat seperti biasa dengan oksigen fenol pada cincin luar ataupun dapat juga terikat pada C-9 bentuk enol antrn; antranol.
Struktur kimia glicosida antrakuinon
antron Hidrolisis oleh enzim (atau secara kimia) glikosida C-9 antranol diikuti oleh oksidasi menjadi antrakuinon jika ada oksigen. Jika gula terikat pada posisi lain, glikosida antranol dapat dioksidasi langsung menjadi glikosida antrakuinon, Berbeda pada aloe gugusan gula terikat melalui atom- C, dimana glikosida ini stabil terdahap hidroksi terhadap asam, tapi dapat dipecah dengan besi (III) klorida menjadi emodin aloe.
Contoh rumus
Glikosida tanin
Tannin merupakan senyawa glikosida yang jika mengalami hidrolisa akan terbentuk fenol-fenol dan bukan fenol biasa gula-gula. Fenol-fenol tersebut dapat diketahui dengan pembentukan warna dengan garam besi. Glikosida tannin banyak ditemukan pada hampir semuatumbuhan dan tersebar luas pada semua bahagiannya
Contoh
krameria, gambir, gallae, hamamelis, carica, jambu biji dan lainnya. Glikosida tannin bersifat astringent, karena sifat ini tannin (zat samak) dipakai sebagai anti-diarrhae, obat luka bakar dan anti haemorrhage
Glikosida Flavanol
Glikosida flavonol dimana aglikon umumnya adalah bentuk flavonoid. Sebahagian besar dari flavonoid yang ditemukan di alam berbeda dan pigmennya berwarna kuning tersebar luas pada tumbuhan tinggi. Contoh : Rutin, Quercitrin, citrus bioflavonoid (hesperidin, hesperetin, diosmin, dan naringen) diantara isinya yang paling terkenal adalah flavonoid. Rutin dan Hasperidin disebut Vitamin F atau faktor permebialitas.
Rumus kimia
Glikosida resin
Merupakan senyawa setengah padat, amorf dengan sifat kimia yang kompleks, biasanya dihasilkan dari kelenjar schizogen atau hasil akhir metabolisme. Bersifat kompleks antara lain terdiri dari : asam resin, resin alcohol (resinol), resin fenol (resinotannol), ester, dan senyawa-senyawa inert (resene). Zat-zat tersebut tidak larut dalam air tetapi larut dalam etanol atau pelarut organic. Glikosida resin apabila dipanaskan akan dan akhirnya akan meleleh.
Resin sering bercampur dengan zat-zat lain :
Dengan minyak atsiri (volatile Oil) disebut dengan Oleoresin misalnya ; terpentin, copaiba.
Dengan gum disebut dengan Oleo-gum-resin misalnya; asafetride, myrrh.
Balsam merupakan campuran resin yang terdiri dari : asam sinamat, asam benzoate, atau kedua ester dari asam tersebut misalnya; benzoin, peru balsam dan styrax.
Kombinasi dengan glikosida yang disebut dengan Glukoresin atau glikoresin misalnya; jala, dan podophyllum.
Rumus Asam Sinamat
Glikosida Jantung
Glikosida ini ditandai dengan kerjanya yang spesifik terhadap otot polos jantung. Aglikonnya merupakan senyawa steroida terbagi dalam dua golongan yaitu :
golongan cardenolice yaitu steroida dengan atom C 23, yang paling bayak dipakai.
golongan bufadienolide yaitu steroide dengan atom C 24, sedikit yang dipakai.
Gliksida jantung ditemukan dalam tumbuhan dari beberapa famili (keluarga) yang sama sekali tidak berhubungan satu sama lain seperti : Digitalis (Scophulariaceae), Strophantus (Apocynaceae), Adonis vernalis (Ranunculaceae), Selenicereus (Cactaceae) dan Urginea (Liliaceae).
Bufadienolida
Glikosida Alkohol
Glikosida ini mempunyai aglikon gugusan –OH alcohol.
Contoh : salicin, populin dan coniferin.
Salicin adalah glikosida yang diperoleh dari Salix dan Prunus bila dihidrolisa akan menghasilkan saligenin (salicyl alcohol) dan D-Glukosa. Populin (benzoil salisin) diperoleh dari famili Salicaceae. Coniferin pada hidrolisa akan menghasilkan coniferi alkohol.
Glikosida aldehid
Glikosida ini mempunyai aglikon gugusan aldehid CHO.
Contoh : Vanilin, Salinigrin
Vanilin adalah glikosida yang diperoleh dari Vanilla planifolia atau dibuat secara sintetis dari sumber lainnya seperti conirin, eugenol dan lignin.
Saligrin merupakan gabungan antara glukosa dan hidroksi benzaldehid yang diperoleh dari Salix discolor
Reaksi
Glikosida Fenol
Glikosida ini mempunyai aglikon dari turunan fenol.
Contoh : arbutin, hosperidin, phloridzin, babtisin dan iridin.
Arbutin adalah glikosida fenol yang diperoleh dari Una ursi, Chimaphila pada hidrolisa menghasilkan hidrokuinon dan glukosa.
Hesperidin diperoleh dari buah jeruk dan digolongkan pada flavanol yang dapat dimasukkan dalam golongan glikosida fenol.
Phloridzin diperoleh dari kulit akar tanaman rosa, babtisin dari Babtisida dan Iridin diperoleh dari Iris sp, yang keseluruhannya dimasukkan dalam golongan glikosida fenol.
Reaksi
Glikosida Lakton
Glikosida ini aglikonnya merupakan senyawa lakton tersebar luas dalam tumbuhan. Golongan ini dapat dianggap merupakan turunan dari - pyron misalnya: Coumarin, iso coumarin, santonin, aesculin, fraxin, scopolin dan lainnya.
Senyawa coumarin dapat dijumpai dalam bentuk bebas atau terikat sebagai glikosida. Coumarin memberikan bau yang menyenangkan pada banyak tumbuhan. Coumarin terdapat pada akar buah, biji, dan korteks.
Tumbuhan yang menghasilkan coumarin adalah :
Anthoxantum odoratum (Gramineae), Melitotus albus (Leguminosae), Galium triflorum (Rubiaceae), Ficus radicans ( Moraceae) dll.
Coumarin itu sendiri merupakan bentuk lakton daripada cis-0- hidroksisinnamat, terdapat sebagai glikosida melilotoside. Jika glikosida ini dihidrolisis akan mehgasilkan 0- hidroksisinnamat yang segera berobah menjadi lakton
Reaksi
Aesculin merupakan glukosida dari pada 6,7- dihidroksicoumarin (Aesculetin), dimana glukosa terikat pada atom C nomor 6
Scopolin, merupakan metal-aesculin. Terdapat pada Belladonna, galsemium, merupakan glukosida dari pada 6-metoksi-7-oksiccu-marin
Cichoriin, merupakan isomer dari pada aesculin. Bedanya, pada cichoriin bagian gulanya melekat pada posisi nomor – 7. Glikosida ini terdapat pada : Cichorium intybus, Centurea cyanus ( Compositae)
Penutup
Glikosida merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan pada tumbuhan maupun hewan dan tersebar luas pada bagian- bagiannya. Pada hidrolisa akan terlepas dari ikatan – ikatan yang menghubungkannya, sehingga menghasilkan bagian aglikon ( genin) dan glikon. Ikatan – ikatan yang menghubungkan terdiri dari : O- glikosida, N – glikosida, C- glikosida dan S – glikosida. Nomenklatur dari glikosida didasarkan pada gulanya, jumlah atom C dari gula, gugusan gula. Penggolongan glikosida didasarkan pada struktur aglikon terdiri dari: glikosida sianogenik, glikosida saponin, glioksida isotiosianat, glikosida antrkinon, glikosida tannin, glikosida fiacvnol, glikosida resin, glikosida jantung, glikosida alkohol, glikosida aldehid, glikosida fenol, glikosida lakton. Pemanfaatan glikosida khususnya pada bidang farmasi cukup luas, sehingga penelitian dari berbagai sumber sangat diharapkan
Terima Kasih
MATA
MATA
KABUR
BAHAGIAN DARI MATA
BAHAGIAN DARI MATA
ANATOMI MATA
Keterangan :
Konjungtiva (selaput lendir) adalah selaput tipis tembus cahaya yang membungkus bagian putih (sklera) bola mata bagian depan dan kelopak mata bagian dalam.
Kornea adalah bagian simpai mata yang bersifat tembus cahaya.
Iris adalah selaput pelangi, selaput sirkular berpigmen dibelakang selaput bening dengan lubang di pusat yakni manik mata atau pupil.
Lensa adalah bagian yang terletak di belakang selaput pelangi, terdiri atas zat yang tembus cahaya.
Pupil adalah manik mata atau lubang bundar ditengah selaput pelangi.
Retina adalah selaput jala atau lapisan terdalam bola mata sebagai reseptor rangsang cahaya.
Makula adalah adalah selaput bening, bercak keruh pada selaput bening mata.
Arteri adalah pembuluh yang membawa darah ke mata (Ramali ,A., dkk, 2002).
BAHAGIAN DARI SYARAF MATA
BAHAGIAN MATA
CONTOH KEMASAN OBAT MATA
CONTOH KEMASAN OBAT MATA
PROSEDUR PENYIAPAN ALAT DAN WADAH ADLH SAMA SPT PADA PEMB’ PADA OBAT SUNTIK
LARUTAN OBAT MATA DOSIS BERGANDA HRS MENGANDUNG PENGAWET
BAHAN TAMBAHAN selain pengawet adalah:
ANTI OKSIDAN, PENDAPAR, BHN PENAMBAH VISCOSITAS, DLL
LARUTAN OBAT MATA UNTUK MATA LUKA atau BARU OPERASI, TDK BOLEH MENGANDUNG PENGAWET
PEMANASAN BASAH DENGAN AUTOKLAF
PEMANASAN KERING DI OVEN
PENYARINGAN DENGAN MEMBRAN STERIL SECARA ASEPTIK
PEMANASAN 98-100 ºC DENGAN PENAMBAHAN ANTI BAKTERI
CARA PENGGUNAAN OTM
KABUR
BAHAGIAN DARI MATA
BAHAGIAN DARI MATA
ANATOMI MATA
Keterangan :
Konjungtiva (selaput lendir) adalah selaput tipis tembus cahaya yang membungkus bagian putih (sklera) bola mata bagian depan dan kelopak mata bagian dalam.
Kornea adalah bagian simpai mata yang bersifat tembus cahaya.
Iris adalah selaput pelangi, selaput sirkular berpigmen dibelakang selaput bening dengan lubang di pusat yakni manik mata atau pupil.
Lensa adalah bagian yang terletak di belakang selaput pelangi, terdiri atas zat yang tembus cahaya.
Pupil adalah manik mata atau lubang bundar ditengah selaput pelangi.
Retina adalah selaput jala atau lapisan terdalam bola mata sebagai reseptor rangsang cahaya.
Makula adalah adalah selaput bening, bercak keruh pada selaput bening mata.
Arteri adalah pembuluh yang membawa darah ke mata (Ramali ,A., dkk, 2002).
BAHAGIAN DARI SYARAF MATA
BAHAGIAN MATA
CONTOH KEMASAN OBAT MATA
CONTOH KEMASAN OBAT MATA
PROSEDUR PENYIAPAN ALAT DAN WADAH ADLH SAMA SPT PADA PEMB’ PADA OBAT SUNTIK
LARUTAN OBAT MATA DOSIS BERGANDA HRS MENGANDUNG PENGAWET
BAHAN TAMBAHAN selain pengawet adalah:
ANTI OKSIDAN, PENDAPAR, BHN PENAMBAH VISCOSITAS, DLL
LARUTAN OBAT MATA UNTUK MATA LUKA atau BARU OPERASI, TDK BOLEH MENGANDUNG PENGAWET
PEMANASAN BASAH DENGAN AUTOKLAF
PEMANASAN KERING DI OVEN
PENYARINGAN DENGAN MEMBRAN STERIL SECARA ASEPTIK
PEMANASAN 98-100 ºC DENGAN PENAMBAHAN ANTI BAKTERI
CARA PENGGUNAAN OTM
Uji Bioekuivalensi AMINOFILIN
Contoh: Uji Bioekuivalensi AMINOFILIN
Pendahuluan
Aminofilin adalah suatu bronkhodilator, digunakan untuk terapi asma dan peyakit paru obstruktif.
Aminofilin merupakan senyawa kompleks teofilin dengan etilendiamin, dengan kandungan teofilin anhidrat bervariasi antara 79-86 %.
Sebagai pedoman, 1,27 g aminofilin setara dengan 1 g teofilin.
Dalam tubuh aminofilin terurai menjadi teofilin.
Dosis teofilin bervariasi tergantung kondisi dan respon pasien, umumnya berkisar antara 10-13 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian.
……..pendahuluan
Teofilin termasuk obat-obat yang mempunyai lingkup terapi (therapeutic range) sempit. Artinya, jarak antar dosis terapatik dan dosis toksis kecil, sehingga efek toksik akan mudah timbul apabila dosis atau kadarnya melewati ambang toksik.
Telah diketahui bahwa pencegahan efek toksik temyata dapat diupayakan dengancara mempertahankan kadamya pada lingkup terapeutik optimal antar 7,5-15 ug/ml.
Kadar diatas 15 ug/ml dapat menimbulkan gejala toksik, beruapa palpitasi, gangguan konsentrasi, aritmia, takhikardi dan agitasi.
Efek samping teofilin yang sering dijumpai adalah sakit kepala, insomnia dan iritasi gastrointestinal.
SIFAT FARMAKOKINETIK
Kelarutan aminofilin lebih besar daripada teofilin, tetapi temyata derajad absorpsinya tidak banyak berbeda.
Setelah pemberian per-oral, obat ini diabsorpsi dengan cepat, sehingga kadang-kadang terjadilonjakan kadar dalam darah yang menimbulkan gejala efek samping.
Pemberian teofilin/aminofilin bersama dengan katekolamin dan simpatomimetik golongan amina harus hati-hati karena dapat memperkuat aksi takhiaritmia.
Teofilin mengalami metabolisme terutama di hepar dan ± 8 % fraksi obat diekskresikan melalui urin dalam bentuk tetap.
UJI KETERSEDIAAN HAYATI
Sukarelawan : penelitian melibatkan 12 sukarelawan laki-laki sehat, berumur 20-31 tahun, dengan berat badan 49-68 kg. Sukarelawan tidakmempunyai riwayat gangguan gastrointestinal, penyakit jantung, hepar maupun ginjal.
Pemeriksaan laboratorik terhadap fungsi ginjal, fungsi hepar, hematologi dan kimia darah menunjukkan hasil yang normal.
Obat uji dan cara pemberian : penelitian ini membandingkan 2 bahan uji, yakni tablet AMINOF1LIN 200 mg (Generik) vs. sirop AMINOFILIN 200 mg/20 ml (____).
Obat uji diberikan sebagai dosis tunggal 200 mg setelah puasa semalam. Obat diminum dengan ± 200 ml air putih.
Analisa kinetik : sampel darah diambil pada jam-jam ke 0, 0.25, 0.5, 1, 1.5, 2, 4, 8, dan 24 jam setelah minum obat uji, untuk kemudian dipisahkan plasmanya.
Analisis kadar teofilin dalam plasma dilakukan dengan High Performance Liquid Chromatography, kemudian parameter ketersediaan hayati (Tmax, Cmax, AUCo" ) dihitung dengan asumsi model satu kompartemen terbuka.
Analisis Statistik : Uji- t-pasangan digunakan untuk membandingkan nilai Tmax, Cmax dan AUCo yang diperoleh setelah pemberian kedua obat uji.
HASIL PENGUJIAN
Nilai ketiga parameter ketersediaan hayati yang diperoleh setelah pemberian tablet AMINOFILIN (Generik) maupun strop AMINOFILIN (_____) temyata praktis sama.
'Nilai Tmax tablet AMINOFILIN dijumpai sedikit lebih besar, yakni 1,7±0,1 jam vs 1,6±0,1 jam, namun hal ini bisa dimengerti karena pembandingnya berupa sediaan cair.
Telah diketahui, bahwa disolusi obat dalam sediaan cair lebih cepat bila dibandingkan sediaan padat. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik.
Nilai Cmax maupun AUCo, yang menunjukkan derajad ketersediaan hayati juga praktis sama antara kedua sediaan, yaitu berturut-turut 2,8±0,0 vs 2,8±0,0 ug/ml dan 33,4±1,4 vs 34,9±1,4 ug/ml.jam.
Waktu paruh eliminasi (Tl/2) kedua sediaan praktis sama, yakni 5,8±0,2 jam dan 5,8±0,1 jam.
Tabel. Nilai parameter ketersediaan hayati teofilin setelah pemberiaan dosis tunggal 200mg AMINOFILIN tablet (Genetik) dan AMINOFILIN sirop (_____) pada 12 sukarelawan laki-laki sehat (maan±SEM).
Obat Uji Tmax Cmax AUC
(jam) (ug/ml) (ug/ml.jam)
AMINOFILIN 1,7±0,1 2,8 ±0,0 33,4 ±1,4
(Generik)
AMINOFILIN 1,6±0,1 2,8 ±0,0 34,9 ±1,4
Uji t-pasangan, p>0,05
Dari kurva kadar teofilin vs waktu berikut ini, dapat dilihat bahwa pada fase absorpsi, profil kedua obat uji praktis sama.
Kemudian penurunan kadar pada fase eleminasi juga nampak identik. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kecepatan eleminasi antara kedua obat yang dibandingkan.
Dengan melihat bahwa sediaan tablet Aminofilin Generik mempunyai kecepatan dan ketersediaan hayati yang sama dengan sediaan pembandingnya, maka dapat dikatakan bahwa sediaan Aminofilin generik ini mempunyai ketersediaan hayati yang sangat baik.
Kurva kadar teofilin plasma Vs waktu.
KESIMPULAN
Dari hasil uji ketersediaan hayati ini dapat disimpulkan, bahwa tablet AMINOFILIN (Generik) dan strop AMINOFILIN (___) adalah bioekuivalen.
Metode lain untuk perhitungan bioekivalen produk obat.
Cara perhitungan bioekuivalen dengan menggunakan persamaan- persamaan parameter farmakokinetik sbb.:
Persamaan-persamaan Bioavaibilitas
Studi ini berhubunngan dengan pharmako- kinetik caffeine.
Caffein dengan dosis 2.5 mg/kg yang diberikan melalui intra vena dan oral pada kuda dengan berat rata-rata sekitar 500 kg.
Kesimpulan dari beberapa data ditetapkan dari percobaan adalah seperti berikut dibawah ini. Silahkan isi sel yang kosong.
Cefetamet pivoxil merupakan prodrug dari cefetamet.
Studi perbandinngan bioavailibilitas cefetamet pivoxil bentuk tablet dengan bentuk syrup. Kesimpulan dari beberapa data ditetapkan dari percobaan adalah seperti berikut dibawah ini. Selanjutnya isilah sel dengan data yang tepat.
Cefixime merupakan obat golongan cephalosporin berspektrum luas dimana aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Pada studi ini, 16 subjek masing-masing diberikan 200 mg dosis secara intravena dan kemudian 200 mg kapsul dengan Perbedaan waktu pemberian masing-masing dosis. Kesimpulan dari beberapa data yang ditetapkan dari percobaan ini seperti berikut dibawah ini.
Dari data sebelumnya, silahkan hitung tabel berikut :
Ceftibuten merupakan senyawa baru dari cephalosporin oral dengan aktivitas yang potent terhadap enterobacteriaceae dan organisme gram positif tertentu. Dalam studi ini dua grup diberikan berlainan , 400 mg bentuk dosis oral ceftibuten atau 200 mg iv bentuk bolus ceftibuten. Kesimpulan dari beberapa data yang ditetapkan dari percobaan ini seperti berikut dibawah ini.
Dari data sebelumnya, silahkan hitung tabel berikut
Cimetidin merupakan antagonis reseptor histamin dimana dengan treatment pada penyakit gastric dan duodenal ulser.Pada studi ini, pasien diberikan 300 mg cimetidin dalam bentuk iv bolus pada hari pertama dan data yang ada dikumpulkan. Pada hari kedua, pasien diberikan 300 mg cimetidine oral dan data dikumpulkan. Kesimpulan dari beberapa data yang ditetapkan dari percobaan ini seperti berikut dibawah ini.
Pendahuluan
Aminofilin adalah suatu bronkhodilator, digunakan untuk terapi asma dan peyakit paru obstruktif.
Aminofilin merupakan senyawa kompleks teofilin dengan etilendiamin, dengan kandungan teofilin anhidrat bervariasi antara 79-86 %.
Sebagai pedoman, 1,27 g aminofilin setara dengan 1 g teofilin.
Dalam tubuh aminofilin terurai menjadi teofilin.
Dosis teofilin bervariasi tergantung kondisi dan respon pasien, umumnya berkisar antara 10-13 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian.
……..pendahuluan
Teofilin termasuk obat-obat yang mempunyai lingkup terapi (therapeutic range) sempit. Artinya, jarak antar dosis terapatik dan dosis toksis kecil, sehingga efek toksik akan mudah timbul apabila dosis atau kadarnya melewati ambang toksik.
Telah diketahui bahwa pencegahan efek toksik temyata dapat diupayakan dengancara mempertahankan kadamya pada lingkup terapeutik optimal antar 7,5-15 ug/ml.
Kadar diatas 15 ug/ml dapat menimbulkan gejala toksik, beruapa palpitasi, gangguan konsentrasi, aritmia, takhikardi dan agitasi.
Efek samping teofilin yang sering dijumpai adalah sakit kepala, insomnia dan iritasi gastrointestinal.
SIFAT FARMAKOKINETIK
Kelarutan aminofilin lebih besar daripada teofilin, tetapi temyata derajad absorpsinya tidak banyak berbeda.
Setelah pemberian per-oral, obat ini diabsorpsi dengan cepat, sehingga kadang-kadang terjadilonjakan kadar dalam darah yang menimbulkan gejala efek samping.
Pemberian teofilin/aminofilin bersama dengan katekolamin dan simpatomimetik golongan amina harus hati-hati karena dapat memperkuat aksi takhiaritmia.
Teofilin mengalami metabolisme terutama di hepar dan ± 8 % fraksi obat diekskresikan melalui urin dalam bentuk tetap.
UJI KETERSEDIAAN HAYATI
Sukarelawan : penelitian melibatkan 12 sukarelawan laki-laki sehat, berumur 20-31 tahun, dengan berat badan 49-68 kg. Sukarelawan tidakmempunyai riwayat gangguan gastrointestinal, penyakit jantung, hepar maupun ginjal.
Pemeriksaan laboratorik terhadap fungsi ginjal, fungsi hepar, hematologi dan kimia darah menunjukkan hasil yang normal.
Obat uji dan cara pemberian : penelitian ini membandingkan 2 bahan uji, yakni tablet AMINOF1LIN 200 mg (Generik) vs. sirop AMINOFILIN 200 mg/20 ml (____).
Obat uji diberikan sebagai dosis tunggal 200 mg setelah puasa semalam. Obat diminum dengan ± 200 ml air putih.
Analisa kinetik : sampel darah diambil pada jam-jam ke 0, 0.25, 0.5, 1, 1.5, 2, 4, 8, dan 24 jam setelah minum obat uji, untuk kemudian dipisahkan plasmanya.
Analisis kadar teofilin dalam plasma dilakukan dengan High Performance Liquid Chromatography, kemudian parameter ketersediaan hayati (Tmax, Cmax, AUCo" ) dihitung dengan asumsi model satu kompartemen terbuka.
Analisis Statistik : Uji- t-pasangan digunakan untuk membandingkan nilai Tmax, Cmax dan AUCo yang diperoleh setelah pemberian kedua obat uji.
HASIL PENGUJIAN
Nilai ketiga parameter ketersediaan hayati yang diperoleh setelah pemberian tablet AMINOFILIN (Generik) maupun strop AMINOFILIN (_____) temyata praktis sama.
'Nilai Tmax tablet AMINOFILIN dijumpai sedikit lebih besar, yakni 1,7±0,1 jam vs 1,6±0,1 jam, namun hal ini bisa dimengerti karena pembandingnya berupa sediaan cair.
Telah diketahui, bahwa disolusi obat dalam sediaan cair lebih cepat bila dibandingkan sediaan padat. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik.
Nilai Cmax maupun AUCo, yang menunjukkan derajad ketersediaan hayati juga praktis sama antara kedua sediaan, yaitu berturut-turut 2,8±0,0 vs 2,8±0,0 ug/ml dan 33,4±1,4 vs 34,9±1,4 ug/ml.jam.
Waktu paruh eliminasi (Tl/2) kedua sediaan praktis sama, yakni 5,8±0,2 jam dan 5,8±0,1 jam.
Tabel. Nilai parameter ketersediaan hayati teofilin setelah pemberiaan dosis tunggal 200mg AMINOFILIN tablet (Genetik) dan AMINOFILIN sirop (_____) pada 12 sukarelawan laki-laki sehat (maan±SEM).
Obat Uji Tmax Cmax AUC
(jam) (ug/ml) (ug/ml.jam)
AMINOFILIN 1,7±0,1 2,8 ±0,0 33,4 ±1,4
(Generik)
AMINOFILIN 1,6±0,1 2,8 ±0,0 34,9 ±1,4
Uji t-pasangan, p>0,05
Dari kurva kadar teofilin vs waktu berikut ini, dapat dilihat bahwa pada fase absorpsi, profil kedua obat uji praktis sama.
Kemudian penurunan kadar pada fase eleminasi juga nampak identik. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kecepatan eleminasi antara kedua obat yang dibandingkan.
Dengan melihat bahwa sediaan tablet Aminofilin Generik mempunyai kecepatan dan ketersediaan hayati yang sama dengan sediaan pembandingnya, maka dapat dikatakan bahwa sediaan Aminofilin generik ini mempunyai ketersediaan hayati yang sangat baik.
Kurva kadar teofilin plasma Vs waktu.
KESIMPULAN
Dari hasil uji ketersediaan hayati ini dapat disimpulkan, bahwa tablet AMINOFILIN (Generik) dan strop AMINOFILIN (___) adalah bioekuivalen.
Metode lain untuk perhitungan bioekivalen produk obat.
Cara perhitungan bioekuivalen dengan menggunakan persamaan- persamaan parameter farmakokinetik sbb.:
Persamaan-persamaan Bioavaibilitas
Studi ini berhubunngan dengan pharmako- kinetik caffeine.
Caffein dengan dosis 2.5 mg/kg yang diberikan melalui intra vena dan oral pada kuda dengan berat rata-rata sekitar 500 kg.
Kesimpulan dari beberapa data ditetapkan dari percobaan adalah seperti berikut dibawah ini. Silahkan isi sel yang kosong.
Cefetamet pivoxil merupakan prodrug dari cefetamet.
Studi perbandinngan bioavailibilitas cefetamet pivoxil bentuk tablet dengan bentuk syrup. Kesimpulan dari beberapa data ditetapkan dari percobaan adalah seperti berikut dibawah ini. Selanjutnya isilah sel dengan data yang tepat.
Cefixime merupakan obat golongan cephalosporin berspektrum luas dimana aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Pada studi ini, 16 subjek masing-masing diberikan 200 mg dosis secara intravena dan kemudian 200 mg kapsul dengan Perbedaan waktu pemberian masing-masing dosis. Kesimpulan dari beberapa data yang ditetapkan dari percobaan ini seperti berikut dibawah ini.
Dari data sebelumnya, silahkan hitung tabel berikut :
Ceftibuten merupakan senyawa baru dari cephalosporin oral dengan aktivitas yang potent terhadap enterobacteriaceae dan organisme gram positif tertentu. Dalam studi ini dua grup diberikan berlainan , 400 mg bentuk dosis oral ceftibuten atau 200 mg iv bentuk bolus ceftibuten. Kesimpulan dari beberapa data yang ditetapkan dari percobaan ini seperti berikut dibawah ini.
Dari data sebelumnya, silahkan hitung tabel berikut
Cimetidin merupakan antagonis reseptor histamin dimana dengan treatment pada penyakit gastric dan duodenal ulser.Pada studi ini, pasien diberikan 300 mg cimetidin dalam bentuk iv bolus pada hari pertama dan data yang ada dikumpulkan. Pada hari kedua, pasien diberikan 300 mg cimetidine oral dan data dikumpulkan. Kesimpulan dari beberapa data yang ditetapkan dari percobaan ini seperti berikut dibawah ini.
PEDOMAN UJI BIOEKIVALENSI
PEDOMAN UJI BIOEKIVALENSI
1. PENDAHULUAN
2. TUJUAN
2.1. Umum
2.2. Khusus
3. DEFINISI
3.1. Bioavailabilitas (ketersediaan hayati)
3.2. Ekivalensi farmaseutik
3.3. Alternatif farmaseutik
3.4. Bioekivalensi
3.5. Ekivalensi terapeutik
3.6. Produk obat pembanding (reference product)
3.7. Produk obat “copy”
4. KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI
4.1. Produk obat yang memerlukan uji ekivalensi in vivo
4.2. Produk obat yang cukup dilakukan uji ekivalensi in vitro (uji disolasi terbanding)
4.3. Produk obat yang tidak memerlukan uji ekivalensi
5. DESAIN DAN PELAKSANAAN STUDI BIOEKIVALENSI
5.1. Kaji Etik
5.2. Desain
5.3. Subyek
5.4. Produk obat uji (Test product)
5.5. Dosis obat uji
5.6. Uji disolusi in vitro
5.7. Pengambilan sampel darah
5.8. Pengambilan sampel urin (untuk kasus-kasus tertentu)
5.9. Kadar yang diukur
5.10. Metode bioanalitik
5.11. Parameter bioavalabilitas
5.12. Analisis data
5.13. Variasi
5.14. Suprabioavailabilitas
6. PRODUK YANG MENGANDUNG ZAT KIMIA BARU
6.1. Bioavailabilitas
6.2. Bioekivalensi
7. LAPORAN HASIL STUDI
1. PENDAHULUAN
Badan Pengawas Obat dan Makanan berkewajiban untuk menilai semua produk obat sebelum dipasarkan, memberikan izin pemasaran, dan selanjutnya melakukan pengawasan terhadap produk obat tersebut setelah dipasarkan untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa produk obat tersebut memenuhi standar efikasi, keamanan dan mutu yang dibutuhkan.
Untuk produk obat yang mengandung zat aktif berupa zat kimia baru (new chemical entity = NCE) dibutuhkan penilaian mengenai efikasi, keamanan dan mutu secara lengkap. NCE ini yang dipatenkan oleh pabrik penemunya disebut juga obat inovator.
Sedangkan untuk produk obat yang merupakan produk “copy” hanya dibutuhkan standar mutu yang antara lain berupa bioekivalensi dengan produk obat inovator sebagai produk pembanding (reference product) yang merupakan baku mutu.
2.1. Umum
Untuk menjamin efikasi, keamanan dan mutu produk obat yang beredar.
2.2. Khusus
1. Untuk menjamin produk obat “copy” yang akan mendapat izin edar bioekivalen dengan produk obat inovatornya.
2. Untuk menentukan bioavailabilitas absolut dan relatif suatu zat kimia baru, serta bioekivalensi zat tersebut dalam formulasi untuk uji klinik dan dalam produk yang akan dipasarkan.
3.1. Bioavailabilitas (ketersediaan hayati)
Persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin.
Bioavailabilitas absolut : bila dibandingkan dengan sediaan intravena yang bioavailabilitasnya 100%.
Bioavailabilitas relatif : bila dibandingkan dengan sediaan bukan intravena.
3.2. Ekivalensi farmaseutik
Dua produk obat mempunyai ekivalensi farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk sediaan yang sama.
3.3. Alternatif farmaseutik
Dua produk obat merupakan alternatif farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester, dsb.) atau bentuk sediaan atau kekuatan.
3.4. Bioekivalensi
Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan.
Jika bioavailabilitasnya tidak memenuhi kriteria bioekivalen (lihat butir 5.12.2 hal. 18) maka kedua produk obat tersebut disebut bioinekivalen.
3.5. Ekivalensi terapeutik
Dua produk obat mempunyai ekivalensi terapeutik jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan efikasi klinik dan keamanan yang sebanding.
Dengan demikian, ekivalensi/inekivalensi terapeutik seharusnya ditunjukkan dengan uji klinik.
Akan tetapi, untuk produk obat yang bekerja sistemik,uji klinik mempunyai kendala berikut :
- pada penyakit ringan tidak terlihat, pada penyakit berat tidak etis
- endpoint yang diukur seringkali kurang akurat sehingga variabilitasnya besar sekali, dengan akibat dibutuhkan sampel yang besar
- sebagai uji klinik untuk menunjukkan ekivalensi dibutuhkan sampel yang besar sekali
Oleh karena itu, sebagai alternatif dilakukan uji bioekivalensi yang endpointnya sangat akurat (yakni kadar obat dalam plasma) sehingga variabilitasnya rendah, dan dengan demikian sampel yang dibutuhkan jauh lebih kecil.
Jika terdapat perbedaan yang bermakna secara klinik dalam bioavailabilitasnya, maka kedua produk obat tersebut dinyatakan inekivalen secara terapeutik (inekivalensi terapeutik).
3.6. Produk obat pembanding (reference product)
Produk obat inovator yang telah diberi izin pemasaran di Indonesia berdasarkan penilaian dossier lengkap yang membuktikan efikasi, keamanan dan mutu.
Hanya jika produk obat inovator tidak dipasarkan di Indonesia atau tidak lagi dikenali yang mana karena sudah terlalu lama beredar di pasar, maka dapat digunakan produk obat inovator dari primary market (negara di mana produsennya menganggap bahwa efikasi, keamanan dan kualitas produkny terdokumentasi paling baik) atau produk yang merupakan market leader yang telah diberi izin pemasaran di Indonesia dan telah lolos penilaian efikasi, keamanan dan mutu.
Produk obat pembanding yang akan digunakan harus disetujui oleh Badan POM.
3.7. Produk obat “copy”
Produk obat yang mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dengan produk obat inovator/pembandingnya, dapat dipasarkan dengan nama generik atau dengan nama dagang.
4. KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI
4.1. Produk obat yang memerlukan uji ekivalensi in vivo
4.1.1. Produk obat oral lepas cepat yang bekerja sistemik, jika memenuhi satu atau lebih kriteria berikut ini :
a. batas keamanan/indeks terapi yang sempit, misalnya digoksin, anti-aritmia, antikoagulan, obat-obat sitostatik, fenitoin, litium, hipoglikemik oral, siklosporin,teofilin.
b. diindikasikan untuk kondisi yang serius yang memerlukan respons terapi yang pasti, misalnya antituberkulosis, antibakteri, antiaritmia, obat gagal jantung,antiangina, antiepilepsi, antiasma, antimalaria, antiretroviral, antihipertensi.
c. absorpsi bervariasi atau tidak lengkap, mis. tetrasiklin
d. farmakokinetik nonlinear, mis. difenilhidantoin.
e. eliminasi presistemik yang tinggi (> 70%), mis. nitrat organik, felodipin, verapamil.
4.1.1. Produk obat oral lepas cepat yang bekerja sistemik, jika memenuhi satu atau lebih kriteria berikut ini
f. sifat-sifat fisikokimia yang tidak menguntungkan, misalnya :
- kelarutan rendah, mis. glukokortikoid, hormon seks steroid
- tidak stabil, mis. nifedipin
g. terbukti ada masalah bioavailabilitas dengan :
- obat yang bersangkutan, mis. digoksin, eritromisin
- obat-obat dengan struktur kimia yang sama, mis. steroid
- obat-obat dengan formulasi yang sama
h. ada kecurigaan pada bahan baku yang tidak dapat ditemukan dengan uji disolusi in vitro
i. kadar dalam sediaan kecil dibandingkan eksipiennya, mis. hormon (kontrasepsioral)
4.1.2. Produk obat non-oral dan non-parenteral yang didesain untuk bekerja sistemik, misal :
- sediaan transdermal (nitrat organik, hormon)
- supositoria (teofilin)
4.1.3. Produk obat lepas lambat atau termodifikasi yang bekerja sistemik, misal :
diklofenakSR, nifedipin oros, felodipin ER.
4.1.4. Produk kombinasi tetap yang bekerja sistemik, khususnya:
kombinasi rifampisin +isoniazid, pirazinamid, dll (yang diukur rifampisin), levodopa + karbidopa, etinilestradiol + levonorgestrel, etinilestradiol + noretisteron.
4.1.5. Produk obat bukan larutan untuk penggunaan non-sistemik (oral, nasal, okular,
dermal, rektal, vaginal, dsb.) dan dimaksudkan untuk bekerja lokal (tidak untuk
diabsorpsi sistemik). Untuk produk demikian tidak dapat dilakukan uji bioekivalensi,
maka ekivalensi harus ditunjukkan dengan studi klinik atau farmakodinamik
komparatif. Pengukuran kadar obat dalam darah tetap diperlukan untuk melihat
adanya absorpsi yang tidak diinginkan.
4.2. Produk obat yang cukup dilakukan uji ekivalensi in vitro (uji disolusi terbanding)
4.2.1. Produk obat yang tidak termasuk butir 4.1.
4.2.2. Produk obat “copy” yang hanya berbeda kekuatan, yang diproduksi oleh pabrik obat yang sama di tempat produksi yang sama, jika :
a. komposisi kualitatifnya sama.
b. rasio antara zat aktif dan zat-zat tambahannya sama, atau untuk kadar zat aktif yang rendah (< 5%), rasio antara zat-zat tambahannya sama.
c. uji bioekivalensi telah dilakukan sedikitnya pada salah satu kekuatan (biasanya kekuatan yang tertinggi, kecuali untuk alasan keamanan dipilih kekuatan yang lebih rendah).
d. farmakokinetiknya linear pada kisaran dosis terapi.
4.2.3. Produk obat dengan perubahan kecil (minor) dalam formulasi atau pembuat-annya yang dilakukan setelah diberi izin pemasaran.
4.3. Produk obat yang tidak memerlukan uji ekivalensi
4.3.1. Produk obat “copy” untuk penggunaan parenteral (mis. intravena, intramuskular, subkutan, intratekal) sebagai larutan dalam air dan mengandung zat aktif yang sama dalam kadar yang sama dan zat-zat tambahan yang sama dalam kadar yang sebanding.
4.3.2. Produk obat “copy” berupa larutan untuk penggunaan oral, yang mengandung zat aktif dalam kadar yang sama, dan tidak mengandung zat tambahan yang diketahui atau diperkirakan akan mempengaruhi transit dalam saluran cerna atau absorpsi zat aktif.
4.3.3. Produk obat “copy” berupa gas.
4.3.4. Produk obat “copy” berupa bubuk untuk dilarutkan dan sebagai larutan memenuhi kriteria 4.3.1 atau 4.3.2 tersebut di atas.
4.3.5. Produk obat “copy” berupa sediaan obat mata atau telinga sebagai larutan dalam air dan mengandung zat(-zat) aktif yang sama dalam kadar yang sama dan zat-zat tambahan yang praktis sama dalam kadar yang sebanding.
4.3.6. Produk obat “copy” berupa sediaan obat topikal sebagai larutan dalam air dan mengandung zat(-zat) aktif yang sama dalam kadar yang sama dan zat-zat tambahan yang praktis sama dalam kadar yang sebanding.
4.3.7. Produk obat “copy” berupa sediaan obat inhalasi atau semprot hidung, yang digunakan dengan atau tanpa alat yang praktis sama, sebagai larutan dalam air dan mengandung zat(-zat) aktif yang sama dalam kadar yang sama dan zat-zat tambahan yang praktis sama dalam kadar yang sebanding.
Uji in vitro khusus diperlukan untuk membuktikan bahwa alat yang digunakan untuk produk obat inhalasi mempunyai daya guna yang sebanding dengan produk obat inovator/ pembandingnya.
Untuk ketentuan 4.3.5, 4.3.6 atau 4.3.7 tersebut diatas, pemohon harus menunjukkan bahwa zat-zat tambahan dalam produk “copy” nya praktis sama dan dalam kadar yang sebanding dengan produk pembandingnya.
Jika informasi mengenai produk pembanding ini tidak dapat diberikan oleh pemohon dan Badan Pengawas Obat tidak memiliki data ini, studi bioekivalensi harus dilakukan.
5. DESAIN DAN PELAKSANAAN STUDI BIOEKIVALENSI
Studi bioekivalensi (BE) adalah studi bioavailabilitas (BA) komparatif yang dirancang untuk menunjukkan bioekivalensi antara produk uji (suatu produk obat“copy”) dengan produk obat inovator / pembandingnya.
Caranya dengan membandingkan profil kadar obat dalam darah atau urin antara produk-produk obat yang dibandingkan pada subyek manusia.
Karena itu desain dan pelaksanaan studi BE harus mengikuti Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB), termasuk harus lolos Kaji Etik.
5.1. Kaji Etik
Oleh karena studi BA / BE dilakukan pada subyek manusia (suatu uji klinik) maka protokol studi harus lolos Kaji Etik terlebih dahulu sebelum studi dapat dimulai.
5.2. Desain
Studi biasanya dilakukan pada subyek yang sama (dengan desain menyilang) untuk menghilangkan variasi biologik antar subyek (karena setiap subyek menjadi kontrolnya sendiri), hal ini sangat memperkecil jumlah subyek yang dibutuhkan.
Jadi untuk membandingkan 2 produk obat, dilakukan studi menyilang 2-way (2 periode untuk pemberian 2 produk obat pada setiap subyek).
5.2. Desain
Pemberian produk obat yang pertama harus dilakukan secara acak agar efek urutan (order effect) maupun efek waktu (period effect), bila ada, dibuat seimbang.
Kedua perlakuan dipisahkan oleh periode washout yang cukup untuk eliminasi produk obat yang pertama diberikan (biasanya lebih dari 5 x waktu paruh eliminasi
yang dominan dan/atau waktu paruh terminal dari obat, atau lebih lama jika mempunyai metabolit aktif dengan waktu paruh yang lebih panjang.
Karena itu, untuk obat dengan waktu paruh yang panjang, dapat dipertimbangkan penggunaan desain 2 kelompok paralel.
5.2. Desain
Pada umumnya, studi dosis tunggal sudah cukup, tetapi studi dalam keadaan tunak (steady-state) mungkin diperlukan untuk :
- obat dengan kinetik yang non-linear (eliminasinya bergantung pada dosis atau mengalami kejenuhan pada dosis terapi), mis. difenilhidantoin, fluoksetin, paroksetin.
- obat dengan kinetik yang bergantung pada waktu pemberian obat (kronofarmakologi), mis. kortikosteroid, siklosporin, teofilin
- beberapa bentuk sediaan lepas lambat / terkendali (studi dosis tunggal lebih sensitif untuk menjawab pertanyaan utama BE, yakni penglepasan zat aktif dari produk obat ke dalam sirkulasi sistemik, karena itu studi keadaan tunak umumnya tidak dianjurkan oleh FDA, bahkan jika kinetiknya nonlinear sekalipun).
5.2. Desain
• dapat dipertimbangkan untuk :
- obat dengan kadar plasma atau kecepatan eliminasi intra-subyek yang sangat bervariasi sehingga tidak memungkinkan untuk menunjukkan bioekivalensi dengan studi dosis tunggal, sekalipun pada jumlah subyek yang cukup banyak, dan variasi ini berkurang pada keadaan tunak.
- obat yang metode penetapan kadarnya dalam plasma tidak cukup sensitif untuk mengukur kadarnya dalam plasma pada pemberian dosis tunggal (sebagai alternatif dari penggunaan metode penetapan kadar yang lebih sensitif), mis. loratadin.
Pada studi keadaan tunak, jadwal pemberian obat harus mengikuti aturan dosis lazim yang dianjurkan. Pada studi ini, menurunnya kadar obat yang pertama terjadi bersamaan dengan meningkatnya kadar obat yang kedua, sehingga periode washout dapat diperpendek menjadi sedikitnya 3 x waktu paruh eliminasi obat.
5.3. Subyek
5.3.1. Kriteria seleksi
Kriteria inklusi dan eksklusi harus dinyatakan dengan jelas dalam protokol :
- Sukarelawan sehat (untuk mengurangi variasi antar subyek)
- Sedapat mungkin pria dan wanita (jika wanita, pertimbangkan risiko pada wanita usia subur)
- Umur antara 18 – 55 tahun BB (kg)
- Berat badan dalam kisaran normal
(IMT = = 18 - 25)
TB2 (m)
5.3.1. Kriteria seleksi
- Kriteria sehat berdasarkan uji laboratorium klinis yang baku (hematologi rutin, fungsi hati, fungsi ginjal, gula darah, dan urinalisis), riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik.
- Pemeriksaan khusus mungkin harus dilakukan sebelum, selama dan setelah studi selesai, bergantung pada kelas terapi dan profil keamanan obat yang diteliti. Misalnya, untuk obat dari kelas fluorokuinolon yang diketahui dapat memperpanjang interval QT, harus dilakukan pemeriksaan EKG.
- Sebaiknya bukan perokok. Jika perokok sedang (kurang dari 10 batang sehari) diikutsertakan, harus disebutkan dan efeknya pada hasil studi harus didiskusikan.
- Tidak mempunyai riwayat ketergantungan pada alkohol atau penyalah gunaan obat.
- Tidak kontraindikasi atau hipersensitif terhadap obat yang diuji.
- Untuk obat yang terlalu toksik untuk diberikan kepada sukarelawan sehat (mis. sitostatik, antiaritmia), maka digunakan penderita dengan indikasi yang sesuai.
- Uji serologis terhadap Hepatitis B (HBsAg), Hepatitis C (anti-HCV) dan HIV (anti-HIV) optional.
5.3.2. Jumlah subyek
Jumlah subyek yang dibutuhkan dihitung berdasarkan parameter bio-availabilitas yang utama, yakni AUC atau luas area di bawah kurva kadar obat dalam darah terhadap waktu, yang menunjukkan jumlah obat yang masuk peredaran darah sistemik.
Untuk desain menyilang 2-way, jumlah subyek yang dibutuhkan ditentukan oleh :
a) perbedaan nilai rata-rata AUC antara produk uji (test = T) dan produk pembanding (reference = R) yang sesuai dengan kriteria bioekivalen, yakni rasio nilai rata-rata geometrik (AUC)T / (AUC)R = 1.00 dengan 90% CI = 0.80 – 1.25 (lihat butir 5.12.2 hal. 18).
5.3.2. Jumlah subyek
b) batas kemaknaan α, diambil 5% (2-arah).
c) power, yakni probabilitas untuk menerima bioekivalensi dengan benar, diambil 90% (1 arah).
d) koefisien variasi (coefficient of variation = CV) intrasubyek dari AUC obat yang diteliti.
Dengan ketentuan a), b) dan c) tersebut diatas, maka jumlah subyek tergantung dari CV intrasubyek sbb. (umumnya, CV intrasubyek < 20) :
5.3.2. Jumlah subyek
CV intrasubyek (%)* Jumlah subyek
15.0 12
17.5 16
20.0 20
22.5 24
25.0 28
27.5 34
30.0 40
* CV2 = varians residual pada ANOVA untuk desain menyilang 2-way (lihat butir 5.12.1 hal. 17)
Jumlah subyek minimal adalah 12 orang, kecuali dalam kondisi khusus yang perlu penjelasan. Pada umumnya dibutuhkan 18 – 24 subyek.
• Kemungkinan dropouts dan withdrawals harus diperhitungkan.
Ada 2 cara (sebutkan cara yang dipilih dalam protokol) :
1. tambahkan sejumlah tertentu subyek (satu atau dua untuk setiap urutan) kepada jumlah subyek yang telah dihitung
2. tambahkan sejumlah tertentu subyek ke dalam studi.
Hanya jika ada subyek yang dropout maka sampel darah subyek tambahan tersebut diukur kadar obatnya. Withdrawal yang terjadi setelah kadar obatnya diukur, maka hasilnya harus dilaporkan.
5.3.3. Standardisasi kondisi studi
Kondisi studi harus dibakukan (untuk mengurangi variabilitas berbagai faktor yang terlibat kecuali produk yang diuji) :
- Lama puasa pada malam sebelum pemberian produk, biasanya 12 jam. Untuk studi keadaan tunak, puasa hanya diperlukan pada malam terakhir sebelum pengambilan darah keesokan harinya.
- Jika produk pembanding diberikan bersama makanan, maka makanan standar, harus diberikan pada jarak waktu yang ditentukan sebelum pemberian produk.
- Volume air yang diminum bersama produk harus konstan (antara 150 - 200 ml) karena dapat mempengaruhi pengosongan lambung.
- Semua makanan dan minuman yang dikonsumsi setelah pemberian produk harus dibakukan komposisi dan waktu pemberiannya selama periode pengambilan sampel darah.
• Air boleh diminum kapan saja kecuali 1 jam sebelum dan sesudah pemberian produk
• Makanan standar diberikan tidak kurang dari 4 jam setelah pemberian produk
- Subyek tidak boleh makan obat lain apapun selama beberapa waktu sebelum penelitian (minimal 1 minggu) dan selama penelitian
- Subyek tidak boleh mengkonsumsi makanan dan minuman yang dapat berinteraksi dengan fungsi sirkulasi, saluran cerna, hati atau ginjal (mis. merokok, minum alkohol, kopi, teh, kola, coklat atau jus buah) selama 24 jam sebelum penelitian dan selama periode pengambilan sampel darah.
- Posisi tubuh dan aktivitas fisik juga harus distandardisir sepanjang hari penelitian karena akan mempengaruhi waktu transit dalam saluran cerna dan aliran darah usus.
5.3.4. Genetic phenotyping
Phenotyping subyek harus dilakukan untuk obat-obat yang diketahui dipengaruhi oleh polimorfisme genetik. Dosis harus disesuaikan pada subyek yang bersangkutan:
- untuk alasan keamanan pada studi menyilang maupun studi paralel
- untuk menghindari terjadinya bias/variasi pada studi paralel
5.4. Produk obat uji (Test product)
Produk obat uji yang digunakan dalam studi BE harus dibuat sesuai dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), dan catatan batchnya harus dilaporkan.
Produk uji yang digunakan dalam studi BE untuk tujuan registrasi harus identik dengan produk obat yang akan dipasarkan. Karena itu, tidak hanya komposisi dan sifat-sifatnya (termasuk stabilitas), tetapi juga cara produksinya harus sama dengan cara produksi rutin yang akan datang.
5.4. Produk obat uji (Test product)
Idealnya, produk uji harus diambil dari batch skala industri. Jika ini tidak mungkin, batch produksi berskala kecil atau pilot batch dapat digunakan asalkan tidak lebih kecil dari 10 % batch skala industri atau 100.000 unit (pilih yang besar), kecuali jika ada alasan khusus.
Sponsor harus menyimpan sampel dari semua produk yang diteliti dalam studi (dalam jumlah yang cukup) selama 2 tahun setelah selesainya studi atau 1 tahun lebih lama dari masa pakai (shelf-life) produk atau sampai keluarnya izin edar (mana yang lebih lama) agar dapat dilakukan pemeriksaan ulang jika diminta oleh Badan POM.
5.5. Dosis obat uji
Dosis obat uji dapat berupa :
- satu unit bentuk sediaan dengan kekuatan yang tertinggi
- jika perlu untuk alasan analitik, dapat digunakan beberapa unit dengan kekuatan tertinggi, asalkan total dosis tunggal ini masih dalam kisaran dosis yang dianjurkan.
5.6. Uji disolusi in vitro
Sebelum dilakukan studi BE, uji disolusi in vitro dengan batch produk obat uji dan pembanding yang akan digunakan pada studi BE harus dilakukan.
Hasilnya harus dilaporkan sebagai profil persen obat yang terlarut terhadap waktu. Nomor batch kedua produk harus dicantumkan, demikian juga tanggal kadaluarsa produk pembanding.
Kandungan zat aktif antara kedua produk tidak boleh berbeda lebih dari 5 %.
Jika potensi produk pembanding menyimpang > 5 % dari kandungan 100% yang tercantum dalam label, perbedaan ini dapat digunakan kemudian untuk koreksi dosis pada perhitungan parameter bioavailabilitas pada studi BE.
5.7. Pengambilan sampel darah
- Dalam keadaan normal harus digunakan sampel darah, meskipun sampel urin juga dapat digunakan.
- Biasanya kadar obat atau metabolit diukur dalam serum atau plasma. Dalam keadaan tertentu, kadar obat diukur dalam darah (mis. sulfa).
- Sampel darah harus diambil pada waktu-waktu tertentu sehingga dapat menggambarkan fase-fase absorpsi, distribusi, dan eliminasi obat.
- Untuk kebanyakan obat diperlukan 12 – 18 sampel darah, yakni :
• 1 sampel sebelum obat : pada waktu nol ( t0 )
• 2-3 sampel sebelum kadar maksimal (Cmax)
• 4-6 sampel sekitar Cmax
• 5-8 sampel setelah Cmax, sampai sedikitnya 3 atau lebih waktu paruh eliminasi obat dalam plasma (> 3 x t½)
Dengan demikian akan diperoleh AUC (luas area di bawah kurva kadar obat terhadap waktu) sedikitnya 80 % dari AUC yang diekstrapolasi ke tidak terhingga (∞)
- Estimasi waktu paruh eliminasi harus diperoleh dari sedikitnya 3 – 4 sampel selama fase log linear terminal
- Untuk obat atau metabolit aktifnya yang mempunyai waktu paruh eliminasi (t½) sangat panjang, sampel darah harus diambil sampai sedikitnya 72 jam jika variabilitas intra-subyek kecil, atau lebih lama jika variabilitas intra-subyek besar.
- Pada studi keadaan tunak, untuk obat dengan kronofarmakologi, jika ritme sirkadian diketahui mempengaruhi bioavailabilitas, maka sampel darah harus diambil selama 1 siklus 24 jam penuh.
5.8. Pengambilan sampel urin (untuk kasus-kasus tertentu)
- Sampel urin hanya digunakan jika kadar obat dalam darah terlalu kecil untuk dapat dideteksi dan eliminasi obat dalam bentuk utuh melalui ginjal cukup besar (> 40%).
Urin dikumpulkan di tempat studi secara periodik sampai sedikitnya 3 x waktu paruh eliminasi obat (3 x t½).
Untuk studi selama 24 jam, waktu sampling biasanya 0-2, 2-4, 4-8, 8-12 dan 12-24 jam.
Volume urin setiap interval waktu tersebut harus diukur dan dilaporkan.
- Dibuat kurva jumlah obat kumulatif yang diekskresi dalam urin terhadap waktu.
5.9. Kadar yang diukur
Kadar yang diukur dalam plasma/serum biasanya senyawa induk.
Jika hal ini tidak mungkin (karena kadarnya terlalu rendah, atau tidak stabil dalam matriks biologik, atau waktu paruhnya terlalu pendek), maka dalam hal ini diukur metabolit utamanya.
- Pengukuran kadar hasil biotransformasi harus dilakukan jika senyawa induknya berupa prodrug.
- Jika dihasilkan metabolit aktif yang memberikan kontribusi yang bermakna terhadap aktivitas obat secara keseluruhan dan farmakokinetiknya tidak linear, maka kadar keduanya harus diukur, baik senyawa induk maupun metabolit aktifnya, dan dievaluasi secara terpisah.
5.9. Kadar yang diukur
Untuk produk obat berupa zat chiral, pengukuran kadar harus dilakukan dengan metode bioanalitik yang selektif untuk enansiomer, kecuali jika
(1) kedua produk mengandung satu enansiomer stabil yang sama; (2) kedua produk mengandung rasemat dan kedua enansiomer mempunyai farmakokinetik yang linear.
Untuk produk obat yang mengandung banyak zat berefikasi, kuantifikasi semua zat berefikasi tidak diperlukan, cukup beberapa zat yang dapat menunjukkan jumlah dan kecepatan absorpsi. Pemilihan marker ini perlu ditentukan untuk setiap kasus.
Jika pendekatan farmakokinetik in vivo tidak dapat dilakukan, lakukan cara in vitro, jika inipun tidak dapat, terpaksa dilakukan cara farmakodinamik atau klinik.
5.10. Metode bioanalitik
Bagian bioanalitik dari studi BE harus dilaksanakan dengan mengikuti prinsip-prinsip Good Laboratory Practice (GLP).
Metode bioanalitik yang digunakan untuk menetapkan kadar obat dan metabolitnya dalam plasma / serum, darah atau urin harus memenuhi persyaratan
(1) stabilitas dalam sampel biologik pada kondisi analisis dan selama waktu penyimpanan,
(2) spesifisitas untuk obat yang diteliti, sehingga hasilnya valid (sahih) dan dapat dipercaya,
(3) akurasi (ketepatan),
(4) limit of quantification (LOQ),
(5) presisi (ketelitian), dan
(6) fungsi respons.
Metode yang digunakan umumnya cara kimiawi, kecuali untuk antibakteri dapat digunakan cara mikrobiologis.
Kurva kalibrasi harus dibuat untuk setiap zat yang harus diukur setiap kali dilakukan pengukuran kadar dalam sampel.
Validasi metode proses dan penanganan sampel biologik juga diperlukan
Metode yang digunakan harus dijelaskan, divalidasi dan didokumentasi.
Hasil validasi harus dilaporkan, antara lain :
- validasi sebelum dan selama studi
- kisaran kalibrasi harus sesuai dengan kadar dalam sampel
- jika ada modifikasi metode sebelum dan selama analisis sampel, makadiperlukan revalidasi dan harus dilaporkan
- jika penetapan kadar akan digunakan di tempat lain, harus divalidasi di setiap tempat dan dilakukan perbandingan antar tempat.
- penetapan kadar yang tidak digunakan secara teratur perlu revalidasi yang cukup untuk menunjukkan bahwa hasilnya sesuai dengan validasi pada awalnya.
Studi revalidasi harus didokumentasi sebagai lampiran.
- dalam 1 studi, penggunaan 2 atau lebih metode untuk mengukur sampel dalam matriks biologik yang sama dan dalam kisaran kalibrasi yang sama, sangat tidak dianjurkan.
- jika studi yang berbeda akan dibandingkan sedangkan sampel dari studi yang berbeda tersebut diukur dengan metode yang berbeda, dan metode yang berbeda tersebut mencakup kisaran dosis yang sama dan matriks biologik yang sama, maka metode yang berbeda tersebut harus divalidasi silang.
Validasi metode bioanalitik harus dilakukan sesuai dengan pedoman validasi metode bioanalitik dari US FDA untuk industri.
5.11. Parameter bioavailabilitas
Pada studi bioavailablitas (BA), bentuk dan luas area di bawah kurva kadar plasma terhadap waktu, serta profil ekskresi ginjal kumulatif dan kecepatan ekskresi digunakan untuk menilai jumlah dan kecepatan absorpsi.
5.11.1. Parameter bioavailabilitas dari sampel darah
a. Untuk studi dosis tunggal
- AUCt = Area di bawah kurva kadar obat (atau metabolit) dalam plasma (atau serum atau darah) terhadap waktu dari waktu 0 sampai waktu terakhir kadar obat diukur –- dihitung secara trapezoidal.
- AUC∞ = AUC dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga = AUCt + Ct / ke ~ menggambarkan jumlah obat yang bioavailabel
- Cmax = kadar puncak (maksimal) obat (atau metabolit) dalam plasma (atau serum atau darah) yang teramati.
- tmax = waktu sejak pemberian obat sampai dicapai Cmax
- t½ = waktu paruh obat (atau metabolit) dalam plasma (atau serum atau darah)
AUC∞ dan Cmax merupakan parameter yang paling relevan untuk penilaian BE.
AUCt paling dapat dipercaya untuk menggambarkan besarnya absorpsi (jumlah obat yang bioavailabel).
b. Untuk studi kadar tunak
- AUCτ = AUC selama satu interval dosis (τ) pada keadaan tunak
- Cmin = kadar minimal obat (atau metabolit) dalam plasma (atau serum atau darah), yakni kadar pada akhir interval dosis
- Cmax = kadar maksimal obat dalam plasma yang teramati
- Cav = kadar rata-rata selama satu interval dosis
- Fluktuasi = (Cmax – Cmin) / Cav
- Swing = (Cmax – Cmin) / Cmin
5.11.2. Parameter bioavailabilitas dari sampel urin
a. Untuk studi dosis tunggal
- Aet = jumlah kumulatif obat utuh (atau metabolit) yang dikeluarkan atau ditemukan dalam urin dari waktu 0 sampai waktu terakhir kadar diukur
- Ae∞ = Ae dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga, diperoleh dengan cara ekstrapolasi = jumlah obat maksimal yang diekskresi dalam urin ~ sebanding dengan jumlah obat yang bioavailabel
- dAe/dt = kecepatan ekskresi obat dalam urin
- (dAe/dt)max = kecepatan maksimal ekskresi obat dalam urin ~ terjadi pada waktu tmax (plasma) dan besarnya sebanding dengan Cmax (plasma), sehingga besarnya bergantung pada jumlah dan kecepatan absorpsi.
Ae∞ dan (dAe/dt)max merupakan parameter yang paling relevan untuk penilaian BE.
Aet paling dapat dipercaya untuk menggambarkan besarnya absorpsi (jumlah obat yang bioavailabel).
b. Untuk studi kadar tunak
- Aeτ = Ae selama satu interval dosis (τ) pada keadaan tunak.
5.12. Analisis data
Tujuan utama penilaian bioekivalensi adalah untuk menghitung perbedaan bioavailabilitas antara produk uji dan produk pembanding, dan untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna secara klinik.
Jika pada t0 ditemukan obat dengan kadar < 5 % Cmax maka data dari subyek ini dapat dimasukkan dalam analisis tanpa penyesuaian.
Tetapi jika C0 ini > 5 % Cmax, maka subyek ini harus dikeluarkan dari analisis.
Jika subyek muntah pada atau sebelum 2 x median tmax pada studi BE untuk produk lepas cepat, maka data subyek ini harus dikeluarkan dari analisis.
Pada studi BE untuk produk lepas lambat, data subyek yang muntah kapan saja harus dikeluarkan.
Observasi yang merupakan outliers tidak boleh dibuang jika tidak ada alasan yang kuat bahwa telah terjadi kesalahan teknis.
Analisis data harus dilakukan dengan dan tanpa nilai-nilai tersebut dan harus dikaji dampaknya terhadap kesimpulan studi.
Harus dicari penjelasan medis atau farmakokinetik untuk observasi demikian.
5.12.1. Analisis statistik
a. Dari data darah
- Parameter bioavailabilitas yang dibandingkan untuk penilaian bioekivalensi adalah AUC, Cmax dan tmax
- Cara menghitung AUC0→t ; AUC0→∞ ; ke , t½
- Data yang bergantung pada kadar, yakni AUC dan Cmax , harus ditransformasi logaritmik (ln) terlebih dulu sebelum dilakukan analisis statistik, karena kinetik obat mengikuti kinetik first order sehingga dalam skala logaritmik akan diperoleh distribusi yang normal dan varians yang homogen.
Selanjutnya nilai-nilai ln AUC ke-2 produk dibandingkan menggunakan analisis varians (ANOVA) untuk desain menyilang 2-way yang memperhitungkan sumber-sumber variasi berikut :
- produk obat yang dibandingkan (Test dan Reference),
- periode pemberian obat (I dan II),
- subyek, dan
- urutan (TR dan RT).
Demikian juga nilai-nilai ln Cmax ke-2 produk dibandingkan dengan cara yang sama.
Tabel ANOVA berikut harus dipresentasikan :
- ANOVA : Data dalam ln
- Sumber variasi Degrees of Sum of Mean F
- Freedom squares square (df) (SS)
- (MS) = SS/df
• Inter-Subyek n - 1
− Urutan (Sequence) (2-1) = 1 SSSeq MSSeq MSSeq/MSResid (suby)
− Residual (Suby) n – 2 SSResid (suby) MSResid (suby) MSResid (suby)/MSResid
• Intra-Subyek
- Produk obat (2-1) = 1 SSProd MSProd MSProd/MSResid
- Periode (2-1) = 1 SSPeriod MSPeriod MSPeriod/MSResid
- Residual n – 2 SSResid MSResid
T O T A L 2n – 1 SSTotal
- Untuk tmax biasanya hanya dilakukan statistik deskriptif.
Jika perlu dibandingkan, digunakan statistik non-parametrik pada data yang asli (tidak ditransformasi), dengan α = 5 %
- Untuk ke-3 parameter tersebut di atas, selain dihitung 90 confidence intervals (90 % CI) untuk perbandingan ke-2 produk, juga dihitung statistik ringkasan seperti nilai rata-rata (arithmetic & geometrik, untuk AUC dan Cmax) atau median (untuk tmax), serta nilai-nilai minimum dan maksimum.
- Untuk parameter-parameter lainnya seperti Cmin,Fluktuasi, t½, berlaku pertimbangan-pertimbangan yang sama untukmenggunakan data yang ditransformasi logaritmik (ln) atau yang tidak ditransformasi.
b. Dari data urin
Parameter yang dibandingkan adalah Ae dan (dAe/dt)max
5.12.2. Kriteria bioekivalen
Produk uji (test = T) dan produk pembanding (reference = R) dikatakan bioekivalen jika :
a. Rasio nilai rata-rata geometrik (AUC)T / (AUC)R = 1.00 dengan 90% CI = 80 -125%. Untuk obat-obat dengan indeks terapi yang sempit, interval ini mungkin perlu dipersempit (90 – 111%). Interval yang lebih lebar mungkin dapat diterima jika didasari pertimbangan klinik yang jelas.
b. Rasio nilai rata-rata geometrik (Cmax)T / (Cmax)R juga = 1.00 dengan 90% CI = 80 – 125%. Oleh karena Cmax lebih bervariasi dibanding AUC, maka interval yang lebih lebar mungkin cocok. Interval ini harus ditetapkan sebelumnya, mis. 75 – 133% atau 70 – 143%, dan harus diberikan alasan dengan mempertimbangkan efikasi dan keamanannya, terutama bagi penderita yang berganti-ganti produk.
c. Perbandingan tmax dilakukan hanya jika ada claim yang relevan secara klinik mengenai pelepasan atau kerja yang cepat atau adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan efek samping obat.
90 % CI dari perbedaan tmax harus terletak dalam interval yang relevan secara klinik.
Catatan :
Nilai confidence interval (CI) tidak boleh dibulatkan; jadi untuk CI 80-125, nilainya harus minimal 80.00 dan tidak lebih dari 125.00.
5.12.3. Catatan untuk bioekivalensi individual dan populasi.
Sampai sekarang, kebanyakan studi bioekivalensi didesain untuk menilai bioekivalensi rata-rata. Oleh karena pengalaman yang terbatas dengan bioekivalensi populasi dan bioekivalensi individual, maka untuk itu tidak diberikan rekomendasi khusus.
5.13. Variasi
Jika suatu produk obat direformulasi dari formulasi lama yang telah disetujui atau cara pembuatannya dimodifikasi oleh produsennya dengan cara yang diperkirakan dapat mempengaruhi bioavailabilitas produk obat tersebut, maka studi BE diperlukan, kecuali jika ada alasan untuk tidak melakukannya.
Jika bioavailabilitas produk obat yang mengalami perubahan tersebut di atas telah diteliti dan korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan disolusi in vitro dapat diterima, maka studi BE in vivo tidak usah dilakukan asal laju disolusi in vitro produk baru tersebut mirip dengan laju disolusi produk yang telah disetujui. Kondisi uji yang sama digunakan untuk menunjukkan korelasi tersebut. Untuk semua kasus lain, studi BE harus dilakukan
Jika produk inovator mengalami perubahan, maka yang digunakan sebagai pembanding pada studi BE dan uji disolusi biasanya adalah produk dengan formula,cara pembuatan, kemasan dsb. yang baru ini, dan produk lain yang dibuat sesuai dengan perubahan tersebut harus diuji terhadap produk ini.
Jika produk ”copy” mengalami perubahan, maka produk pembanding untuk studi BE harus produk inovator.
5.14. Suprabioavailabilitas
Jika bioavailabilitas produk uji lebih besar dibandingkan produk pembandingnya (suprabioavailabilitas), maka harus dilakukan reformulasi.
Studi bioekivalensi harus dilakukan lagi dengan produk reformulasi tersebut.
6. PRODUK YANG MENGANDUNG ZAT KIMIA BARU
6.1. Bioavailabilitas
Suatu zat kimia baru yang ditujukan untuk bekerja sistemik, availabilitas sistemiknyaharus ditentukan dengan membandingkannya terhadap sediaan intravena (bioavailabilitas absolut).
Jika tidak memungkinkan (karena alasan teknis atau keamanan), maka bioavailabilitas relatif terhadap larutan atau suspensi oral harus ditentukan.
Dalam hal prodrug, larutan intravena pembanding harus terbuat dari zataktifnya.
6.2. Bioekivalensi
Selama perkembangannya, studi bioekivalensi diperlukan sebagai studi yang menjembatani antara formulasi untuk uji klinik dan produk obat yang akan dipasarkan.
7. LAPORAN HASIL STUDI
Laporan studi BE harus mencantumkan:
- nama dan afiliasi serta tandatangan para peneliti, tempat studi, dan waktu pelaksanaan studi
- dokumentasi bahwa pelaksanaan studi sesuai dengan prinsip Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB), termasuk surat persetujuan Komisi Etik setempat, dan informed consent yang ditandatangani oleh setiap subyek penelitian
- nama, nomor batch dan komposisi produk obat uji; spesifikasi obat jadi dalam bentuk sertifikat analisis dan hasil uji disolusi terbanding; pernyataan sponsor bahwa produk obat uji identik dengan produk yang didaftarkan untuk izin pemasaran
7. Laporan Hasil studi
- nama, nomor batch dan tanggal kadaluarsa produk pembanding
- validasi metode pengukuran kadar obat dalam plasma/urin, mencakup seluruh kisaran kadar yang diukur dalam spesimen; contoh kromatogram atau data kasar lainnya.
- data kadar obat dalam plasma/urin vs waktu dari masing-masing subyek disertai statistik deskriptifnya (rata-rata, median, SD, minimum dan maksimum)
- kurva kadar obat dalam plasma/urin vs waktu dari masing-masing subyek, dalam skala biasa (arithmetic) maupun skala logaritmik (ln).
- cara menghitung AUC0→t ; AUC0→∞ ; ke , t½
7. Laporan Hasil studi
- nilai parameter bioavailabilitas dari masing-masing subyek disertai statistik deskriptifnya
- data yang dibuang disertai alasannya
- data dari subyek yang dropout dan mengundurkan diri
- analisis statistik (yang cukup rinci agar dapat diulang jika perlu) dan cara perhitungannya, termasuk 90 % CI
- kesimpulan studi
8. DAFTAR RUJUKAN (BIBLIOGRAFI)
1. Marketing authorization of pharmaceutical products with special reference to multisource (generic) products : a manual for a drug regulatory authority. Regulatory Support Series, No. 5. Geneva : WHO; 1999, p. 109-46.
2. Committee for Proprietary Medicinal Products (CPMP). Note for guidance on the investigation of bioavailability and bioequivalence. London : EMEA; 2001.
3. Biopharmaceutics Coordinating Committee. Guidance for Industry : Bioavailability and bioequivalence studies for orally administered drug products – general considerations. Bethesda : Center for Drug Evaluation and Research (CDER), US FDA; 2000.
4. Health Canada. Guidance for Industry : Conduct and analysis of bioavailability and bioequivalence studies – Part A : Oral dosage formulations used for systemic effects. Ottawa, Ontario : Health Products and Food Branch, Ministry of Health, Canada; 1992.
5. Guidance on the selection of comparator pharmaceutical products for equivalence assessment of interchangeable multisource (generic) products. WHO Technical ReportSeries, No. 902, 2002.
6. Biopharmaceutics Coordinating Committee. Guidance for Industry : Bioanalytical method validation. Rockville : Center for Drug Evaluation and Research (CDER), US FDA; 2001.
7. Diletti E, Hauschke D, Steinijans VW. Sample size determination for bioequivalence assessment by means of confidence intervals. Int J Clin Pharmacol Ther Toxicol 1991; 29(1) : 1-8.
8. Diletti E, Hauschke D, Steinijans VW. Sample size determination : extended tables for the multiplicative model and bioequivalence ranges of 0.9 to 1.11 and 0.7 to 1.43. Int J Clin Pharmacol Ther Toxicol 1992; 30(8) : 287-290.
9. Sauter R, Steinijans VW, Diletti E, Böhm A, Schulz H-U. Presentation of results from bioequivalence studies. Int J Clin Pharmacol Ther Toxicol 1992; 30 (Suppl 1) : S7-30.
Persamaan-persamaan Bioavaibilitas
Studi ini berhubunngan dengan pharmakokinetik caffeine. Caffein dengan dosis 2.5 mg/kg yang diberikan melalui intra vena dan oral pada kuda dengan berat rata-rata sekitar 500 kg. Kesimpulan dari beberapa data ditetapkan dari percobaan adalah seperti berikut dibawah ini. Silahkan isi sel yang kosong.
1. PENDAHULUAN
2. TUJUAN
2.1. Umum
2.2. Khusus
3. DEFINISI
3.1. Bioavailabilitas (ketersediaan hayati)
3.2. Ekivalensi farmaseutik
3.3. Alternatif farmaseutik
3.4. Bioekivalensi
3.5. Ekivalensi terapeutik
3.6. Produk obat pembanding (reference product)
3.7. Produk obat “copy”
4. KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI
4.1. Produk obat yang memerlukan uji ekivalensi in vivo
4.2. Produk obat yang cukup dilakukan uji ekivalensi in vitro (uji disolasi terbanding)
4.3. Produk obat yang tidak memerlukan uji ekivalensi
5. DESAIN DAN PELAKSANAAN STUDI BIOEKIVALENSI
5.1. Kaji Etik
5.2. Desain
5.3. Subyek
5.4. Produk obat uji (Test product)
5.5. Dosis obat uji
5.6. Uji disolusi in vitro
5.7. Pengambilan sampel darah
5.8. Pengambilan sampel urin (untuk kasus-kasus tertentu)
5.9. Kadar yang diukur
5.10. Metode bioanalitik
5.11. Parameter bioavalabilitas
5.12. Analisis data
5.13. Variasi
5.14. Suprabioavailabilitas
6. PRODUK YANG MENGANDUNG ZAT KIMIA BARU
6.1. Bioavailabilitas
6.2. Bioekivalensi
7. LAPORAN HASIL STUDI
1. PENDAHULUAN
Badan Pengawas Obat dan Makanan berkewajiban untuk menilai semua produk obat sebelum dipasarkan, memberikan izin pemasaran, dan selanjutnya melakukan pengawasan terhadap produk obat tersebut setelah dipasarkan untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa produk obat tersebut memenuhi standar efikasi, keamanan dan mutu yang dibutuhkan.
Untuk produk obat yang mengandung zat aktif berupa zat kimia baru (new chemical entity = NCE) dibutuhkan penilaian mengenai efikasi, keamanan dan mutu secara lengkap. NCE ini yang dipatenkan oleh pabrik penemunya disebut juga obat inovator.
Sedangkan untuk produk obat yang merupakan produk “copy” hanya dibutuhkan standar mutu yang antara lain berupa bioekivalensi dengan produk obat inovator sebagai produk pembanding (reference product) yang merupakan baku mutu.
2.1. Umum
Untuk menjamin efikasi, keamanan dan mutu produk obat yang beredar.
2.2. Khusus
1. Untuk menjamin produk obat “copy” yang akan mendapat izin edar bioekivalen dengan produk obat inovatornya.
2. Untuk menentukan bioavailabilitas absolut dan relatif suatu zat kimia baru, serta bioekivalensi zat tersebut dalam formulasi untuk uji klinik dan dalam produk yang akan dipasarkan.
3.1. Bioavailabilitas (ketersediaan hayati)
Persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin.
Bioavailabilitas absolut : bila dibandingkan dengan sediaan intravena yang bioavailabilitasnya 100%.
Bioavailabilitas relatif : bila dibandingkan dengan sediaan bukan intravena.
3.2. Ekivalensi farmaseutik
Dua produk obat mempunyai ekivalensi farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk sediaan yang sama.
3.3. Alternatif farmaseutik
Dua produk obat merupakan alternatif farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester, dsb.) atau bentuk sediaan atau kekuatan.
3.4. Bioekivalensi
Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan.
Jika bioavailabilitasnya tidak memenuhi kriteria bioekivalen (lihat butir 5.12.2 hal. 18) maka kedua produk obat tersebut disebut bioinekivalen.
3.5. Ekivalensi terapeutik
Dua produk obat mempunyai ekivalensi terapeutik jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan efikasi klinik dan keamanan yang sebanding.
Dengan demikian, ekivalensi/inekivalensi terapeutik seharusnya ditunjukkan dengan uji klinik.
Akan tetapi, untuk produk obat yang bekerja sistemik,uji klinik mempunyai kendala berikut :
- pada penyakit ringan tidak terlihat, pada penyakit berat tidak etis
- endpoint yang diukur seringkali kurang akurat sehingga variabilitasnya besar sekali, dengan akibat dibutuhkan sampel yang besar
- sebagai uji klinik untuk menunjukkan ekivalensi dibutuhkan sampel yang besar sekali
Oleh karena itu, sebagai alternatif dilakukan uji bioekivalensi yang endpointnya sangat akurat (yakni kadar obat dalam plasma) sehingga variabilitasnya rendah, dan dengan demikian sampel yang dibutuhkan jauh lebih kecil.
Jika terdapat perbedaan yang bermakna secara klinik dalam bioavailabilitasnya, maka kedua produk obat tersebut dinyatakan inekivalen secara terapeutik (inekivalensi terapeutik).
3.6. Produk obat pembanding (reference product)
Produk obat inovator yang telah diberi izin pemasaran di Indonesia berdasarkan penilaian dossier lengkap yang membuktikan efikasi, keamanan dan mutu.
Hanya jika produk obat inovator tidak dipasarkan di Indonesia atau tidak lagi dikenali yang mana karena sudah terlalu lama beredar di pasar, maka dapat digunakan produk obat inovator dari primary market (negara di mana produsennya menganggap bahwa efikasi, keamanan dan kualitas produkny terdokumentasi paling baik) atau produk yang merupakan market leader yang telah diberi izin pemasaran di Indonesia dan telah lolos penilaian efikasi, keamanan dan mutu.
Produk obat pembanding yang akan digunakan harus disetujui oleh Badan POM.
3.7. Produk obat “copy”
Produk obat yang mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dengan produk obat inovator/pembandingnya, dapat dipasarkan dengan nama generik atau dengan nama dagang.
4. KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI
4.1. Produk obat yang memerlukan uji ekivalensi in vivo
4.1.1. Produk obat oral lepas cepat yang bekerja sistemik, jika memenuhi satu atau lebih kriteria berikut ini :
a. batas keamanan/indeks terapi yang sempit, misalnya digoksin, anti-aritmia, antikoagulan, obat-obat sitostatik, fenitoin, litium, hipoglikemik oral, siklosporin,teofilin.
b. diindikasikan untuk kondisi yang serius yang memerlukan respons terapi yang pasti, misalnya antituberkulosis, antibakteri, antiaritmia, obat gagal jantung,antiangina, antiepilepsi, antiasma, antimalaria, antiretroviral, antihipertensi.
c. absorpsi bervariasi atau tidak lengkap, mis. tetrasiklin
d. farmakokinetik nonlinear, mis. difenilhidantoin.
e. eliminasi presistemik yang tinggi (> 70%), mis. nitrat organik, felodipin, verapamil.
4.1.1. Produk obat oral lepas cepat yang bekerja sistemik, jika memenuhi satu atau lebih kriteria berikut ini
f. sifat-sifat fisikokimia yang tidak menguntungkan, misalnya :
- kelarutan rendah, mis. glukokortikoid, hormon seks steroid
- tidak stabil, mis. nifedipin
g. terbukti ada masalah bioavailabilitas dengan :
- obat yang bersangkutan, mis. digoksin, eritromisin
- obat-obat dengan struktur kimia yang sama, mis. steroid
- obat-obat dengan formulasi yang sama
h. ada kecurigaan pada bahan baku yang tidak dapat ditemukan dengan uji disolusi in vitro
i. kadar dalam sediaan kecil dibandingkan eksipiennya, mis. hormon (kontrasepsioral)
4.1.2. Produk obat non-oral dan non-parenteral yang didesain untuk bekerja sistemik, misal :
- sediaan transdermal (nitrat organik, hormon)
- supositoria (teofilin)
4.1.3. Produk obat lepas lambat atau termodifikasi yang bekerja sistemik, misal :
diklofenakSR, nifedipin oros, felodipin ER.
4.1.4. Produk kombinasi tetap yang bekerja sistemik, khususnya:
kombinasi rifampisin +isoniazid, pirazinamid, dll (yang diukur rifampisin), levodopa + karbidopa, etinilestradiol + levonorgestrel, etinilestradiol + noretisteron.
4.1.5. Produk obat bukan larutan untuk penggunaan non-sistemik (oral, nasal, okular,
dermal, rektal, vaginal, dsb.) dan dimaksudkan untuk bekerja lokal (tidak untuk
diabsorpsi sistemik). Untuk produk demikian tidak dapat dilakukan uji bioekivalensi,
maka ekivalensi harus ditunjukkan dengan studi klinik atau farmakodinamik
komparatif. Pengukuran kadar obat dalam darah tetap diperlukan untuk melihat
adanya absorpsi yang tidak diinginkan.
4.2. Produk obat yang cukup dilakukan uji ekivalensi in vitro (uji disolusi terbanding)
4.2.1. Produk obat yang tidak termasuk butir 4.1.
4.2.2. Produk obat “copy” yang hanya berbeda kekuatan, yang diproduksi oleh pabrik obat yang sama di tempat produksi yang sama, jika :
a. komposisi kualitatifnya sama.
b. rasio antara zat aktif dan zat-zat tambahannya sama, atau untuk kadar zat aktif yang rendah (< 5%), rasio antara zat-zat tambahannya sama.
c. uji bioekivalensi telah dilakukan sedikitnya pada salah satu kekuatan (biasanya kekuatan yang tertinggi, kecuali untuk alasan keamanan dipilih kekuatan yang lebih rendah).
d. farmakokinetiknya linear pada kisaran dosis terapi.
4.2.3. Produk obat dengan perubahan kecil (minor) dalam formulasi atau pembuat-annya yang dilakukan setelah diberi izin pemasaran.
4.3. Produk obat yang tidak memerlukan uji ekivalensi
4.3.1. Produk obat “copy” untuk penggunaan parenteral (mis. intravena, intramuskular, subkutan, intratekal) sebagai larutan dalam air dan mengandung zat aktif yang sama dalam kadar yang sama dan zat-zat tambahan yang sama dalam kadar yang sebanding.
4.3.2. Produk obat “copy” berupa larutan untuk penggunaan oral, yang mengandung zat aktif dalam kadar yang sama, dan tidak mengandung zat tambahan yang diketahui atau diperkirakan akan mempengaruhi transit dalam saluran cerna atau absorpsi zat aktif.
4.3.3. Produk obat “copy” berupa gas.
4.3.4. Produk obat “copy” berupa bubuk untuk dilarutkan dan sebagai larutan memenuhi kriteria 4.3.1 atau 4.3.2 tersebut di atas.
4.3.5. Produk obat “copy” berupa sediaan obat mata atau telinga sebagai larutan dalam air dan mengandung zat(-zat) aktif yang sama dalam kadar yang sama dan zat-zat tambahan yang praktis sama dalam kadar yang sebanding.
4.3.6. Produk obat “copy” berupa sediaan obat topikal sebagai larutan dalam air dan mengandung zat(-zat) aktif yang sama dalam kadar yang sama dan zat-zat tambahan yang praktis sama dalam kadar yang sebanding.
4.3.7. Produk obat “copy” berupa sediaan obat inhalasi atau semprot hidung, yang digunakan dengan atau tanpa alat yang praktis sama, sebagai larutan dalam air dan mengandung zat(-zat) aktif yang sama dalam kadar yang sama dan zat-zat tambahan yang praktis sama dalam kadar yang sebanding.
Uji in vitro khusus diperlukan untuk membuktikan bahwa alat yang digunakan untuk produk obat inhalasi mempunyai daya guna yang sebanding dengan produk obat inovator/ pembandingnya.
Untuk ketentuan 4.3.5, 4.3.6 atau 4.3.7 tersebut diatas, pemohon harus menunjukkan bahwa zat-zat tambahan dalam produk “copy” nya praktis sama dan dalam kadar yang sebanding dengan produk pembandingnya.
Jika informasi mengenai produk pembanding ini tidak dapat diberikan oleh pemohon dan Badan Pengawas Obat tidak memiliki data ini, studi bioekivalensi harus dilakukan.
5. DESAIN DAN PELAKSANAAN STUDI BIOEKIVALENSI
Studi bioekivalensi (BE) adalah studi bioavailabilitas (BA) komparatif yang dirancang untuk menunjukkan bioekivalensi antara produk uji (suatu produk obat“copy”) dengan produk obat inovator / pembandingnya.
Caranya dengan membandingkan profil kadar obat dalam darah atau urin antara produk-produk obat yang dibandingkan pada subyek manusia.
Karena itu desain dan pelaksanaan studi BE harus mengikuti Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB), termasuk harus lolos Kaji Etik.
5.1. Kaji Etik
Oleh karena studi BA / BE dilakukan pada subyek manusia (suatu uji klinik) maka protokol studi harus lolos Kaji Etik terlebih dahulu sebelum studi dapat dimulai.
5.2. Desain
Studi biasanya dilakukan pada subyek yang sama (dengan desain menyilang) untuk menghilangkan variasi biologik antar subyek (karena setiap subyek menjadi kontrolnya sendiri), hal ini sangat memperkecil jumlah subyek yang dibutuhkan.
Jadi untuk membandingkan 2 produk obat, dilakukan studi menyilang 2-way (2 periode untuk pemberian 2 produk obat pada setiap subyek).
5.2. Desain
Pemberian produk obat yang pertama harus dilakukan secara acak agar efek urutan (order effect) maupun efek waktu (period effect), bila ada, dibuat seimbang.
Kedua perlakuan dipisahkan oleh periode washout yang cukup untuk eliminasi produk obat yang pertama diberikan (biasanya lebih dari 5 x waktu paruh eliminasi
yang dominan dan/atau waktu paruh terminal dari obat, atau lebih lama jika mempunyai metabolit aktif dengan waktu paruh yang lebih panjang.
Karena itu, untuk obat dengan waktu paruh yang panjang, dapat dipertimbangkan penggunaan desain 2 kelompok paralel.
5.2. Desain
Pada umumnya, studi dosis tunggal sudah cukup, tetapi studi dalam keadaan tunak (steady-state) mungkin diperlukan untuk :
- obat dengan kinetik yang non-linear (eliminasinya bergantung pada dosis atau mengalami kejenuhan pada dosis terapi), mis. difenilhidantoin, fluoksetin, paroksetin.
- obat dengan kinetik yang bergantung pada waktu pemberian obat (kronofarmakologi), mis. kortikosteroid, siklosporin, teofilin
- beberapa bentuk sediaan lepas lambat / terkendali (studi dosis tunggal lebih sensitif untuk menjawab pertanyaan utama BE, yakni penglepasan zat aktif dari produk obat ke dalam sirkulasi sistemik, karena itu studi keadaan tunak umumnya tidak dianjurkan oleh FDA, bahkan jika kinetiknya nonlinear sekalipun).
5.2. Desain
• dapat dipertimbangkan untuk :
- obat dengan kadar plasma atau kecepatan eliminasi intra-subyek yang sangat bervariasi sehingga tidak memungkinkan untuk menunjukkan bioekivalensi dengan studi dosis tunggal, sekalipun pada jumlah subyek yang cukup banyak, dan variasi ini berkurang pada keadaan tunak.
- obat yang metode penetapan kadarnya dalam plasma tidak cukup sensitif untuk mengukur kadarnya dalam plasma pada pemberian dosis tunggal (sebagai alternatif dari penggunaan metode penetapan kadar yang lebih sensitif), mis. loratadin.
Pada studi keadaan tunak, jadwal pemberian obat harus mengikuti aturan dosis lazim yang dianjurkan. Pada studi ini, menurunnya kadar obat yang pertama terjadi bersamaan dengan meningkatnya kadar obat yang kedua, sehingga periode washout dapat diperpendek menjadi sedikitnya 3 x waktu paruh eliminasi obat.
5.3. Subyek
5.3.1. Kriteria seleksi
Kriteria inklusi dan eksklusi harus dinyatakan dengan jelas dalam protokol :
- Sukarelawan sehat (untuk mengurangi variasi antar subyek)
- Sedapat mungkin pria dan wanita (jika wanita, pertimbangkan risiko pada wanita usia subur)
- Umur antara 18 – 55 tahun BB (kg)
- Berat badan dalam kisaran normal
(IMT = = 18 - 25)
TB2 (m)
5.3.1. Kriteria seleksi
- Kriteria sehat berdasarkan uji laboratorium klinis yang baku (hematologi rutin, fungsi hati, fungsi ginjal, gula darah, dan urinalisis), riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik.
- Pemeriksaan khusus mungkin harus dilakukan sebelum, selama dan setelah studi selesai, bergantung pada kelas terapi dan profil keamanan obat yang diteliti. Misalnya, untuk obat dari kelas fluorokuinolon yang diketahui dapat memperpanjang interval QT, harus dilakukan pemeriksaan EKG.
- Sebaiknya bukan perokok. Jika perokok sedang (kurang dari 10 batang sehari) diikutsertakan, harus disebutkan dan efeknya pada hasil studi harus didiskusikan.
- Tidak mempunyai riwayat ketergantungan pada alkohol atau penyalah gunaan obat.
- Tidak kontraindikasi atau hipersensitif terhadap obat yang diuji.
- Untuk obat yang terlalu toksik untuk diberikan kepada sukarelawan sehat (mis. sitostatik, antiaritmia), maka digunakan penderita dengan indikasi yang sesuai.
- Uji serologis terhadap Hepatitis B (HBsAg), Hepatitis C (anti-HCV) dan HIV (anti-HIV) optional.
5.3.2. Jumlah subyek
Jumlah subyek yang dibutuhkan dihitung berdasarkan parameter bio-availabilitas yang utama, yakni AUC atau luas area di bawah kurva kadar obat dalam darah terhadap waktu, yang menunjukkan jumlah obat yang masuk peredaran darah sistemik.
Untuk desain menyilang 2-way, jumlah subyek yang dibutuhkan ditentukan oleh :
a) perbedaan nilai rata-rata AUC antara produk uji (test = T) dan produk pembanding (reference = R) yang sesuai dengan kriteria bioekivalen, yakni rasio nilai rata-rata geometrik (AUC)T / (AUC)R = 1.00 dengan 90% CI = 0.80 – 1.25 (lihat butir 5.12.2 hal. 18).
5.3.2. Jumlah subyek
b) batas kemaknaan α, diambil 5% (2-arah).
c) power, yakni probabilitas untuk menerima bioekivalensi dengan benar, diambil 90% (1 arah).
d) koefisien variasi (coefficient of variation = CV) intrasubyek dari AUC obat yang diteliti.
Dengan ketentuan a), b) dan c) tersebut diatas, maka jumlah subyek tergantung dari CV intrasubyek sbb. (umumnya, CV intrasubyek < 20) :
5.3.2. Jumlah subyek
CV intrasubyek (%)* Jumlah subyek
15.0 12
17.5 16
20.0 20
22.5 24
25.0 28
27.5 34
30.0 40
* CV2 = varians residual pada ANOVA untuk desain menyilang 2-way (lihat butir 5.12.1 hal. 17)
Jumlah subyek minimal adalah 12 orang, kecuali dalam kondisi khusus yang perlu penjelasan. Pada umumnya dibutuhkan 18 – 24 subyek.
• Kemungkinan dropouts dan withdrawals harus diperhitungkan.
Ada 2 cara (sebutkan cara yang dipilih dalam protokol) :
1. tambahkan sejumlah tertentu subyek (satu atau dua untuk setiap urutan) kepada jumlah subyek yang telah dihitung
2. tambahkan sejumlah tertentu subyek ke dalam studi.
Hanya jika ada subyek yang dropout maka sampel darah subyek tambahan tersebut diukur kadar obatnya. Withdrawal yang terjadi setelah kadar obatnya diukur, maka hasilnya harus dilaporkan.
5.3.3. Standardisasi kondisi studi
Kondisi studi harus dibakukan (untuk mengurangi variabilitas berbagai faktor yang terlibat kecuali produk yang diuji) :
- Lama puasa pada malam sebelum pemberian produk, biasanya 12 jam. Untuk studi keadaan tunak, puasa hanya diperlukan pada malam terakhir sebelum pengambilan darah keesokan harinya.
- Jika produk pembanding diberikan bersama makanan, maka makanan standar, harus diberikan pada jarak waktu yang ditentukan sebelum pemberian produk.
- Volume air yang diminum bersama produk harus konstan (antara 150 - 200 ml) karena dapat mempengaruhi pengosongan lambung.
- Semua makanan dan minuman yang dikonsumsi setelah pemberian produk harus dibakukan komposisi dan waktu pemberiannya selama periode pengambilan sampel darah.
• Air boleh diminum kapan saja kecuali 1 jam sebelum dan sesudah pemberian produk
• Makanan standar diberikan tidak kurang dari 4 jam setelah pemberian produk
- Subyek tidak boleh makan obat lain apapun selama beberapa waktu sebelum penelitian (minimal 1 minggu) dan selama penelitian
- Subyek tidak boleh mengkonsumsi makanan dan minuman yang dapat berinteraksi dengan fungsi sirkulasi, saluran cerna, hati atau ginjal (mis. merokok, minum alkohol, kopi, teh, kola, coklat atau jus buah) selama 24 jam sebelum penelitian dan selama periode pengambilan sampel darah.
- Posisi tubuh dan aktivitas fisik juga harus distandardisir sepanjang hari penelitian karena akan mempengaruhi waktu transit dalam saluran cerna dan aliran darah usus.
5.3.4. Genetic phenotyping
Phenotyping subyek harus dilakukan untuk obat-obat yang diketahui dipengaruhi oleh polimorfisme genetik. Dosis harus disesuaikan pada subyek yang bersangkutan:
- untuk alasan keamanan pada studi menyilang maupun studi paralel
- untuk menghindari terjadinya bias/variasi pada studi paralel
5.4. Produk obat uji (Test product)
Produk obat uji yang digunakan dalam studi BE harus dibuat sesuai dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), dan catatan batchnya harus dilaporkan.
Produk uji yang digunakan dalam studi BE untuk tujuan registrasi harus identik dengan produk obat yang akan dipasarkan. Karena itu, tidak hanya komposisi dan sifat-sifatnya (termasuk stabilitas), tetapi juga cara produksinya harus sama dengan cara produksi rutin yang akan datang.
5.4. Produk obat uji (Test product)
Idealnya, produk uji harus diambil dari batch skala industri. Jika ini tidak mungkin, batch produksi berskala kecil atau pilot batch dapat digunakan asalkan tidak lebih kecil dari 10 % batch skala industri atau 100.000 unit (pilih yang besar), kecuali jika ada alasan khusus.
Sponsor harus menyimpan sampel dari semua produk yang diteliti dalam studi (dalam jumlah yang cukup) selama 2 tahun setelah selesainya studi atau 1 tahun lebih lama dari masa pakai (shelf-life) produk atau sampai keluarnya izin edar (mana yang lebih lama) agar dapat dilakukan pemeriksaan ulang jika diminta oleh Badan POM.
5.5. Dosis obat uji
Dosis obat uji dapat berupa :
- satu unit bentuk sediaan dengan kekuatan yang tertinggi
- jika perlu untuk alasan analitik, dapat digunakan beberapa unit dengan kekuatan tertinggi, asalkan total dosis tunggal ini masih dalam kisaran dosis yang dianjurkan.
5.6. Uji disolusi in vitro
Sebelum dilakukan studi BE, uji disolusi in vitro dengan batch produk obat uji dan pembanding yang akan digunakan pada studi BE harus dilakukan.
Hasilnya harus dilaporkan sebagai profil persen obat yang terlarut terhadap waktu. Nomor batch kedua produk harus dicantumkan, demikian juga tanggal kadaluarsa produk pembanding.
Kandungan zat aktif antara kedua produk tidak boleh berbeda lebih dari 5 %.
Jika potensi produk pembanding menyimpang > 5 % dari kandungan 100% yang tercantum dalam label, perbedaan ini dapat digunakan kemudian untuk koreksi dosis pada perhitungan parameter bioavailabilitas pada studi BE.
5.7. Pengambilan sampel darah
- Dalam keadaan normal harus digunakan sampel darah, meskipun sampel urin juga dapat digunakan.
- Biasanya kadar obat atau metabolit diukur dalam serum atau plasma. Dalam keadaan tertentu, kadar obat diukur dalam darah (mis. sulfa).
- Sampel darah harus diambil pada waktu-waktu tertentu sehingga dapat menggambarkan fase-fase absorpsi, distribusi, dan eliminasi obat.
- Untuk kebanyakan obat diperlukan 12 – 18 sampel darah, yakni :
• 1 sampel sebelum obat : pada waktu nol ( t0 )
• 2-3 sampel sebelum kadar maksimal (Cmax)
• 4-6 sampel sekitar Cmax
• 5-8 sampel setelah Cmax, sampai sedikitnya 3 atau lebih waktu paruh eliminasi obat dalam plasma (> 3 x t½)
Dengan demikian akan diperoleh AUC (luas area di bawah kurva kadar obat terhadap waktu) sedikitnya 80 % dari AUC yang diekstrapolasi ke tidak terhingga (∞)
- Estimasi waktu paruh eliminasi harus diperoleh dari sedikitnya 3 – 4 sampel selama fase log linear terminal
- Untuk obat atau metabolit aktifnya yang mempunyai waktu paruh eliminasi (t½) sangat panjang, sampel darah harus diambil sampai sedikitnya 72 jam jika variabilitas intra-subyek kecil, atau lebih lama jika variabilitas intra-subyek besar.
- Pada studi keadaan tunak, untuk obat dengan kronofarmakologi, jika ritme sirkadian diketahui mempengaruhi bioavailabilitas, maka sampel darah harus diambil selama 1 siklus 24 jam penuh.
5.8. Pengambilan sampel urin (untuk kasus-kasus tertentu)
- Sampel urin hanya digunakan jika kadar obat dalam darah terlalu kecil untuk dapat dideteksi dan eliminasi obat dalam bentuk utuh melalui ginjal cukup besar (> 40%).
Urin dikumpulkan di tempat studi secara periodik sampai sedikitnya 3 x waktu paruh eliminasi obat (3 x t½).
Untuk studi selama 24 jam, waktu sampling biasanya 0-2, 2-4, 4-8, 8-12 dan 12-24 jam.
Volume urin setiap interval waktu tersebut harus diukur dan dilaporkan.
- Dibuat kurva jumlah obat kumulatif yang diekskresi dalam urin terhadap waktu.
5.9. Kadar yang diukur
Kadar yang diukur dalam plasma/serum biasanya senyawa induk.
Jika hal ini tidak mungkin (karena kadarnya terlalu rendah, atau tidak stabil dalam matriks biologik, atau waktu paruhnya terlalu pendek), maka dalam hal ini diukur metabolit utamanya.
- Pengukuran kadar hasil biotransformasi harus dilakukan jika senyawa induknya berupa prodrug.
- Jika dihasilkan metabolit aktif yang memberikan kontribusi yang bermakna terhadap aktivitas obat secara keseluruhan dan farmakokinetiknya tidak linear, maka kadar keduanya harus diukur, baik senyawa induk maupun metabolit aktifnya, dan dievaluasi secara terpisah.
5.9. Kadar yang diukur
Untuk produk obat berupa zat chiral, pengukuran kadar harus dilakukan dengan metode bioanalitik yang selektif untuk enansiomer, kecuali jika
(1) kedua produk mengandung satu enansiomer stabil yang sama; (2) kedua produk mengandung rasemat dan kedua enansiomer mempunyai farmakokinetik yang linear.
Untuk produk obat yang mengandung banyak zat berefikasi, kuantifikasi semua zat berefikasi tidak diperlukan, cukup beberapa zat yang dapat menunjukkan jumlah dan kecepatan absorpsi. Pemilihan marker ini perlu ditentukan untuk setiap kasus.
Jika pendekatan farmakokinetik in vivo tidak dapat dilakukan, lakukan cara in vitro, jika inipun tidak dapat, terpaksa dilakukan cara farmakodinamik atau klinik.
5.10. Metode bioanalitik
Bagian bioanalitik dari studi BE harus dilaksanakan dengan mengikuti prinsip-prinsip Good Laboratory Practice (GLP).
Metode bioanalitik yang digunakan untuk menetapkan kadar obat dan metabolitnya dalam plasma / serum, darah atau urin harus memenuhi persyaratan
(1) stabilitas dalam sampel biologik pada kondisi analisis dan selama waktu penyimpanan,
(2) spesifisitas untuk obat yang diteliti, sehingga hasilnya valid (sahih) dan dapat dipercaya,
(3) akurasi (ketepatan),
(4) limit of quantification (LOQ),
(5) presisi (ketelitian), dan
(6) fungsi respons.
Metode yang digunakan umumnya cara kimiawi, kecuali untuk antibakteri dapat digunakan cara mikrobiologis.
Kurva kalibrasi harus dibuat untuk setiap zat yang harus diukur setiap kali dilakukan pengukuran kadar dalam sampel.
Validasi metode proses dan penanganan sampel biologik juga diperlukan
Metode yang digunakan harus dijelaskan, divalidasi dan didokumentasi.
Hasil validasi harus dilaporkan, antara lain :
- validasi sebelum dan selama studi
- kisaran kalibrasi harus sesuai dengan kadar dalam sampel
- jika ada modifikasi metode sebelum dan selama analisis sampel, makadiperlukan revalidasi dan harus dilaporkan
- jika penetapan kadar akan digunakan di tempat lain, harus divalidasi di setiap tempat dan dilakukan perbandingan antar tempat.
- penetapan kadar yang tidak digunakan secara teratur perlu revalidasi yang cukup untuk menunjukkan bahwa hasilnya sesuai dengan validasi pada awalnya.
Studi revalidasi harus didokumentasi sebagai lampiran.
- dalam 1 studi, penggunaan 2 atau lebih metode untuk mengukur sampel dalam matriks biologik yang sama dan dalam kisaran kalibrasi yang sama, sangat tidak dianjurkan.
- jika studi yang berbeda akan dibandingkan sedangkan sampel dari studi yang berbeda tersebut diukur dengan metode yang berbeda, dan metode yang berbeda tersebut mencakup kisaran dosis yang sama dan matriks biologik yang sama, maka metode yang berbeda tersebut harus divalidasi silang.
Validasi metode bioanalitik harus dilakukan sesuai dengan pedoman validasi metode bioanalitik dari US FDA untuk industri.
5.11. Parameter bioavailabilitas
Pada studi bioavailablitas (BA), bentuk dan luas area di bawah kurva kadar plasma terhadap waktu, serta profil ekskresi ginjal kumulatif dan kecepatan ekskresi digunakan untuk menilai jumlah dan kecepatan absorpsi.
5.11.1. Parameter bioavailabilitas dari sampel darah
a. Untuk studi dosis tunggal
- AUCt = Area di bawah kurva kadar obat (atau metabolit) dalam plasma (atau serum atau darah) terhadap waktu dari waktu 0 sampai waktu terakhir kadar obat diukur –- dihitung secara trapezoidal.
- AUC∞ = AUC dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga = AUCt + Ct / ke ~ menggambarkan jumlah obat yang bioavailabel
- Cmax = kadar puncak (maksimal) obat (atau metabolit) dalam plasma (atau serum atau darah) yang teramati.
- tmax = waktu sejak pemberian obat sampai dicapai Cmax
- t½ = waktu paruh obat (atau metabolit) dalam plasma (atau serum atau darah)
AUC∞ dan Cmax merupakan parameter yang paling relevan untuk penilaian BE.
AUCt paling dapat dipercaya untuk menggambarkan besarnya absorpsi (jumlah obat yang bioavailabel).
b. Untuk studi kadar tunak
- AUCτ = AUC selama satu interval dosis (τ) pada keadaan tunak
- Cmin = kadar minimal obat (atau metabolit) dalam plasma (atau serum atau darah), yakni kadar pada akhir interval dosis
- Cmax = kadar maksimal obat dalam plasma yang teramati
- Cav = kadar rata-rata selama satu interval dosis
- Fluktuasi = (Cmax – Cmin) / Cav
- Swing = (Cmax – Cmin) / Cmin
5.11.2. Parameter bioavailabilitas dari sampel urin
a. Untuk studi dosis tunggal
- Aet = jumlah kumulatif obat utuh (atau metabolit) yang dikeluarkan atau ditemukan dalam urin dari waktu 0 sampai waktu terakhir kadar diukur
- Ae∞ = Ae dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga, diperoleh dengan cara ekstrapolasi = jumlah obat maksimal yang diekskresi dalam urin ~ sebanding dengan jumlah obat yang bioavailabel
- dAe/dt = kecepatan ekskresi obat dalam urin
- (dAe/dt)max = kecepatan maksimal ekskresi obat dalam urin ~ terjadi pada waktu tmax (plasma) dan besarnya sebanding dengan Cmax (plasma), sehingga besarnya bergantung pada jumlah dan kecepatan absorpsi.
Ae∞ dan (dAe/dt)max merupakan parameter yang paling relevan untuk penilaian BE.
Aet paling dapat dipercaya untuk menggambarkan besarnya absorpsi (jumlah obat yang bioavailabel).
b. Untuk studi kadar tunak
- Aeτ = Ae selama satu interval dosis (τ) pada keadaan tunak.
5.12. Analisis data
Tujuan utama penilaian bioekivalensi adalah untuk menghitung perbedaan bioavailabilitas antara produk uji dan produk pembanding, dan untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna secara klinik.
Jika pada t0 ditemukan obat dengan kadar < 5 % Cmax maka data dari subyek ini dapat dimasukkan dalam analisis tanpa penyesuaian.
Tetapi jika C0 ini > 5 % Cmax, maka subyek ini harus dikeluarkan dari analisis.
Jika subyek muntah pada atau sebelum 2 x median tmax pada studi BE untuk produk lepas cepat, maka data subyek ini harus dikeluarkan dari analisis.
Pada studi BE untuk produk lepas lambat, data subyek yang muntah kapan saja harus dikeluarkan.
Observasi yang merupakan outliers tidak boleh dibuang jika tidak ada alasan yang kuat bahwa telah terjadi kesalahan teknis.
Analisis data harus dilakukan dengan dan tanpa nilai-nilai tersebut dan harus dikaji dampaknya terhadap kesimpulan studi.
Harus dicari penjelasan medis atau farmakokinetik untuk observasi demikian.
5.12.1. Analisis statistik
a. Dari data darah
- Parameter bioavailabilitas yang dibandingkan untuk penilaian bioekivalensi adalah AUC, Cmax dan tmax
- Cara menghitung AUC0→t ; AUC0→∞ ; ke , t½
- Data yang bergantung pada kadar, yakni AUC dan Cmax , harus ditransformasi logaritmik (ln) terlebih dulu sebelum dilakukan analisis statistik, karena kinetik obat mengikuti kinetik first order sehingga dalam skala logaritmik akan diperoleh distribusi yang normal dan varians yang homogen.
Selanjutnya nilai-nilai ln AUC ke-2 produk dibandingkan menggunakan analisis varians (ANOVA) untuk desain menyilang 2-way yang memperhitungkan sumber-sumber variasi berikut :
- produk obat yang dibandingkan (Test dan Reference),
- periode pemberian obat (I dan II),
- subyek, dan
- urutan (TR dan RT).
Demikian juga nilai-nilai ln Cmax ke-2 produk dibandingkan dengan cara yang sama.
Tabel ANOVA berikut harus dipresentasikan :
- ANOVA : Data dalam ln
- Sumber variasi Degrees of Sum of Mean F
- Freedom squares square (df) (SS)
- (MS) = SS/df
• Inter-Subyek n - 1
− Urutan (Sequence) (2-1) = 1 SSSeq MSSeq MSSeq/MSResid (suby)
− Residual (Suby) n – 2 SSResid (suby) MSResid (suby) MSResid (suby)/MSResid
• Intra-Subyek
- Produk obat (2-1) = 1 SSProd MSProd MSProd/MSResid
- Periode (2-1) = 1 SSPeriod MSPeriod MSPeriod/MSResid
- Residual n – 2 SSResid MSResid
T O T A L 2n – 1 SSTotal
- Untuk tmax biasanya hanya dilakukan statistik deskriptif.
Jika perlu dibandingkan, digunakan statistik non-parametrik pada data yang asli (tidak ditransformasi), dengan α = 5 %
- Untuk ke-3 parameter tersebut di atas, selain dihitung 90 confidence intervals (90 % CI) untuk perbandingan ke-2 produk, juga dihitung statistik ringkasan seperti nilai rata-rata (arithmetic & geometrik, untuk AUC dan Cmax) atau median (untuk tmax), serta nilai-nilai minimum dan maksimum.
- Untuk parameter-parameter lainnya seperti Cmin,Fluktuasi, t½, berlaku pertimbangan-pertimbangan yang sama untukmenggunakan data yang ditransformasi logaritmik (ln) atau yang tidak ditransformasi.
b. Dari data urin
Parameter yang dibandingkan adalah Ae dan (dAe/dt)max
5.12.2. Kriteria bioekivalen
Produk uji (test = T) dan produk pembanding (reference = R) dikatakan bioekivalen jika :
a. Rasio nilai rata-rata geometrik (AUC)T / (AUC)R = 1.00 dengan 90% CI = 80 -125%. Untuk obat-obat dengan indeks terapi yang sempit, interval ini mungkin perlu dipersempit (90 – 111%). Interval yang lebih lebar mungkin dapat diterima jika didasari pertimbangan klinik yang jelas.
b. Rasio nilai rata-rata geometrik (Cmax)T / (Cmax)R juga = 1.00 dengan 90% CI = 80 – 125%. Oleh karena Cmax lebih bervariasi dibanding AUC, maka interval yang lebih lebar mungkin cocok. Interval ini harus ditetapkan sebelumnya, mis. 75 – 133% atau 70 – 143%, dan harus diberikan alasan dengan mempertimbangkan efikasi dan keamanannya, terutama bagi penderita yang berganti-ganti produk.
c. Perbandingan tmax dilakukan hanya jika ada claim yang relevan secara klinik mengenai pelepasan atau kerja yang cepat atau adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan efek samping obat.
90 % CI dari perbedaan tmax harus terletak dalam interval yang relevan secara klinik.
Catatan :
Nilai confidence interval (CI) tidak boleh dibulatkan; jadi untuk CI 80-125, nilainya harus minimal 80.00 dan tidak lebih dari 125.00.
5.12.3. Catatan untuk bioekivalensi individual dan populasi.
Sampai sekarang, kebanyakan studi bioekivalensi didesain untuk menilai bioekivalensi rata-rata. Oleh karena pengalaman yang terbatas dengan bioekivalensi populasi dan bioekivalensi individual, maka untuk itu tidak diberikan rekomendasi khusus.
5.13. Variasi
Jika suatu produk obat direformulasi dari formulasi lama yang telah disetujui atau cara pembuatannya dimodifikasi oleh produsennya dengan cara yang diperkirakan dapat mempengaruhi bioavailabilitas produk obat tersebut, maka studi BE diperlukan, kecuali jika ada alasan untuk tidak melakukannya.
Jika bioavailabilitas produk obat yang mengalami perubahan tersebut di atas telah diteliti dan korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan disolusi in vitro dapat diterima, maka studi BE in vivo tidak usah dilakukan asal laju disolusi in vitro produk baru tersebut mirip dengan laju disolusi produk yang telah disetujui. Kondisi uji yang sama digunakan untuk menunjukkan korelasi tersebut. Untuk semua kasus lain, studi BE harus dilakukan
Jika produk inovator mengalami perubahan, maka yang digunakan sebagai pembanding pada studi BE dan uji disolusi biasanya adalah produk dengan formula,cara pembuatan, kemasan dsb. yang baru ini, dan produk lain yang dibuat sesuai dengan perubahan tersebut harus diuji terhadap produk ini.
Jika produk ”copy” mengalami perubahan, maka produk pembanding untuk studi BE harus produk inovator.
5.14. Suprabioavailabilitas
Jika bioavailabilitas produk uji lebih besar dibandingkan produk pembandingnya (suprabioavailabilitas), maka harus dilakukan reformulasi.
Studi bioekivalensi harus dilakukan lagi dengan produk reformulasi tersebut.
6. PRODUK YANG MENGANDUNG ZAT KIMIA BARU
6.1. Bioavailabilitas
Suatu zat kimia baru yang ditujukan untuk bekerja sistemik, availabilitas sistemiknyaharus ditentukan dengan membandingkannya terhadap sediaan intravena (bioavailabilitas absolut).
Jika tidak memungkinkan (karena alasan teknis atau keamanan), maka bioavailabilitas relatif terhadap larutan atau suspensi oral harus ditentukan.
Dalam hal prodrug, larutan intravena pembanding harus terbuat dari zataktifnya.
6.2. Bioekivalensi
Selama perkembangannya, studi bioekivalensi diperlukan sebagai studi yang menjembatani antara formulasi untuk uji klinik dan produk obat yang akan dipasarkan.
7. LAPORAN HASIL STUDI
Laporan studi BE harus mencantumkan:
- nama dan afiliasi serta tandatangan para peneliti, tempat studi, dan waktu pelaksanaan studi
- dokumentasi bahwa pelaksanaan studi sesuai dengan prinsip Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB), termasuk surat persetujuan Komisi Etik setempat, dan informed consent yang ditandatangani oleh setiap subyek penelitian
- nama, nomor batch dan komposisi produk obat uji; spesifikasi obat jadi dalam bentuk sertifikat analisis dan hasil uji disolusi terbanding; pernyataan sponsor bahwa produk obat uji identik dengan produk yang didaftarkan untuk izin pemasaran
7. Laporan Hasil studi
- nama, nomor batch dan tanggal kadaluarsa produk pembanding
- validasi metode pengukuran kadar obat dalam plasma/urin, mencakup seluruh kisaran kadar yang diukur dalam spesimen; contoh kromatogram atau data kasar lainnya.
- data kadar obat dalam plasma/urin vs waktu dari masing-masing subyek disertai statistik deskriptifnya (rata-rata, median, SD, minimum dan maksimum)
- kurva kadar obat dalam plasma/urin vs waktu dari masing-masing subyek, dalam skala biasa (arithmetic) maupun skala logaritmik (ln).
- cara menghitung AUC0→t ; AUC0→∞ ; ke , t½
7. Laporan Hasil studi
- nilai parameter bioavailabilitas dari masing-masing subyek disertai statistik deskriptifnya
- data yang dibuang disertai alasannya
- data dari subyek yang dropout dan mengundurkan diri
- analisis statistik (yang cukup rinci agar dapat diulang jika perlu) dan cara perhitungannya, termasuk 90 % CI
- kesimpulan studi
8. DAFTAR RUJUKAN (BIBLIOGRAFI)
1. Marketing authorization of pharmaceutical products with special reference to multisource (generic) products : a manual for a drug regulatory authority. Regulatory Support Series, No. 5. Geneva : WHO; 1999, p. 109-46.
2. Committee for Proprietary Medicinal Products (CPMP). Note for guidance on the investigation of bioavailability and bioequivalence. London : EMEA; 2001.
3. Biopharmaceutics Coordinating Committee. Guidance for Industry : Bioavailability and bioequivalence studies for orally administered drug products – general considerations. Bethesda : Center for Drug Evaluation and Research (CDER), US FDA; 2000.
4. Health Canada. Guidance for Industry : Conduct and analysis of bioavailability and bioequivalence studies – Part A : Oral dosage formulations used for systemic effects. Ottawa, Ontario : Health Products and Food Branch, Ministry of Health, Canada; 1992.
5. Guidance on the selection of comparator pharmaceutical products for equivalence assessment of interchangeable multisource (generic) products. WHO Technical ReportSeries, No. 902, 2002.
6. Biopharmaceutics Coordinating Committee. Guidance for Industry : Bioanalytical method validation. Rockville : Center for Drug Evaluation and Research (CDER), US FDA; 2001.
7. Diletti E, Hauschke D, Steinijans VW. Sample size determination for bioequivalence assessment by means of confidence intervals. Int J Clin Pharmacol Ther Toxicol 1991; 29(1) : 1-8.
8. Diletti E, Hauschke D, Steinijans VW. Sample size determination : extended tables for the multiplicative model and bioequivalence ranges of 0.9 to 1.11 and 0.7 to 1.43. Int J Clin Pharmacol Ther Toxicol 1992; 30(8) : 287-290.
9. Sauter R, Steinijans VW, Diletti E, Böhm A, Schulz H-U. Presentation of results from bioequivalence studies. Int J Clin Pharmacol Ther Toxicol 1992; 30 (Suppl 1) : S7-30.
Persamaan-persamaan Bioavaibilitas
Studi ini berhubunngan dengan pharmakokinetik caffeine. Caffein dengan dosis 2.5 mg/kg yang diberikan melalui intra vena dan oral pada kuda dengan berat rata-rata sekitar 500 kg. Kesimpulan dari beberapa data ditetapkan dari percobaan adalah seperti berikut dibawah ini. Silahkan isi sel yang kosong.
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati)
1. Bioavailabilitas (ketersediaan hayati)
Persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin.
Bioavailabilitas absolut : bila dibandingkan dengan sediaan intravena yang bioavailabilitasnya 100%.
Bioavailabilitas relatif : bila dibandingkan dengan sediaan bukan intravena.
2. Ekivalensi Farmaseutik
Dua produk obat mempunyai ekivalensi farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk sediaan yang sama.
3. Alternatif farmaseutik
Dua produk obat merupakan alternatif farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester, dsb.) atau bentuk sediaan atau kekuatan.
……………………………Masalah-masalah bioavailbilitas
Perbandingan dari ketiga produk oral (chlorpropamid) :
Cp A = Cp B
Cp A ≠ Cp C
Cp B ≠ Cp C
AUC A = AUC B
AUC A ≠AUC C
AUC B ≠AUC C
Tp A = Tp B = Tp C
……………………………Masalah-masalah bioavailbilitas
Perbandinga BA sediaan IV dan Im :
Cp IV > Cp IM
AUC IV = AUC IM
……………………………Masalah-masalah bioavailbilitas
……………………………Masalah-masalah bioavailbilitas
Digoxin
Doktor-Doktor di Israel mencatat 15 kasus dari keracunan digoxin antara Oktober hingga Desember 1975 hampir tanpa laporan untuk periode waktu yang sama sepanjang tahun tersebut.
Selanjutnya ditemukan bahwa sebuah perusahaan telah mengganti formula dari obat untuk meningkatkan disolusi.
Pemeriksaan urin menunjukkan kenaikan dua kali lipat bioavailabilitas dari formula baru tersebut.
Apa itu bioavailabilitas ?
Bioavailbilitas adalah suatu studi pengukuran seberapa cepat dan seberapa banyak suatu obat diabsorbsi dalam darah setelah sejumlah dosis obat diberikan.
Grafik ini menunjukan hubungan antara konsentrasi obat dan efek obat.
Jika konsentrasi efektif obat mencapai tempat reseptor yang masih peka, maka ini menggambarkan konsentrasi obat yang diperlukan.
Apa itu bioekuivalen ?
Bioavailabilitas
Bioavailabilitas merupakan istilah farmakokinetika yang menggambarkan tentang kecepatan dan jumlah absorpsi suatu bahan obat dari suatu produk untuk menjadi tersedia di tapak kerjanya.
Oleh karena respon farmakologi secara umum berkaitan dengan konsentrasi obat di tapak reseptor, maka ketersediaan obat dari suatu bentuk sediaan obat merupakan elemen yang penting bagi efikasi klinik suatu produk obat
Contoh :perhitungan bioavailabilitas relatif dan absolut
Data bioavailabilitas absolut dan relatif
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIOAVAILABILITAS
Sebelum efek terapi obat yang diberikan secara oral terwujud, maka obat harus mengalami absorpsi terlebih dahulu. Absorpsi sistemik obat oral dalam bentuk sediaan padat harus melalui tiga tahap berikut ini, yaitu :
1. desintegrasi produk obat
2. disolusi obat di dalam cairan pada tapak absorpsi
3. perpindahan molekul obat melintasi membran gastrointestinal menuju sirkulasi sistemik
TABLE 2 Faktor Bioavailabilitas yang berkaitan dengan bentuk sediaan
Gambar tersebut menunjukan bahwa kelarutan K penicilin V > Ca Penicilin V > Penicilin V > Na Penicilin G.
TABLE 8-3 Faktor Bioavailabiltias yang berkaitan dengan Pasien
Gambar tersebut menunjukan perbedaan konsentrasi plasma tolbutamid dan Na tolbutamid.
TABLE : Bioavailabilitas dan Bentuk sediaan oral
TABLE : Faktor yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung
TABLE : Efek Makanan terhadap absorpsi Obat
TABLE : Interaksi Obat yang mempengaruhi absorpsi
1. Meningkatnya pH lambung atau usus
2. Perubahan motilitas usus
3. perubahan perfusi saluran cerna
4. interferensi dengan fungsi mukosa (sindrom malsbsorpsi yang diinduksi obat)
5. pembentukan khelat
6. pertukaran ikatan resin
7. adsorpsi
8. pelarutan dalam cairan yang diabsorpsi dengan jelek
TERIMA KASIH
Persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin.
Bioavailabilitas absolut : bila dibandingkan dengan sediaan intravena yang bioavailabilitasnya 100%.
Bioavailabilitas relatif : bila dibandingkan dengan sediaan bukan intravena.
2. Ekivalensi Farmaseutik
Dua produk obat mempunyai ekivalensi farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk sediaan yang sama.
3. Alternatif farmaseutik
Dua produk obat merupakan alternatif farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester, dsb.) atau bentuk sediaan atau kekuatan.
……………………………Masalah-masalah bioavailbilitas
Perbandingan dari ketiga produk oral (chlorpropamid) :
Cp A = Cp B
Cp A ≠ Cp C
Cp B ≠ Cp C
AUC A = AUC B
AUC A ≠AUC C
AUC B ≠AUC C
Tp A = Tp B = Tp C
……………………………Masalah-masalah bioavailbilitas
Perbandinga BA sediaan IV dan Im :
Cp IV > Cp IM
AUC IV = AUC IM
……………………………Masalah-masalah bioavailbilitas
……………………………Masalah-masalah bioavailbilitas
Digoxin
Doktor-Doktor di Israel mencatat 15 kasus dari keracunan digoxin antara Oktober hingga Desember 1975 hampir tanpa laporan untuk periode waktu yang sama sepanjang tahun tersebut.
Selanjutnya ditemukan bahwa sebuah perusahaan telah mengganti formula dari obat untuk meningkatkan disolusi.
Pemeriksaan urin menunjukkan kenaikan dua kali lipat bioavailabilitas dari formula baru tersebut.
Apa itu bioavailabilitas ?
Bioavailbilitas adalah suatu studi pengukuran seberapa cepat dan seberapa banyak suatu obat diabsorbsi dalam darah setelah sejumlah dosis obat diberikan.
Grafik ini menunjukan hubungan antara konsentrasi obat dan efek obat.
Jika konsentrasi efektif obat mencapai tempat reseptor yang masih peka, maka ini menggambarkan konsentrasi obat yang diperlukan.
Apa itu bioekuivalen ?
Bioavailabilitas
Bioavailabilitas merupakan istilah farmakokinetika yang menggambarkan tentang kecepatan dan jumlah absorpsi suatu bahan obat dari suatu produk untuk menjadi tersedia di tapak kerjanya.
Oleh karena respon farmakologi secara umum berkaitan dengan konsentrasi obat di tapak reseptor, maka ketersediaan obat dari suatu bentuk sediaan obat merupakan elemen yang penting bagi efikasi klinik suatu produk obat
Contoh :perhitungan bioavailabilitas relatif dan absolut
Data bioavailabilitas absolut dan relatif
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIOAVAILABILITAS
Sebelum efek terapi obat yang diberikan secara oral terwujud, maka obat harus mengalami absorpsi terlebih dahulu. Absorpsi sistemik obat oral dalam bentuk sediaan padat harus melalui tiga tahap berikut ini, yaitu :
1. desintegrasi produk obat
2. disolusi obat di dalam cairan pada tapak absorpsi
3. perpindahan molekul obat melintasi membran gastrointestinal menuju sirkulasi sistemik
TABLE 2 Faktor Bioavailabilitas yang berkaitan dengan bentuk sediaan
Gambar tersebut menunjukan bahwa kelarutan K penicilin V > Ca Penicilin V > Penicilin V > Na Penicilin G.
TABLE 8-3 Faktor Bioavailabiltias yang berkaitan dengan Pasien
Gambar tersebut menunjukan perbedaan konsentrasi plasma tolbutamid dan Na tolbutamid.
TABLE : Bioavailabilitas dan Bentuk sediaan oral
TABLE : Faktor yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung
TABLE : Efek Makanan terhadap absorpsi Obat
TABLE : Interaksi Obat yang mempengaruhi absorpsi
1. Meningkatnya pH lambung atau usus
2. Perubahan motilitas usus
3. perubahan perfusi saluran cerna
4. interferensi dengan fungsi mukosa (sindrom malsbsorpsi yang diinduksi obat)
5. pembentukan khelat
6. pertukaran ikatan resin
7. adsorpsi
8. pelarutan dalam cairan yang diabsorpsi dengan jelek
TERIMA KASIH
NASIB OBAT DIDALAM TUBUH
NASIB OBAT DIDALAM TUBUH
Secara garis besar proses yang dialami obat didalam tubuh dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu:
Fase biofarmasi merupakan aspek yang mencakup nasib obat didalam tubuh yang terdiri dari liberasi, disolusi dan absorbsi (LDA)
Farmakokinetik
Farmakokinetik merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yang terdiri dari absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME)
Farmakodinamika
Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya
Skema perjalanan obat
Bentuk obat (mis, tablet) Ketersediaan farmasi
Dengan zat aktif Obat utk diabsorpsi
Fase biofarmasi
Gambar 13 menunjukan proses disolusi tablet sebelum absorbsi. Suatu obat tidak bisa diserap menembus dinding usus sebagai bahan padat, tetapi harus dalam keadaan larut di dalam cairan pencernakan. Tablet secara hati-hati dirancang dan difomulasikan agar stabil selama pengangkutan tetapi akan cepat terdisolusi dalam lingkungan yang mengandung air. Ini bisa merupakan pekerjaan yang sulit atau gampang tergantung pada obat dan dosis yang diperlukan.Test disolusi diperlukan untuk menetapkan mutu sediaan tablet dan juga diperlukan percobaan terhadap sukarelawan manusia untuk memastikan pelepasan obat.
Fase Farmakokinetik
Mekanisme pengangkutan obat untuk melintasi membran sel ada dua cara:
Aktif (menggunakan energi)
melibatkan suatu carier.
Pasif
Filtrasi (mis, air dan zat hidrofil)
Difusi (mis, ion anorganik)
Absorpsi
Absorpsi sgt penting dan menentukan efek obat
Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah.
Metabolisme
Proses perubahan struktur kimia obat yg terjadi didalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim.
Ekskresi
Pengeluaran zat dari dalam tubuh.
Fase Farmakodinamika
Mekanisme kerja obat
efek obat timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada suatu sel organisme.
Reseptor obat
Sifat kimia dan struktur kimia dari suatu reseptor obat mempengaruhi kemampuannya atau aktifitasnya.
Transmisi sinyal biologis
penghantaran sinyal biologis merupakan suatu proses yg menyebabkan suatu substansi ekstra seluler menumbulkan suatu respon seluler fisiologis yang spesifik.
Interaksi obat dengan reseptor
ikatan obat dengan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah dan jarang berupa ikatan kovalen.
Antagonisme farmakodinamik
Ada dua antagonisme farmakodinamik yaitu antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor.
Kerja obat yang tidak diperantarai reseptor
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil tau masuk ke komponen sel.
BENTUK SEDIAAN FARMASI
Pendahuluan
Sejak dahulu kala bahan berkhasiat obat telah diformulasikan dalam berbagai bentuk sediaan.
Pil telah dikenalkan Ebers Papyrus 1500 SM
Pil bersalut telah dikenalkan oleh Rhases pada 900 M
Tablet dikenalkan oleh Al-zahrawi pada 10 abat yang lalu
Kapsul dikenalkan oleh Mothes di Perancis pada 1833
Bahan obat jarang diberikan sendiri-sendiri tetapi lebih sering merupakan suatu formula yang dikombinasi dengan satu atau lebih zat bukan obat yang bermanfaat untuk kegunaan farmasi yang bermacam-macam dan khusus.
Melalui penggunaan yang selektif dari zat obat ini sebagai bahan farmasi akan di hasilkan sediaan farmasi atau bentuk sediaan dengan tipe yang bermacam-macam
Dalam praktek, untuk satu jenis obat mungkin tersedia berbagai bentuk sediaan.
Bentuk-bentuk sediaan ini dikembangkan dengan kemajuan teknologi farmasetika untuk tujuan-tujuan tertentu
Berbagai macam Bentuk Sediaan farmasi
Keuntungan Bentuk sediaan Farmasi
1. Tepat dosis
2. Meningkatkan absorpsi dan ketersediaan hayati,
3. Meningkatkan stabilitas obat
- Obat terlindungi dari pengaruh yang merusak :
kelembaban udara (tablet salut)
Asam lambung (tablet salut enterik)
- Menutupi bau, rasa yang tidak enak (kapsul, sirup,tablet salut)
- Menyediakan bentuk sediaan cair :
Obat yang tidak larut (suspensi)
Dari obat yang larut (larutan)
4. Mengendalikan absorpsi dan profil kadar obat dalam darah,
misalnya sediaan lepas lambat (slow-release),
5. Melengkapi kerja obat yang optimum dari tempat pemberian secara topikal (salep, tempelan transdermal, krim)
6. Memberikan penempatan obat kedalam salah satu lubang dari badan (supositoria)
7, Memberikan penempatan obat secara langsung kedalam aliran darah atau jaringan dari tubuh (injeksi)
8. Memberikan kerja obat yang optimum melalui pengobatan inhalasi ( aerosol inhalasi)
BENTUK SEDIAAN PERORAL
BENTUK SEDIAAN PELEPASAN TERKONTROL
Istilah-istilah
Tablet repeat action,
Tablet Extended Release .
Tablet prolonged action
Produk obat sustained release
Tablet extended release
SISTEM PELEPASAN DAN ABSORBSI OBAT PERORAL
Bentuk sediaan akan memberikan sistem pelepasan dan absorbsi yang berbeda
BENTUK SEDIAAN PARENTERAL
Intravaskular adalah obat yang diberikan langsung masuk ke dalam pembuluh darah (vaskular).
Rute ekstravaskular
PENGGUNAAN INHALASI
BENTUK SEDIAAN REKTAL DAN VAGINAL
Bentuk Sediaan untuk kulit
DISTRIBUSI OBAT DIDALAM DARAH DARI BERBAGAI BENTUK SEDIAAN
TERIMA KASIH
Secara garis besar proses yang dialami obat didalam tubuh dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu:
Fase biofarmasi merupakan aspek yang mencakup nasib obat didalam tubuh yang terdiri dari liberasi, disolusi dan absorbsi (LDA)
Farmakokinetik
Farmakokinetik merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yang terdiri dari absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME)
Farmakodinamika
Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya
Skema perjalanan obat
Bentuk obat (mis, tablet) Ketersediaan farmasi
Dengan zat aktif Obat utk diabsorpsi
Fase biofarmasi
Gambar 13 menunjukan proses disolusi tablet sebelum absorbsi. Suatu obat tidak bisa diserap menembus dinding usus sebagai bahan padat, tetapi harus dalam keadaan larut di dalam cairan pencernakan. Tablet secara hati-hati dirancang dan difomulasikan agar stabil selama pengangkutan tetapi akan cepat terdisolusi dalam lingkungan yang mengandung air. Ini bisa merupakan pekerjaan yang sulit atau gampang tergantung pada obat dan dosis yang diperlukan.Test disolusi diperlukan untuk menetapkan mutu sediaan tablet dan juga diperlukan percobaan terhadap sukarelawan manusia untuk memastikan pelepasan obat.
Fase Farmakokinetik
Mekanisme pengangkutan obat untuk melintasi membran sel ada dua cara:
Aktif (menggunakan energi)
melibatkan suatu carier.
Pasif
Filtrasi (mis, air dan zat hidrofil)
Difusi (mis, ion anorganik)
Absorpsi
Absorpsi sgt penting dan menentukan efek obat
Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah.
Metabolisme
Proses perubahan struktur kimia obat yg terjadi didalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim.
Ekskresi
Pengeluaran zat dari dalam tubuh.
Fase Farmakodinamika
Mekanisme kerja obat
efek obat timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada suatu sel organisme.
Reseptor obat
Sifat kimia dan struktur kimia dari suatu reseptor obat mempengaruhi kemampuannya atau aktifitasnya.
Transmisi sinyal biologis
penghantaran sinyal biologis merupakan suatu proses yg menyebabkan suatu substansi ekstra seluler menumbulkan suatu respon seluler fisiologis yang spesifik.
Interaksi obat dengan reseptor
ikatan obat dengan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah dan jarang berupa ikatan kovalen.
Antagonisme farmakodinamik
Ada dua antagonisme farmakodinamik yaitu antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor.
Kerja obat yang tidak diperantarai reseptor
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil tau masuk ke komponen sel.
BENTUK SEDIAAN FARMASI
Pendahuluan
Sejak dahulu kala bahan berkhasiat obat telah diformulasikan dalam berbagai bentuk sediaan.
Pil telah dikenalkan Ebers Papyrus 1500 SM
Pil bersalut telah dikenalkan oleh Rhases pada 900 M
Tablet dikenalkan oleh Al-zahrawi pada 10 abat yang lalu
Kapsul dikenalkan oleh Mothes di Perancis pada 1833
Bahan obat jarang diberikan sendiri-sendiri tetapi lebih sering merupakan suatu formula yang dikombinasi dengan satu atau lebih zat bukan obat yang bermanfaat untuk kegunaan farmasi yang bermacam-macam dan khusus.
Melalui penggunaan yang selektif dari zat obat ini sebagai bahan farmasi akan di hasilkan sediaan farmasi atau bentuk sediaan dengan tipe yang bermacam-macam
Dalam praktek, untuk satu jenis obat mungkin tersedia berbagai bentuk sediaan.
Bentuk-bentuk sediaan ini dikembangkan dengan kemajuan teknologi farmasetika untuk tujuan-tujuan tertentu
Berbagai macam Bentuk Sediaan farmasi
Keuntungan Bentuk sediaan Farmasi
1. Tepat dosis
2. Meningkatkan absorpsi dan ketersediaan hayati,
3. Meningkatkan stabilitas obat
- Obat terlindungi dari pengaruh yang merusak :
kelembaban udara (tablet salut)
Asam lambung (tablet salut enterik)
- Menutupi bau, rasa yang tidak enak (kapsul, sirup,tablet salut)
- Menyediakan bentuk sediaan cair :
Obat yang tidak larut (suspensi)
Dari obat yang larut (larutan)
4. Mengendalikan absorpsi dan profil kadar obat dalam darah,
misalnya sediaan lepas lambat (slow-release),
5. Melengkapi kerja obat yang optimum dari tempat pemberian secara topikal (salep, tempelan transdermal, krim)
6. Memberikan penempatan obat kedalam salah satu lubang dari badan (supositoria)
7, Memberikan penempatan obat secara langsung kedalam aliran darah atau jaringan dari tubuh (injeksi)
8. Memberikan kerja obat yang optimum melalui pengobatan inhalasi ( aerosol inhalasi)
BENTUK SEDIAAN PERORAL
BENTUK SEDIAAN PELEPASAN TERKONTROL
Istilah-istilah
Tablet repeat action,
Tablet Extended Release .
Tablet prolonged action
Produk obat sustained release
Tablet extended release
SISTEM PELEPASAN DAN ABSORBSI OBAT PERORAL
Bentuk sediaan akan memberikan sistem pelepasan dan absorbsi yang berbeda
BENTUK SEDIAAN PARENTERAL
Intravaskular adalah obat yang diberikan langsung masuk ke dalam pembuluh darah (vaskular).
Rute ekstravaskular
PENGGUNAAN INHALASI
BENTUK SEDIAAN REKTAL DAN VAGINAL
Bentuk Sediaan untuk kulit
DISTRIBUSI OBAT DIDALAM DARAH DARI BERBAGAI BENTUK SEDIAAN
TERIMA KASIH
SISTEM KLASIFIKASI BIOFARMASETIK
SISTEM KLASIFIKASI BIOFARMASETIK
Sistem klasifikasi biofarmasetik diperkenalkan melalui sebuah metode untuk mengidentifikasi situasi yang mungkin mengikuti uji disolusi in vitro yang digunakan untuk memastikan bioekivalensi dalam ketidakhadiran studi bioekivalensi klinik secara nyata. Pada dasarnya pendekatan secara teori menyatakan, kelarutan dan permeabilitas intestinal diidentifikasi sebagai karakteristik pengobatan utama yang mengontrol absorpsi. Teori ini mengklasifikasikan obat dalam empat kelompok secara garis besarnya sebagai berikut :
• Kasus 1 : Kelarutan tinggi --- permeabilitas tinggi
• Kasus 2 : Kelarutan rendah --- permeabilitas tinggi
• Kasus 3 : Kelarutan tinggi --- permeabilitas rendah
• Kasus 4 : Kelarutan rendah --- permeabilitas rendah
Tidak ada teori dasar untuk sistem klasifikasi biofarmasetik, pendekatan teori untuk model absorpsi dan disolusi dihadirkan dalam bab ini mempunyai batasan-batasan yang tidak bisa dipisahkan secara alami.yang menempatkan beberapa obat tertentu dalam salah satu kelompok Sistem Klasifikasi Biofarmasetik. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan keduanya mempunyai daerah kepekaan yang lebih sedikit dan lebih besar untuk disolusi yang mempertimbangkan apakah disolusi in vitro dapat digunakan sebagai perwakilan untuk uji bioekivalensi. Seperti yang ditunjukkan dalam pertimbangan teoritis untuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik, daerah in vivo dimana disolusi dan absorpsi berlangsung mempunyai tingkat variabilitas yang tinggi. Di luar kemungkinan, batasan-batasan untuk kelompok Sistem Klasifikasi Biofarmasetik yang mungkin mempunyai kesalahan pada sisi konservasi berkaitan dengan ketidakpastian yang menyangkut perkiraan kelarutan dan permeabilitas dalam jalur Gastro Intestinal.
Pertimbangan teori untuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik tidak secara jelas mengindikasi dimana batasan-batasan antara empat klasifikasi yang seharusnya. Dari sebuah aturan yang perspektif, batasan-batasan yang lebih jelas didefenisikan oleh Administrasi Makanan dan Obat di Amerika Serikat, Pusat untuk Penelitian dan Evaluasi Obat (27). Informasi ini diberi judul “Petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik” dan memberikan petunjuk untuk “Studi Pelepasan Bioavailabilitas dan Bioekivalensi secara In-vivo untuk Sediaan Padat Oral Pelepasan Segera Berdasarkan Sistem Klasifikasi Biofarmasetik.” Petunjuk itu menggambarkan syarat obat yang dipertimbangkan adalah kelarutan lebih tinggi, permeabilitas lebih tinggi, dan kecepatan waktu hancur. Dia juga menawarkan berbagai metode untuk menetapkan obat yang kelarutannya lebih tinggi atau permeabilitasnya. Pembatasan lebih lanjut ditempatkan pada suatu permintaan pelepasan uji bioekivalensi yang menyangkut syarat obat yang mempunyai jendela terapetik secara luas dan pengisi yang digunakan dalam dosis harus digunakan dalam sediaan obat padat oral pelepasan segera yang diperoleh dari Administrasi Obat dan Makanan.
Walaupun nama keempat kelompok Sistem Klasifikasi Biofarmasetik tidak begitu terindikasi, dosis merupakan informasi esensial yang penting yang digunakan dalam menentukan kalkulasi apakah suatu obat dapat dipertimbangkan sebagai obat yang mempunyai kelarutan lebih tinggi seperti yang digambarkan oleh petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik. Begitu penting mengikuti teori berdasarkan Sistem Klasifikasi Biofarmasetik dan teori disolusi yang dihadirkan dalam bab ini, area permukaan obat dalam teori Noyes-Whitney yaitu ketergantungan dosis. Untuk obat yang digambarkan kelarutannya lebih tinggi, dosis tertinggi harus dilarutkan dalam 250 ml air atau range pH 1-7,5. dosis yang signifikan telah ditunjukkan dengan membandingkan digoxin dan griseofulvin sebagai obat yang mempunyai sifat fisik berupa permeabilitas dan kelarutan, tetapi pertukaran yang sangat berkenaan dengan dosis (15). Hasilnya, dosis tinggi pada digoxin akan melarut dalam 250 ml air, sedangkan dosis tinggi pada griseofulvin tidak. Oleh karena itu, menurut petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik, digoxin akan digambarkan sebagai obat yang kelarutannya lebih tinggi dan griseofulvin tidak. Juga dinyatakan bahwa berdasarkan pelepasan Sistem Klasifikasi Biofarmasetik tidak tersedia untuk range terapetik obat yang sempit seperti digoxin (28).
Sistem Klasifikasi Biofarmasetik dikembangkan pada teori bahwa disolusi obat terkontrol dari kelarutan dan area permukaan obat digambarkan sebagai dosis dan ukuran partikel obat. Dalam penerimaan Sistem Klasifikasi Biofarmasetik, harus mengikuti tingkat teori disolusi obat yang memberikan kelarutan, dosis, ukuran partikel, volume disolusi, dan kondisi hidrodinamik. Kesimpulan ini juga bertujuan untuk memperagakan serbuk obat polidispersi yang diperkenalkan di sini. Petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik juga memperagakan untuk hanya menyediakan bentuk sediaan obat padat pelepasan segera. Sedemikian, dosis yang dapat hancur dalam beberapa menit bila dicelupkan ke dalam air untuk melepaskan partikel obat.
Teori disolusi mengizinkan formulator untuk mengkalkulasi tingkat disolusi obat dan membandingkan data disolusi eksperimental yang nyata. Ketidaksesuaian yang kemudian bisa diselidiki, yang berhubungan dengan efek disintegrasi, pembasah, ketidak-akuratan informasi ukuran partikel, atau teori yang salah. Disolusi dari dispersi yang baik, partikel obat terbasahi dalam ketidakhadiran formulasi yang dapat juga dilakukan untuk membandingkan dengan data disolusi dari bentuk sediaan padat dan memeriksa kembali tingkat teori disolusi. Ini memastikan bahwa formulator mengerti bagaimana dosis menunjukkan reaksi.
Pemberian asumsi bahwa tujuan dari bentuk sediaan obat pelepasan segera adalah untuk mempercepat disintegrasi pelepasan dispersi yang baik dan membasahi partikel obat, menetapkan sisa distribusi partikel obat yang merupakan tugas penting di bawah pengawasan formulator. Pertanyaan yang perlu untuk ditujukan adalah apakah ukuran partikel obat akan mempercepat kelarutan menurut petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik? Untuk menyelidiki pertanyaan ini, dua hipotesa obat yang dapat dibandingkan. Keduanya merupakan obat permeabilitas tinggi dengan tingkat absorpsi yang konstan secara bolak-balik yaitu 0,03 menit. Satu mempunyai dosis 250 mg dengan kelarutan 1 mg/ml, dan yang kedua mempunyai dosis 2,5 mg dengan kelarutan 0,01 mg/ml. Kedua obat akan dilarutkan dalam 250 ml air dan pada batas yang dipertimbangkan obat-obat kasus pertama : kelarutan tinggi, permeabilitas tinggi.
Gambar 6 membandingkan persen simulasi dosis yang diabsorbsi untuk kedua obat, masing-masing disimulasikan dengan ukuran partikel geometrik yaitu 5 dan 25 mikron. Artinya 5 mikron akan bersifat khas terhadap obat yang telah dipancarkan, sedangkan pada 25 mikron tidak akan menjadi ukuran partikel yang tidak biasa untuk obat yang digiling oleh penggilingan konvensional yang digunakan dalam industri farmasi. Pada puncak 2 kurva, mewakili dosis 250 mg pada kelarutan 1 mg/ml, yang menunjukkan perbedaan kecil dalam profil absorpsi untuk ukuran partikel 5 dan 25 mikron. Oleh karena itu, pada kurva ketiga dan keempat dari atas, profil absorpsi disimulasikan untuk ukuran partikel 25 mikron yang mewakili dosis 2,5 mg dengan kelarutan 0,01 mg/ml (kurva terendah) yang sangat berbeda dari ukuran partikel 5 mikron untuk dosis dan kelarutan yang sama. Kesimpulan tersebut menggambarkan dari teori tetap simulasi bahwa obat-obat dalam kelarutan tinggi sama, permeabilitas tinggi kelompok Sistem Klasifikasi Biofarmasetik tidak mempunyai sensitivitas yang sama untuk ukuran partikel obat berkenaan dengan disolusi. Haruslah dicatat bahwa dosis 2,5 mg, kelarutan 0,01 mg/ml obat yang disimulasikan menjadi sensitif untuk ukuran partikel mempunyai khasiat yang sama untuk digoxin yang absorpsinya telah ditunjukkan sensitivitasnya untuk ukuran partikel obat.
Seperti yang disebutkan diawal, Petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik memerlukan penghancuran. Yang lebih terinci, 85 % atau lebih substansi obat harus hancur dalam waktu 30 menit menggunakan alat I atau II menurut USP dalam volume 900 ml atau kurang. Bila simulasi disebutkan lebih awal diulangi dalam 900 ml tidak dengan absorpsi, keduanya 5 dan 25 mikron dosis 250 mg dengan kelarutan 1 mg/ml akan bertemu pada 85% dengan waktu hancur cepat pada 5 mikron dosis 2,5 mg dengan kelarutan 0,01 mg/ml. Untuk 25 mikron dosis 2,5 mg, kelarutan 0,01 mg/ml, hanya 23% dosis yang disimulasikan untuk dihancurkan dalam waktu 30 menit. Kesimpulan praktis bahwa dosis 2,5 mg, kelarutan obat 0,01 mg/ml yang telah digiling sekitar 5 mikron untuk memenuhi persyaratan menurut Petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik. Oleh karena itu, kecepatan waktu hancur diperlukan dalam petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik yang menyediakan pemeriksaan keamanan yang lain dengan kekuatan spesifikasi ukuran partiker yang lebih sempit untuk obat-obat yang lebih sensitif terhadap pengaruh ukuran partikel pada disolusi.
Simulasi yang sama disebutkan lebih awal dapat diulangi menggunakan tingkat absorpsi konstan dari 0,001 timbal balik dengan 0,03 dalam beberapa menit, mengganti obat-obat dari kasus 1 ke kasus 3 : kelarutan tinggi---permeabilitas rendah, untuk memberikan yang lebih rendah dari keempat kurva yang ditunjukkan dalam gambar 6. Perbedaan yang mutlak antara simulasi kasus 3 adalah lebih kecil daripada simulasi kasus 1. Ini membawa pertanyaan mengapa obat-obat kasus 3 tidak dapat dipilih untuk pelepasan dengan poin tunggal spesifikasi disolusi 85% dalam 30 menit. Jika dosis kasus 3 waktu hancurnya cepat, tidak seperti variabilitas dalam absorpsi yang berkaitan dengan pengaruh formulasi. Poin ini juga telah dibuat dalam pertimbangan teori asli untuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik. Bagaimanapun, hanya obat-obat kasus 1 yang sekarang ini dapat dipilih untuk pelepasan berdasarkan Petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik.
KESIMPULAN
Pendekatan model untuk disolusi simulasi, ADME menyediakan alat-alat untuk membantu ilmuwan farmasi mengerti proses-proses ini dan memandu memutuskan pemilihan dan pengembangan obat. Aplikasi dari teori disolusi dan absorpsi telah dikemukakan oleh Sistem Klasifikasi Biofarmasetik, yang memegang janji dalam mengurangi beban demonstrasi bioekivalensi dengan menggunakan poin tunggal dalam uji disolusi in vitro mewakili studi klinik in vivo untuk obat-obat kasus 1. Walaupun peraturan itu menguntungkan dibatasi untuk obat-obat kasus 1, aplikasi alat-alat model dalam industri farmasi mungkin mengurangi waktu dan biaya dalam mengembangkan obat-obat baru dari semua kelas yang masing-masing langkah penemuan ke proses pasar. Teori yang menyoroti pentingnya kelarutan, permeabilitas, dan farmakokinetik, dan membawa elemen-elemen ini bersama-sama dalam sebuah jalan yang mengikuti tujuan komprehensif, dari menghindari obat-obat yang kelihatannya sulit berkembang, untuk menentukan spesifikasi ukuran partikel obat untuk memastikan konsistensi disolusi, untuk meningkatkan daya larut atau formulasi sediaan terkontrol.
Sistem klasifikasi biofarmasetik diperkenalkan melalui sebuah metode untuk mengidentifikasi situasi yang mungkin mengikuti uji disolusi in vitro yang digunakan untuk memastikan bioekivalensi dalam ketidakhadiran studi bioekivalensi klinik secara nyata. Pada dasarnya pendekatan secara teori menyatakan, kelarutan dan permeabilitas intestinal diidentifikasi sebagai karakteristik pengobatan utama yang mengontrol absorpsi. Teori ini mengklasifikasikan obat dalam empat kelompok secara garis besarnya sebagai berikut :
• Kasus 1 : Kelarutan tinggi --- permeabilitas tinggi
• Kasus 2 : Kelarutan rendah --- permeabilitas tinggi
• Kasus 3 : Kelarutan tinggi --- permeabilitas rendah
• Kasus 4 : Kelarutan rendah --- permeabilitas rendah
Tidak ada teori dasar untuk sistem klasifikasi biofarmasetik, pendekatan teori untuk model absorpsi dan disolusi dihadirkan dalam bab ini mempunyai batasan-batasan yang tidak bisa dipisahkan secara alami.yang menempatkan beberapa obat tertentu dalam salah satu kelompok Sistem Klasifikasi Biofarmasetik. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan keduanya mempunyai daerah kepekaan yang lebih sedikit dan lebih besar untuk disolusi yang mempertimbangkan apakah disolusi in vitro dapat digunakan sebagai perwakilan untuk uji bioekivalensi. Seperti yang ditunjukkan dalam pertimbangan teoritis untuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik, daerah in vivo dimana disolusi dan absorpsi berlangsung mempunyai tingkat variabilitas yang tinggi. Di luar kemungkinan, batasan-batasan untuk kelompok Sistem Klasifikasi Biofarmasetik yang mungkin mempunyai kesalahan pada sisi konservasi berkaitan dengan ketidakpastian yang menyangkut perkiraan kelarutan dan permeabilitas dalam jalur Gastro Intestinal.
Pertimbangan teori untuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik tidak secara jelas mengindikasi dimana batasan-batasan antara empat klasifikasi yang seharusnya. Dari sebuah aturan yang perspektif, batasan-batasan yang lebih jelas didefenisikan oleh Administrasi Makanan dan Obat di Amerika Serikat, Pusat untuk Penelitian dan Evaluasi Obat (27). Informasi ini diberi judul “Petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik” dan memberikan petunjuk untuk “Studi Pelepasan Bioavailabilitas dan Bioekivalensi secara In-vivo untuk Sediaan Padat Oral Pelepasan Segera Berdasarkan Sistem Klasifikasi Biofarmasetik.” Petunjuk itu menggambarkan syarat obat yang dipertimbangkan adalah kelarutan lebih tinggi, permeabilitas lebih tinggi, dan kecepatan waktu hancur. Dia juga menawarkan berbagai metode untuk menetapkan obat yang kelarutannya lebih tinggi atau permeabilitasnya. Pembatasan lebih lanjut ditempatkan pada suatu permintaan pelepasan uji bioekivalensi yang menyangkut syarat obat yang mempunyai jendela terapetik secara luas dan pengisi yang digunakan dalam dosis harus digunakan dalam sediaan obat padat oral pelepasan segera yang diperoleh dari Administrasi Obat dan Makanan.
Walaupun nama keempat kelompok Sistem Klasifikasi Biofarmasetik tidak begitu terindikasi, dosis merupakan informasi esensial yang penting yang digunakan dalam menentukan kalkulasi apakah suatu obat dapat dipertimbangkan sebagai obat yang mempunyai kelarutan lebih tinggi seperti yang digambarkan oleh petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik. Begitu penting mengikuti teori berdasarkan Sistem Klasifikasi Biofarmasetik dan teori disolusi yang dihadirkan dalam bab ini, area permukaan obat dalam teori Noyes-Whitney yaitu ketergantungan dosis. Untuk obat yang digambarkan kelarutannya lebih tinggi, dosis tertinggi harus dilarutkan dalam 250 ml air atau range pH 1-7,5. dosis yang signifikan telah ditunjukkan dengan membandingkan digoxin dan griseofulvin sebagai obat yang mempunyai sifat fisik berupa permeabilitas dan kelarutan, tetapi pertukaran yang sangat berkenaan dengan dosis (15). Hasilnya, dosis tinggi pada digoxin akan melarut dalam 250 ml air, sedangkan dosis tinggi pada griseofulvin tidak. Oleh karena itu, menurut petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik, digoxin akan digambarkan sebagai obat yang kelarutannya lebih tinggi dan griseofulvin tidak. Juga dinyatakan bahwa berdasarkan pelepasan Sistem Klasifikasi Biofarmasetik tidak tersedia untuk range terapetik obat yang sempit seperti digoxin (28).
Sistem Klasifikasi Biofarmasetik dikembangkan pada teori bahwa disolusi obat terkontrol dari kelarutan dan area permukaan obat digambarkan sebagai dosis dan ukuran partikel obat. Dalam penerimaan Sistem Klasifikasi Biofarmasetik, harus mengikuti tingkat teori disolusi obat yang memberikan kelarutan, dosis, ukuran partikel, volume disolusi, dan kondisi hidrodinamik. Kesimpulan ini juga bertujuan untuk memperagakan serbuk obat polidispersi yang diperkenalkan di sini. Petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik juga memperagakan untuk hanya menyediakan bentuk sediaan obat padat pelepasan segera. Sedemikian, dosis yang dapat hancur dalam beberapa menit bila dicelupkan ke dalam air untuk melepaskan partikel obat.
Teori disolusi mengizinkan formulator untuk mengkalkulasi tingkat disolusi obat dan membandingkan data disolusi eksperimental yang nyata. Ketidaksesuaian yang kemudian bisa diselidiki, yang berhubungan dengan efek disintegrasi, pembasah, ketidak-akuratan informasi ukuran partikel, atau teori yang salah. Disolusi dari dispersi yang baik, partikel obat terbasahi dalam ketidakhadiran formulasi yang dapat juga dilakukan untuk membandingkan dengan data disolusi dari bentuk sediaan padat dan memeriksa kembali tingkat teori disolusi. Ini memastikan bahwa formulator mengerti bagaimana dosis menunjukkan reaksi.
Pemberian asumsi bahwa tujuan dari bentuk sediaan obat pelepasan segera adalah untuk mempercepat disintegrasi pelepasan dispersi yang baik dan membasahi partikel obat, menetapkan sisa distribusi partikel obat yang merupakan tugas penting di bawah pengawasan formulator. Pertanyaan yang perlu untuk ditujukan adalah apakah ukuran partikel obat akan mempercepat kelarutan menurut petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik? Untuk menyelidiki pertanyaan ini, dua hipotesa obat yang dapat dibandingkan. Keduanya merupakan obat permeabilitas tinggi dengan tingkat absorpsi yang konstan secara bolak-balik yaitu 0,03 menit. Satu mempunyai dosis 250 mg dengan kelarutan 1 mg/ml, dan yang kedua mempunyai dosis 2,5 mg dengan kelarutan 0,01 mg/ml. Kedua obat akan dilarutkan dalam 250 ml air dan pada batas yang dipertimbangkan obat-obat kasus pertama : kelarutan tinggi, permeabilitas tinggi.
Gambar 6 membandingkan persen simulasi dosis yang diabsorbsi untuk kedua obat, masing-masing disimulasikan dengan ukuran partikel geometrik yaitu 5 dan 25 mikron. Artinya 5 mikron akan bersifat khas terhadap obat yang telah dipancarkan, sedangkan pada 25 mikron tidak akan menjadi ukuran partikel yang tidak biasa untuk obat yang digiling oleh penggilingan konvensional yang digunakan dalam industri farmasi. Pada puncak 2 kurva, mewakili dosis 250 mg pada kelarutan 1 mg/ml, yang menunjukkan perbedaan kecil dalam profil absorpsi untuk ukuran partikel 5 dan 25 mikron. Oleh karena itu, pada kurva ketiga dan keempat dari atas, profil absorpsi disimulasikan untuk ukuran partikel 25 mikron yang mewakili dosis 2,5 mg dengan kelarutan 0,01 mg/ml (kurva terendah) yang sangat berbeda dari ukuran partikel 5 mikron untuk dosis dan kelarutan yang sama. Kesimpulan tersebut menggambarkan dari teori tetap simulasi bahwa obat-obat dalam kelarutan tinggi sama, permeabilitas tinggi kelompok Sistem Klasifikasi Biofarmasetik tidak mempunyai sensitivitas yang sama untuk ukuran partikel obat berkenaan dengan disolusi. Haruslah dicatat bahwa dosis 2,5 mg, kelarutan 0,01 mg/ml obat yang disimulasikan menjadi sensitif untuk ukuran partikel mempunyai khasiat yang sama untuk digoxin yang absorpsinya telah ditunjukkan sensitivitasnya untuk ukuran partikel obat.
Seperti yang disebutkan diawal, Petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik memerlukan penghancuran. Yang lebih terinci, 85 % atau lebih substansi obat harus hancur dalam waktu 30 menit menggunakan alat I atau II menurut USP dalam volume 900 ml atau kurang. Bila simulasi disebutkan lebih awal diulangi dalam 900 ml tidak dengan absorpsi, keduanya 5 dan 25 mikron dosis 250 mg dengan kelarutan 1 mg/ml akan bertemu pada 85% dengan waktu hancur cepat pada 5 mikron dosis 2,5 mg dengan kelarutan 0,01 mg/ml. Untuk 25 mikron dosis 2,5 mg, kelarutan 0,01 mg/ml, hanya 23% dosis yang disimulasikan untuk dihancurkan dalam waktu 30 menit. Kesimpulan praktis bahwa dosis 2,5 mg, kelarutan obat 0,01 mg/ml yang telah digiling sekitar 5 mikron untuk memenuhi persyaratan menurut Petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik. Oleh karena itu, kecepatan waktu hancur diperlukan dalam petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik yang menyediakan pemeriksaan keamanan yang lain dengan kekuatan spesifikasi ukuran partiker yang lebih sempit untuk obat-obat yang lebih sensitif terhadap pengaruh ukuran partikel pada disolusi.
Simulasi yang sama disebutkan lebih awal dapat diulangi menggunakan tingkat absorpsi konstan dari 0,001 timbal balik dengan 0,03 dalam beberapa menit, mengganti obat-obat dari kasus 1 ke kasus 3 : kelarutan tinggi---permeabilitas rendah, untuk memberikan yang lebih rendah dari keempat kurva yang ditunjukkan dalam gambar 6. Perbedaan yang mutlak antara simulasi kasus 3 adalah lebih kecil daripada simulasi kasus 1. Ini membawa pertanyaan mengapa obat-obat kasus 3 tidak dapat dipilih untuk pelepasan dengan poin tunggal spesifikasi disolusi 85% dalam 30 menit. Jika dosis kasus 3 waktu hancurnya cepat, tidak seperti variabilitas dalam absorpsi yang berkaitan dengan pengaruh formulasi. Poin ini juga telah dibuat dalam pertimbangan teori asli untuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik. Bagaimanapun, hanya obat-obat kasus 1 yang sekarang ini dapat dipilih untuk pelepasan berdasarkan Petunjuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik.
KESIMPULAN
Pendekatan model untuk disolusi simulasi, ADME menyediakan alat-alat untuk membantu ilmuwan farmasi mengerti proses-proses ini dan memandu memutuskan pemilihan dan pengembangan obat. Aplikasi dari teori disolusi dan absorpsi telah dikemukakan oleh Sistem Klasifikasi Biofarmasetik, yang memegang janji dalam mengurangi beban demonstrasi bioekivalensi dengan menggunakan poin tunggal dalam uji disolusi in vitro mewakili studi klinik in vivo untuk obat-obat kasus 1. Walaupun peraturan itu menguntungkan dibatasi untuk obat-obat kasus 1, aplikasi alat-alat model dalam industri farmasi mungkin mengurangi waktu dan biaya dalam mengembangkan obat-obat baru dari semua kelas yang masing-masing langkah penemuan ke proses pasar. Teori yang menyoroti pentingnya kelarutan, permeabilitas, dan farmakokinetik, dan membawa elemen-elemen ini bersama-sama dalam sebuah jalan yang mengikuti tujuan komprehensif, dari menghindari obat-obat yang kelihatannya sulit berkembang, untuk menentukan spesifikasi ukuran partikel obat untuk memastikan konsistensi disolusi, untuk meningkatkan daya larut atau formulasi sediaan terkontrol.
Langganan:
Postingan (Atom)